Beasiswa

1281 Words
Cowok keren dan seksi itu berdiri dengan peluh keringat di tengah sawah. Dia sedang membajak sawah dengan cangkul dengan hanya mengenakan kaos oblong warna putih mangkak, bercelana tiga perempat. Sebenarnya dulu ini celana panjang, tapi sekarang cowok ini sudah tambah tinggi. Kulitnya yang putih dan mulus merona kemerahan karena panasnya sinar matahari. Tak jauh dari cowok itu, berdirilah seorang bapak-bapak berusia sekitar lima puluh tahun yang juga sedang mencangkul sawah dengan jarak agak jauh dari cowok itu. Bapak itu memandangi si cowok dengan bangga. "Gama, istirahatlah dulu, Le," kata Bapak itu dengan suaranya yang berlogat Jawa kental. "Ndak, apa-apa, Bah, kulo belum capek kok," ucap cowok keren yang bernama Gama itu sembari tersenyum. Sebagian bibir atasnya terlipat kedalam sehingga menjadi tipis kala tersenyum. Pria tua itu tersenyum mendengar kata-kata anaknya kemudian kembali mencangkul. Seorang anak perempuan tahun berlari dengan tergesa-gesa ke sawah tempat kedua pria itu. Dia mengenakan baju yang lusuh semacam daster yang penuh tambal sulam dengan warna yang sudah tidak jelas, di tangan kanannya dia membawa sepucuk surat. Nama gadis ini adalah Alya, adik tertua Gama. "Abah! Mas! Ada surat!" teriak gadis remaja itu. Kedua pria itu pun menghentikan kegiatan mereka dan menghampirinya. "Ada apa to, Nduk?" tanya Abah. "Ini, Bah, ada surat dari Surabaya untuk Mas," ucap Aya dengan napas yang masih tersenggal-senggal dia memberikan surat yang di bawanya itu pada Ayah dan Kakaknya. "Surat dari Surabaya? Dari siapa? Bulik? Tumben sekali dia kirim surat." Abah tak percaya kalau surat itu adalah dari Maimunah, adik perempuannya yang kabur ke Surabaya saat masih remaja dulu kemudian menikah dengan seorang pria kaya dan menetap di sana. "Bukan, Bah, ini dari Universitas Terkemuka," Abah dan Gama saling berpandangan. "Universitas Terkemuka?" Abah mengambil surat itu dari Alya kemudian membukanya. "Apa ini isinya, Le? tolong bacakan," kata Abah yang memang buta aksara karena dulu tidak pernah sekolah waktu masih muda. Gama menerima surat itu kemudian membacanya. "Bersama ini kami beritahukan bahwa putra Bapak yang bernama Gama telah diterima di Universitas Terkemuda di Fakultas Kedokteran, jrusan pendidikan dokter, adapun putra Bapak juga mendapatkan full schoollarship." Abah langsung semringah mendengar isi surat itu. Dia langsung sujud syukur kemudian memeluk anaknya dengan rasa bangga yang luar biasa. "Alhamdulillah, Le, kamu memang hebat, kamu memang anak lanangku, Ya Allah, dokter, Le! Dokter!" ucap Abah. Gama tersenyum kecut. *** "AALLFFAAA!!!!" Terdengar teriakan membahana yang terdengar di seluruh kelas siang hari itu. Alfa, gadis manis yang namanya dipanggil itu, sedang asyik merajut bros dalam kelas kosong. Tidak ada pelajaran karena ujian nasional sudah usai dan semua murid SMA kelas XII sedang dalam massa menunggu pengumuman SNM-PTN. Dia berambut pendek di atas bahu berseragam putih abu-abu. Seorang gadis berlari tergesa-gesa memasuki kelas. Gadis itu cantik banget, rambutnya panjang sepinggang yang lurus terawat yang dibiarkan terurai, kulitnya putih dan mulus, dan cukup tinggi untuk ukuran wanita sekitar seratus tujuh puluh sentimeter. Dia mengenakan sepatu kets bermerk mahal. Kukunya memakai kuteks warna pink. Dia menghampiri Alfa. "Ada apa, Da?" tegur Alfa pada sahabat baiknya yang bernama lengkap Alda Kharisma itu. Nama mereka yang mirip membuat mereka seketika akrb sejak awal bertemu. Alda tidak menjawab. Dia masih berusaha menyetabilkan napasnya kemudian berkata, "Pengumuman Sipensimaru Universitas Terkemuka udah keluar." "Oh ya, gimana pengumumannya?" tanya Alfa. "Kita berdua...." Alda menarik napas dulu sebelum melanjutkan kalimatnya. "DITERIMA!!!" teriak Alda lagi dengan suaranya yang lantang melengking. Dua gadis cantik dan manis itu pun terteriak histeris sambil melompat kegirangan. *** Gama duduk-duduk sendiri di Bale rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu yang hampir roboh sambil merenung beristirahat setelah lelah bekerja seharian di sawah. Abah berdiri di ambang pintu, pria itu tersenyum melihat anak sulungnya itu kemudian menghampirinya dan duduk di sebelahnya. "Sedang apa kamu di sini, Le? Kamu ndak siap-siap, packing-packing, buat berangkat besok?" Pria setengah baya itu. "Kulo lagi mikir, Bah," kata Gama "Mikir apa to, Le?" Gama memandang Abahnya, pria itu terlihat sudah sangat tua dan akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. "Kulo ndak pingin ke Surabaya." Abah tampak terkejut mendengar kata-kata Gama itu. "Lho? Maksud kamu apa to, Le?" "Kalau kulo kuliah di Surabaya, apa itu ndak terlalu jauh? Kulo takut nanti menjadi beban untuk Abah karena harus membiayai kulo di sana," ucap Gama. "Lho, gimana sih kamu to, Le, wong biaya kuliahmu itu lho nol rupiah, apane sing dadi beban?" "Tapi biaya hidup di sana juga ndak murah, Bah, mending Juli di sini kan, bantu-bantu Abah ngerumat sawah, buat makan dan sekolah adik-adik." "Kamu jangan ngomong begitu to, Le! Ini kesempatan emas kamu untuk sekolah biar jadi dokter, kamu kan udah lihat sendiri gimana nasib Abah ini yang ndak berpendidikan. Apa kamu mau seperti Abah? Kamu ndak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, Le! Kamu harus kuliah!" tegur Abah dengan ceramahnya yang panjang lebar. "Lalu Abah dan adik-adik gimana?" tanya Gama nanar. "Kamu ndak usah khawatir, Le, Gusti Allah tidak tidur. Dialah yang akan menjaga Abah dan adik-adikmu,"tutur Abah. Gama merenung, dia masih merasa tidak sanggup jika harus kuliah di Surabaya dan meninggalkan keluarganya di Blitar. Melihat anak lanangnya itu masih terlihat ragu, Abah pun berpikir dan akhirnya menemukan sebuah ide. "Maimunah!" kata Abah, dia teringat pada adik perempuannya yang tinggal di Surabaya itu. "Bulikmu, Le, ayo kita telepon dia untuk minta bantuan apa kamu bisa tinggal di rumahnya." "Bulik Maimunah?" ulang Gama. Abah mengangguk. Gama diam dan berpikir. Dia ingat jelas dengan Buliknya yang bernama Maimunah itu, meski dia jarang pulang dan Gama hanya pernah bertemu dengan wanita itu sekali saat lebaran lima tahun yang lalu, saat dia masih SMP. Wanita nyentrik dengan logat bahasa sok Inggris tapi selalu memberi galak gampil paling sedikit. Gama yakin waktu itu Maimunah hanya memberinya lima ribu rupiah. Gama sangsi apa buliknya yang super kikir itu mau memberinya tempat tinggal. "Apa Bulik mau, Bah?" "Ya pasti mau dong!" Abah Optimis. "Kita telepon Bulikmu," ucap Abah. Abah mengeluarkan handphone jadul miliknya yang hanya bisa untuk telepon dan SMS. Dia mencari nama kontak adiknya yang bernama Maimunah dan segera menghubunginya. "Hallo Maimunah, Assalamulaikum," seru Abah begitu nada sambung berhenti. "Waalaikumsalam, Ya ini saya sendiri, ini dengan siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya suara seorang wanita yang terdengar dari ujung telepon. "Ini Mas, Nduk, Samian," kata Abah. "Oh, Mas Samian! How are you brother? Long time no see!" ucap wanita itu dengan fasihnya berbicara dalam bahasa Inggris. "Baik, kamu sendiri gimana kabarnya?" "Baik, tumben nih Mas Samian telepon? Ada perlu apa?" selidik wanita itu. "Ya, sekedar silaturahim dan Mas mau minta tolong kamu sesuatu." "Apa itu, Mas?" "Kamu ingat ponakanmu Gama?" "Gama? Off course, I'm remember, how old is he right now?" "Sekarang dia udah lulus SMA mau masuk kuliah dan dia diterima kuliah di Universitas Terkemuka dengan beasiswa," ucap Abah bangga. "Wow, Spectaculer!" Maimunah memuji. "Begini Mai, bisa tidak Mas minta bantuan kamu, boleh tidak kalau keponakanmu ini menumpang tinggal di rumahmu?" tanya Abah. Gama diam sambil memandangi Abahnya yang sedang menunggu jawaban dari Bulik Maimunah. Dia benar-benar sangsi Buliknya itu mau memberinya tempat tinggal. "Off course, he can live here," jawab Maimunah. "Yang benar Mai?" Abah tampak terkejut juga mendengar jawaban spontan dari adiknya itu. Awalnya, Abah sendiri juga sangsi dengan adiknya yang kikir itu. "Why not? I have one empty room here." "Alhamdulillah, makasih, Mai! Gusti Allah pasti akan membalas jasamu!" seru Abah senang. Gama memandang Abahnya yang tampak girang itu degan tidak percaya. Masa sih Bulik Maimunah yang kikir itu bersedia Gama tinggal di sana? "Sudah ya, Mai, Mas tutup dulu, ya, Assalamulaikum." Abah tampak sangat senang dan langsung memeluk Gama. "Bulikmu mau, Le, kamu bisa tinggal di sana dan kuliah di Surabaya! Alhamdulillah ya Allah." Gama ikut tersenyum tapi satu hal masih mengganggu pikirannya. Gama tidak habis pikir Buliknya yang kikir itu mau memberinya tempat tinggal gratis. Firasat Gama mengatakan akan hal yang terjadi setelah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD