1. Hari Senin Yang Menyebalkan

2090 Words
Senin pagi yang malas untuk memulai aktivitas, setelah hari kemarin dihabiskan untuk mempersiapkan atribut dan perlengkapan ospeknya. Mulai dari id card berbentuk buah dengan kertas berwarna kuning sesuai dengan yang sudah ditentukan, tas aneh dari karung beras milik tetangga indekos Kayna pun diikutsertakan. Dan dengan memakai kemeja warna kuning telur, serta merangkum mulai dari sejarah universitas itu sampai nama staf yang bekerja di sana. Semua pegawai di sana. Mulai dari rektor, dosen, sampai satpam kampus yang bahkan jumlahnya tidak hanya satu. Hari libur Kayna kemarin hanya dihabiskan untuk menulis di buku catatan hingga halaman terakhir. Sungguh penyiksaan luar-dalam, selain lelah hati, Kayna pun lelah jiwa. Padahal sewaktu dirinya SMA dulu, ia dikenal jarang sekali merangkum. Jangankan merangkum, mengerjakan soal saja harus dihantam dulu baru ia kerjakan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.15, artinya Kayna harus segera berangkat agar tidak mendapat hadiah dari panitia ospek. Sebagai mahasiswi baru (maba) dan anak indekos baru, Kayna sedikit kesulitan mempersiapkan semuanya sendiri. Semenjak Kayna kuliah di Universitas Pionir Nusantara (Pinus) melalui jalur SBM dan suksesnya dia diterima dengan nilai yang tidak pernah ia sangka. Kini Kayna harus rela belajar hidup jauh dari ibunya yang menetap di Bogor. Dengan sepeda motor matic usang yang sudah sangat tua, Kayna membelah jalanan padat merayap dengan hati-hati. Sebab, itu adalah motor milik Kayna sejak dirinya masuk sekolah menengah pertama. Saat itu, ia mendapatkan nilai tertinggi berturut-turut di kelasnya, lalu dengan senang hati ibunya membelikan motor untuk Kayna berangkat sekolah. Kini motor tua itu akan menemani dirinya kembali menempuh pendidikan. Sedikit tua jika ditanya tentang umurnya. Akan tetapi, tidak membuat semangat Kayna hilang, meskipun lajunya saja dipertanyakan. Setelah menghabiskan beberapa menit di perjalanan, akhirnya sampai di halaman kampus dengan selamat. Kayna merasa dirinya telat pun terburu-buru berlari ke lapangan Fakultas Ilmu Komputer (FILKOM). Di sana terlihat banyak maba yang sudah berbaris sesuai dengan kelompoknya. Sialnya, salah satu dari panitia ospek tersebut melihat Kayna yang terlambat. Padahal tadi ia sudah berusaha bersikap biasa saja, menutupi napas yang tersenggal-senggal akibat berlari tadi. Dan bulir keringat kecil yang menghiasi dahi mulusnya. Terlihat lima panitia ospek menghampiri Kayna dengan wajah garang. Aura kemarahan mereka pun bisa Kayna rasakan. Padahal tadi ia sudah berangkat lebih pagi, tapi namanya ibukota. Jam berapa pun kita berangkat sudah pasti jejeran kendaraan menghiasi sejauh mata memandang. “Kamu tahu 'kan ospek dimulai jam berapa?” tanya salah satu panitia ospek perempuan dengan pita merah di lengan kirinya. “Iya, Kak. Saya tahu. Jam 07.00,” jawab Kayna setengah takut. Tangan kanannya pun ikut berkeringat, sementara tangan kirinya digunakan untuk menyanggah salah satu tali tas karung beras, karena dia percaya, tas anehnya ini akan putus. Sebab, tidak sengaja tersangkut di pohon tadi, dekat dengan motor usangnya. Panitia laki-laki dengan bertubuh tinggi pun maju. Memandangi Kayna dengan sinis. “Dan, kamu tahu sekarang jam berapa?! Ospek hari pertama saja sudah telat, bagaimana nanti waktu perkuliahan dimulai?” tanyanya dengan hujan yang membanjiri wajah Kayna. Sudah telat, dihujani air liur pula. Lengkap sudah penderitaan hari Senin Kayna Fayeza. “Maaf, Kak.” Kayna menunduk dalam-dalam. Menghindari tatapan dahsyat dari para malaikat pencabut nyawa dunia. “Bisanya minta maaf! Kamu pikir sekarang lebaran? Hah?!” bentak perempuan berpita merah, tetapi tidak menghujani Kayna dengan air liur seperti tadi. Kalau dilihat wajah perempuan berpita merah itu cukup kalem. “Makanya, dengarkan kalau panitia memberi tahu pengumuman. Jangan asyik sendiri,” sindir laki-laki bertubuh tinggi yang lagi-lagi dengan hujan air liur. Kayna lama kelamaan pun heran. Bagaimana bisa laki-laki tampan bertubuh tinggi di hadapannya bertingkah seperti orang idi*ot, dengan air liur yang merajalela. “Kenapa kamu terlambat?” tanya panitia laki-laki berkacamata. Dia tidak membentak, namun sangat dingin dan intimidasi. Kayna pun ikut merinding mendengarnya berbicara. Kayna menarik napas pelan, lalu menjawab dengan santai dan tanpa ada keraguan, “Tadi saya sudah mencoba berangkat pagi, Kak. Tapi, apalah daya hidup di kota dengan kemacetan yang melanda. Mau ngebut juga percuma. Jalanan padat kendaraan. Bisa di gorok ramai-ramai kalau saya memaksa jalan.” “Hey! Kamu itu kalau ditanya jawab yang benar. Kamu tidak menghargai kita sebagai panitia ospek, ya! Selalu saja begini, alasannya macet. Padahal kamu bisa berangkat lebih pagi, kecuali kalau kamu memang anak yang pemalas.” Panitia perempuan berpita merah di lengan kiri menatap Kayna bengis. Tampak tidak terima kala Kayna menjawabnya dengan sedikit humor. “Kamu tinggal di mana?” tanya laki-laki berkacamata tadi. Sepertinya hanya dia yang tidak menyukai kemarahan. Raut wajahnya pun terlihat tanpa emosi, sangat berbeda dengan ke empat temannya yang berwajah garang. Kalau dipikir sepertinya mereka cocok untuk casting menjadi pemain anatagonis. Terlihat natural sekali ketika mereka marah. Bahkan Kayna pun sempat gemetar mendengar suara bentakan dari perempuan berpita merah. “Saya tinggal di daerah Tebet, Kak.” Kayna melihat sekilas kalau laki-laki itu menatap dirinya tidak terbaca. “Ya Allah! Indekos kamu itu dekat sekali. Siapa namanya dan dari prodi apa?” tanya salah satu panitia perempuan bertubuh mungil dengan nada sedikit membentak. “Kayna Fayeza dari Teknik Informatika,” jawabnya gelisah. Sekujur tubuhnya mendadak berkeringat dingin. Tubuh Kayna sudah lemas karena dibentak-bentak. Ditambah tadi dia tidak sempat sarapan. Akan tetapi, ia jelas tidak ingin terlihat lemah di depan panitia ospek garang itu. Nanti dia sendiri malah dimarahi dan diejek. Segini saja sudah lemah, apalagi nanti ke depannya. “Sana! Kembali ke kelompokmu. Ingat, jangan diulangi lagi. Nanti kalau sampai kamu mengulanginya lagi, siap saja. Panitia ospek akan memberikan hukuman yang tegas,” ancam perempuan berhijab dengan pita merah, nada tidak membentak. Tetapi, mampu membuat Kayna gemetar ketakutan. “Baik, Kak. Saya permisi.” Kayna pamit undur diri dan segera mencari nama kelompok yang bernama Kelompok Ubur-Uburnya Spongebob. Tak sampai lama, Kayna menemukan kelompoknya dan langsung saja bergabung di barisan, sebelum terkena bencana lagi. Sudah cukup pagi ini ia olahraga jantung. Ternyata tanpa Kayna sadari dirinya menjadi tontonan gratis para maba. Sebenarnya ia malu, apalagi ada yang terang-terangan mengejek dirinya. Namun, dia mencoba tidak ambil pusing dengan tingkah kating. Karena salah dirinya juga yang terlambat. Salah satu rekan kelompoknya yang kebetulan paling belakang pun menoleh. Menatap Kayna dengan dahi mengerut dalam. “Hai, Kayna. Kita sekelompok,” ucap Kayna memperkenalkan diri. Gadis bertubuh mungil di depannya mengangguk kaku menanggapi perkataan Kayna. Ragu-ragu tangan itu menyambut uluran dari Kayna. Namun, bukannya berjabat tangan. Gadis itu malah menarik tubuh Kayna untuk berpelukan. “Gue Velly Alfiyyah,” balas gadis itu pelan sambil melepaskan pelukannya. Kayna mengangguk singkat, lalu tersenyum lebar pada Velly. Teman pertama di kampus barunya. *** “Kay, Velly. Sini kumpul dulu,” panggil Adresia sambil melambaikan tangan, menginstruksi mereka untuk segera berkumpul dengan kelompoknya. Merasa di panggil ke dua gadis yang tengah bercakap-cakap ringan itu menoleh. Mendapati teman satu kelompoknya yang melambai, terlihat Evano dan Izzan tengah menikmati masakan padang yang sangat menggoda. “Di sini aja jangan misah. Mirip orang berantem tahu enggak?” canda Evano dengan mulut yang dipenuhi nasi. Bahkan untuk berbicara dirinya pun kesusahan. “Apa sih, Van. Habisin dulu baru ngomong,” sela Izzan malas. Mempunyai teman absurd seperti Evano, harus memiliki persediaan kesabaran yang tinggi. Karena sikap ajaibnya yang mampu membuat dirinya terkadang kesal. Adresia menatap Izzan sesaat. “Itu lo betah, Zan. Punya temen aneh kayak Evano,” ejek Adresia tertawa lepas melihat kekonyolan wajah Evano kala dirinya mengejek Izzan. Bahu Izzan terangkat acuh. “Terpaksa gue.” Mata Evano mendelik tak percaya mendengar perkataan Izzan. Dirinya merasa tersakiti kala tahu Izzan hanya terpaksa berteman dengan dirinya. “Lah, lo marah, Vano?” tanya Adresia bingung melihat sikap Evano yang gebak-gedebuk. Evano menatap ke arah lain. Mulut tipisnya ikut mengerucut lucu. Kayna yang melihatnya pun tertawa keras sekali, bahkan bahunya pun ikut terguncang dan matanya pun ikut menyipit seperti bulan sabit. “Fiks, lo mirip banci yang suka lewat di depan rumah gue,” celetuk Velly menggeleng penuh takjub. Ternyata teman sekelompoknya tidak jaim seperti yang ia kira. Padahal saat dirinya datang pun kelompok Ubur-Uburnya Spongebob tampak sepi, tidak ramai seperti sekarang. “Kay, lo satu-satunya yang bisa dukung gue. Jangan ikutan kayak mereka, ya,” pinta Evano dengan wajah semelas mungkin. Tetapi, bukan kasihan namanya. Wajah Evano terlihat seperti orang menahan BAB. Adresia memukul pundak Evano gemas. “Muka lo minta ditampol,” ujarnya dengan tertawa keras sekali. Bahkan gadis itu tidak jaim, meskipun banyak pasang mata menatap dirinya aneh. Tertawa dengan mulut terbuka lebar, sangat bukan perempuan. “Itu mulut apa lubang gua? Lebar banget,” sindir Evano sinis. Adresia yang tidak mau mengalah pun menyahut, “Itu rahang apa katrol. Ringan banget.” Evano menatap Adresia sinis. “Dasar cewek bar-bar!” “Heh! Mulut lo minta dicipok ulekan Bu Ulis, ya?” ancam Adresia garang. Mata kecil itu ikut melotot tajam, tapi bukan seram, melainkan lucu. Dengan wajah babby face Adresia yang tampak seperti gadis kalem pada umumnya. “Udah, Res. Lo galak banget jadi cewek. Nanti cowok-cowok pada kabur kalau dekat sama lo,” ujar Kayna menengahi. Jika dibiarkan sepertinya sikap Adresia akan berlanjut sampai panitia ospek memergoki mereka tengah bertengkar dan sudah pasti akan mendapat hukuman. Velly yang sedang memesan jus pun ikut menyahut, “Kayaknya kalian jodoh. Evano gila dan Adresia galak. Kalau jadi couple bisa jadi gempar kampus ini.” “Gue sama remahan roti? Sorry nggak level,“ balas Adresia pongah. Evano pun tak mau kalah. ”Siapa juga yang mau sama titisan Nenek Lampir kayak lo.” “Balik, kuy! Udah biarin aja mereka bertengkar mulu. Pusing sendiri gue,” keluh Izzan sambil mengajak Kayna dan Velly pergi. Evano dan Adresa kompak menekuk wajah kusut. Melihat teman sekelompoknya yang benar-benar melenggang pergi. Padahal mereka kira itu hanyalah bualan, tetapi nyatanya itu benar-benar meninggalkan mereka berdua. “Apa lo?!” tanya Adresia garang. “Ish, siapa juga,” sahut Evano enteng. Lalu, laki-laki itu pun bangkit hendak meninggalkan Adresia. “Oke, tadi mereka, sekarang lo. Semuanya aja sana pada ninggalin gue seorang diri di sini,” kata Adresia tak acuh sambil meminum jus alpukat yang hanya tinggal setengah. Evano menoleh sekilas, lalu melenggang pergi. “Aish, kalian nyebelin, ya. Gue benar-benar ditinggal masa,” ujar Adresia kesal. *** “Jadi, besok pemberitahuannya kalian jangan sampai telat, ya. Kalian itu kami bimbing untuk menjadi calon maba untuk tidak menyepelekan tugas, apalagi peraturan. Jika, ada yang terlambat seperti tadi. Kita tidak akan segan-segan untuk menghukum sesuai dengan peraturan yang ditentukan. Jadi, siapa saja yang tempat tinggalnya jauh. Cobalah berangkat lebih pagi lagi,” celoteh laki-laki panitia ospek yang bertubuh tinggi. Dari barisan belakang terlihat mata minimalis Kayna menatap laki-laki yang tengah berceloteh tanpa memperdulikan para maba yang gusrak-gusruk menantikan saat-saat pulang. “Gila. Itu cowok yang ngomel pakai hujan. Ngeri gue lihat mic-nya. Pasti dia lagi menjerit ketakutan seperti gue tadi,” gumam Kayna miris menatap microphone hitam tanpa kabel itu. Velly yang penasaran melihat Kayna pun ikut bertanya, “Lihatin apa sih? Ngeri banget tatapan lo.” “Itu panitia ospek yang lagi ngomong,” jawab Kayna singkat. “Oh. Kakak senior ganteng itu,” gumam Velly mengangguk mengerti. Kayna mendengar kata ‘ganteng’ yang keluar dari mulut Velly pun sedikit bergidik ngeri. Membayangkan laki-laki itu menjadi pacar Vely. Sudah pasti perempuan imut itu bermandikan air liur setiap kali mereka berbincang. “Lo kenapa, Kay? Aneh banget,” tanya Adresia penasaran. Gadis bar-bar itu menghampiri Kayna dan Velly yang sepertinya terlibat obrolan serius. Kayna menggeleng miris sambil menatap Velly yang membalas tatapannya bingung. Dan tepukan dari Kayna di bahu mungil Vely pun membuat Adresia semakin kepo. “Ih, kalian ngomongin apa, sih?” tanya Adresia lumayan keras. Bahkan panitia ospek di depan pun mendengar perkataan Adresia, lalu menoleh tajam pada Kayna yang tengah menyembunyikan wajahnya pada bahu mungil Velly. Adresia dengan wajah tanpa dosa memamerkan senyum lebarnya sambil melambai-lambai manis. Sementara Velly hanya memperhatikan tingkah Adresia sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lo kenapa, Kay?” bisik Velly pelan. “Panitia ospek ngeluarin tanduk. Serem gue lihatnya,” balas Kayna tidak kalah pelan. “Siapa yang kamu bilang ngeluarin tanduk?” perkataan tegas itu tampak nyata. Ragu-ragu Kayna mengangkat kepalanya menatap tepat pada panitia ospek dengan air liur hujan yang selalu membuat dirinya merasa kebanjiran. “Siapa?” tekan laki-laki tinggi itu lagi. Air liur kali ini aman terkendali. Tidak ada pertumpahan hujan yang akan mengenai wajah Vely. “Pa ... pa ... panita ospek,” kata Kayna gugup. Pasrah sudah dirinya mendapat hujanan air liur dari laki-laki yang katanya Velly ‘Ganteng’. Belum saja gadis itu mengetahui yang sebenarnya. “Kamu maba pemberani, ya?” tebak laki-laki tinggi itu tepat air liur terbesarnya mengenai wajah Vely. “Lah, Mas? Cakep-cakep id*iot,” celetuk Velly polos.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD