Satu: April - Mei dan Juni

1101 Words
April mengerang kesal melihat hasil kerjanya sepagian tadi diacak - acak oleh tamu tak diundang yang herannya diterima dengan tangan terbuka di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan Junaidi Abraham Salim, atau yang akrab disapa Juned, sahabat kecil sekaligus tetangga persis samping rumahnya. Tapi April manggil dia Juni. "Aaaargh! Mamaaaa Juned menggila! Masa nastarnya dia abisin sendiri coba seloyang!" Dia menjerit sejadi - jadinya. Tentu saja nggak ada yang menanggapi selain tawa tengil dari cowok berusia nyaris tiga puluh tahun di depannya ini. Karena rumahnya memang sedang kosong. Hari minggu ini Mama dan Papa sedang pergi ke rumah Budhe, menjenguk Kakak sepupu yang baru lahiran. Sedangkan Mei Kakaknya mungkin sedang shopping atau jalan dengan pacar barunya yang April nggak tau siapa namanya saking terlalu sering jadian - putus. April nggak ikut, dia belum gajian, dan ini tanggal tua sekali, dibuktikan dengan weekend dia di rumah saja. Jadi nanti saja dia menyusul ke sana setelah gajian, membawa buah tangan menyambut keponakan mungilnya itu. Dan dia juga titisan jomblo dari lahir, jadi hari minggunya pasti hanya akan dihabiskan di rumah saja entah dengan maraton drakor atau menjajal resep baru yang dia dapat di IG atau t****k saat sedang bokek begini. Dan sekarang kepuasannya saat melihat hasil karyanya matang harus kandas karena invasi alien berbadan manusia bernama Juned ini. Sungguh, seandainya para Mbak - mbak di kantornya itu tau kelakuan asli dari Mas Ganteng yang mereka gandrungi dan puja - puja ini. Auto ilfeel! Jaminan deh! "Kan masih banyak yang belom lo bake itu." Tunjuk Juned pada jajaran loyang - loyang yang sedang mengantri untuk masuk ke dalam oven. "Ih, berenti, nggak! Rese banget! Ini mau gue bawa ke kantor besok senen. Hei!!!"  Bukannya berhenti setelah disentil tangannya, Jun, begitu April memanggilnya, malah semakin ngebut menjejalkan nastar - nastar itu ke dalam mulutnya. "Gue harus puas makan sekarang, senen gue pasti nggak kebagian. Lagian lo bilang nggak boleh sok kenal kalo di kantor." Itu benar. Mereka berdua bekerja di kantor yang sama. Jun sebagai kepala redaksi, sedangkan April adalah editornya. April baru saja masuk setahun terakhir karena baru lulus kuliah. Yah agak molor dikit dari target kelulusan, tapi lulus juga akhirnya. April yang meminta mereka untuk berinteraksi selayaknya atasan dan bawahan agar tidak terlihat mencurigakan. Bukan karena hubungan mereka mencurigakan, tapi karena fans nya Jun di kantor bejibun! Ngeri - ngeri sedep kalo harus berurusan sama cewek - cewek yang haus perhatian model begitu. Males aja. Hidupnya sudah terlalu drama untuk ditambahi drama dengan Jun sebagai tokoh utamanya. "Tapi makannya beradab dikit, dong! Remahannya kemana - mana nih!" Beneran, dia nih aslinya balita, bukan pria berusia nyaris 30 tahun! April berani suwer. *** Jun ada di kamar April, itu sudah pemandangan biasa. Mereka berteman sejak kecil walaupun perbedaan umur mereka lumayan. Lima tahun. Tapi Jun menganggap April dan Mei, Kakak April yang lebih tua tiga tahun dari April seperti adik kandungnya sendiri. Kebetulan dia memang anak tunggal.  Dia sering merasa kesepian di rumahnya. Bundanya kerja, sedangkan Ayahnya adalah jenderal besar TNI yang tugasnya nyaris selalu di perbatasan negeri.  Berawal dari tangisan bayi merah yang membuat dia kaget di malam hari, disusul dengan rasa penasaran kenapa ada bayi menangis, Jun kecil yang penasaran terus saja datang ke rumah sebelah; main sama adik bayi, begitu katanya. Dan hal itu terus berlangsung hingga sekarang, 24 tahun kemudian. Papa Mama April dan Mei juga sudah menganggap Jun sebagai putra sulung mereka. Sering sekali mereka mempercayakan April dan Mei, seringnya April, untuk dijaga oleh Jun. Jun tidak pernah keberatan. Malah April yang risih sendiri. “Jun, ih, geser, sumpah! Kaki lo tuh berat, sok banget tumpangin ke paha gue!” April menggoyang kakinya yang ditumpangi oleh Jun. Mereka sedang duduk di tengah kamar April. Kamar April nggak punya meja belajar, hanya ada meja kecil di tengah ruangan yang dipakai untuk belajar, nugas, dan mengejar deadline kerjaan. April duduk bersandar di kasurnya sementara Jun tengkurap dengan kaki diletakkan di pangkuan April. “Galak banget April. Mana nggak sopan nggak panggil Abang.” “Dih, males banget manggil lo Abang. Kelakuan benerin dulu kalo mau dipanggil Abang.” Jun bangun dari rebahannya dan duduk di sebelah April. Lalu memasang wajah melas yang membuat April mulas kalau melihatnya. "April sekarang gitu, ya sama Abang." "Juni! Jijik!"  Yang ditegur mencebik kecewa. Karena nggak berhasil menggoda April, dia kembali merebahkan badannya di karpet. "Pril, gue mau ke surabaya minggu depan. Lo ikut yah?" Ini lagi. "Ogah. Gue nggak mau bangun - bangun liat orang lemotan ala bokep. Saya masih perawan ting - ting, Pak. Nggak mau kepolosan saya ternodai. Ajak aja editor senior yang lain. Pasti pada seneng tuh. Mayan, ngirit, nggak perlu sewa dua kamar." Jun menendang kakinya karena mulutnya yang loss nggak ada filternya. Walaupun memang benar begitu, tapi kalo diucapin April tuh jatuhnya kaya nyumpahin. Nggak enak aja didengernya. Mulut April sadis? Memang. Tapi ada alasannya kenapa dia bisa sejudes ini pada Jun. Saat itu liburan keluarga kelulusan SMA Mei dan kelulusan SMP April. Jun diajak karena alasan di atas tadi, Mama Papa sudah menganggapnya seperti anak sulung mereka. Jadilah dia ikut serta. Selama liburan ke Bali dan Lombok, benar - benar nggak ada masalah. April, Mei dan Jun berbagi kamar bersama dengan akur. Masalah datang di malam terakhir mereka di Bali. April tertidur nyenyak setelah makan malam. Dia merasa capek luar biasa karena seharian bermain di pantai bersama Mei dan Jun. Maksudnya amat sangat nyenyak, hingga dia nggak menyadari bahwa dia sudah digeser ke ujung ranjang, dan dua orang lainnya menggunakan ranjang yang sedang ditiduri untuk berc*mbu ria. Yap, Mei, Kakaknya dan Jun berc*mbu di kasur yang sama yang digunakannya untuk tidur. April baru merasa terganggu saat dengung suara erangan dan desahan yang menurutnya menjengkelkan menyambangi telinganya dan menariknya kembali menuju kesadaran. Masih setengah sadar, dia melihat Kakaknya dan Jun saling tindih, Jun di bawah dan Mei di atas, Mei berada di atas pangkuan Jun. Badan saling membelit dengan bibir beradu disertai bunyi kecipak basah yang menurutnya menjijikkan.  Kedua oknum yang menggangu tidurnya itu tidak melihatnya, karena mata mereka terpejam, sepertinya amat menikmati kegiatannya. Tanpa peduli ini jam berapa, April menjerit sejadi - jadinya mengagetkan mereka berdua dan menendang Mei dan Jun keluar kamar sebelum akhirnya menguncinya.  Dia bahkan nggak mau tau mereka malam itu tidur dimana. Dia sendiri tidak tidur lagi di kasur yang sama yang dipakai mereka, tidak juga di extra bed yang ditiduri Jun dua malam belakangan. Nggak. Bekas mereka terlalu menjijikkan bagi April. Malam itu dia tidur meringkuk di sofa. Dan baru keluar sekitar jam sepuluh pagi keesokan harinya untuk sarapan dan check out. Sejak hari itu, bagi April Jun dan Mei bukan orang yang sama lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD