Prologue

818 Words
Agatha tak percaya dengan apa yang dihadapkan kepadanya sekarang. Memang hanya secarik kertas dan sebuah pena diatas meja kayu yang sepertinya mahal. Tapi secarik kertas itu berisi seluruh aset hidupnya; bahkan hidupnya juga termasuk. Ia tengah digadaikan. Gadis itu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan. Matanya berhenti kepada ayahnya yang berada di sisi kiri meja. Yang bahkan tidak duduk di kursi. Ia berdiri bersama semua bawahannya. Seakan statusnya sama seperti mereka semua, dan Agatha tahu kalau ayahnya tidak suka disamakan dengan bawahannya. Jadi siapapun orang asing ini, kekuatannya lebih besar dari milik ayahnya. Ia kembali mengedarkan pandangan. Sekarang matanya berhenti di ibunya. Di sisi kanan. Berdiri terpisah dengan ayahnya. Matanya kelihatan sipit karena ia menaikkan dagunya terlalu tinggi, angkuh. Agatha tidak tahan untuk melihatnya terlalu lama, ia kembali mengedarkan pandangan. Kali ini akhirnya matanya berhenti kepada pria itu. Ya. Pria yang duduk diujung lain meja panjang ini. Hanya Agatha dan pria itu yang duduk. Orang-orang selain mereka dipersilahkan untuk berdiri. Mungkin karena perasaan takut mereka terhadap pria yang duduk di depan Agatha itu, mereka sampak tidak berani mencari kursi dan duduk. Agatha pikir mungkin mereka juga sudah melupakan rasa pegal yang kaki mereka rasakan. Karena Agatha belum memilih sejak empat puluh lima menit yang lalu. Tapi pria di hadapannya itu tersenyum menunggu pilihan Agatha dengan sabar. Agatha tidak mengerti apa maksud senyumnya itu. Tapi yang ia tahu pria itu adalah pria pemilik perusahaa yang selama ini membantu perusahaan ayahnya sampai perusahaan ayahnya itu menjadi sesukses sekarang. Selama ini pria itu membantu tanpa meminta apa-apa. Ia terus berinvestasi dan memberikan nasihat-nasihat bagus untuk ayahnya. Ayah Agatha kira pria itu ingin membantu karena ia hanyalah pria baik hati yang memiliki banyak uang. Tapi seiring egonya membesar dan penglihatannya dibutakan dengan harta, ayah Agatha itu lupa mana yang baik dan mana yang buruk. Kelemahannya itu tidak akan dilewatkan oleh siapa saja yang melihat pastinya. Apalagi yang memiliki koneksi dan kekuatan yang besar. Dan Agatha yakin pria di hadapannya itu memiliki kekuatan sedemikian rupa sampai bisa membuat pria berwibawa seperti ayahnya mencium kaki pria asing itu seperti anjing pemburu yang setia karena menginginkan remah-remah dari kaki meja tuan ini. "Kalau aku tanda tangan, apa yang akan kamu berikan?" Tanya Agatha. Semua orang yakin Agatha tidak berbicara dengab mereka yang berdiri dikiri maupun dikanan. Pria diujung lain itu kelihatan berpikir sebentar dan tersenyum. "Entahlah." Ia kemudian menoleh kearah ayah Agatha , "Kau mau apa?" Tanyanya pada pria itu. "..Ma..Maaf, Tuan?" Ayah Agatha kelihatan sedang tidak fokus ketika pria itu bertanya. "Putrimu bertanya, kalau putrimu menandatangani keputusan itu, aku akan memberikan apa. Memangnya kau mau apa?" Ayah Agatha tertegun. Agatha bingung membaca situasi yang menjerat ayahnya sekarang. Antara tidak ingin meminta apa-apa atau bingung memilih karena ingin meminta banyak. "Yang jelas aku akan memberikan apapun yang keluargamu minta. Uang, ketenaran, kekuasaan, bahkan posisi bagus di pemerintahan, meski aku juga jijik dengan koruptor. Tapi aku akan berikan." Ia kembali melihat kearah Agatha . Gadis itu menelan ludahnya sambil membaca kembali beberapa deret kalimat yang tertera di kertas itu. 'Dengan menandatangani surat ini, Anda akan menjadi aset tunggal milik Tuan Isaac Hilton. Anda akan tinggal dimana Tuan Markus akan tetapkan dan melakukan semua perintah yang diberikan oleh Tuan Markus.' Ulangnya sekali lagi dalam otaknya. Jelas ia tidak akan tinggal bersama orangtuanya setelah ini. Tapi bukan itu yang ia takutkan saat ini. Tapi apa yang akan pria ini perintahkan nanti untuk dilakukan Agatha . Gadis itu menggigil memikirkan semua kemungkinan yang ada. "Selama kau belum memilih, kita semua akan tetap disini menunggumu. Take your time, Princess." Kata pria yang Agatha asumsikan bernama Isaac itu. Wajahnya masih dihiasi senyuman yang semakin lama semakin mengintimidasi Agatha. Perhatian gadis itu beralih kepada ibunya. Apa reaksinya terhadap keputusan Markus. Ah, iya. Tentu saja. Agatha memutar bola matanya ketika melihat ibunya kelihatan gelisah karena kakinya sakit. Ia selalu saja memakai sepatu hak tingginya yang tidak nyaman itu kemana-mana. "Tolong berikan ibuku kursi, ia tidak nyaman." Kata Agatha sambil menghela napas. Isaac tersenyum dan menganggukkan kepalanya kepada pesuruhnya, memberikan perintah tanpa harus berbicara. Segera sebuah kursi sudah diposisikan di belakang ibu Agatha. Wanita itu kelihatan khawatir sambil mendudukkan dan memposisikan pantatnya supaya nyaman di kursi itu. Tapi Agatha tidak begitu mengerti apa yang harus wanita itu khawatirkan. Selama ini ia begitu tidak peduli pada Agatha, putrinya sendiri. Jadi ketika Agatha dihadapkan ke pilihan seperti ini dan ia malah memilih untuk tinggal bersama pria itu dan tidak bersama keluarganya, ibunya justru harusnya merasa lega. Tapi wajahnya sekarang kelihatan khawatir. Mungkin ia khawatir Agatha tidak akan menandatangani kontraknya dan membiarkan semua kekayaan ayahnya pergi dan mereka akan jatuh miskin. Agatha mungkin bisa bertahan tanpa uang, tapi tidak dengan ibunya itu. Jadi Agatha kembali membaca kontrak itu dan kepalanya malah mulai pusing karena terlalu banyak memikirkan hal dalam sekejap. Ia segera mengumpat semua pikiran yang tadi membuatnya berpikir untuk tidak menandatangani kertas itu, lalu segera meraih pulpen dan menuliskan namanya di tempat yang disediakan. Persetan. pikirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD