prolog

1157 Words
Angkasa berjalan menghampiri meja bartender dan duduk dengan tergesa-gesa, bukan hal yang aneh baginya untuk menghabiskan malam di bar setiap kali sedang day off dari pekerjannya. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganjal, membuat kebiasan yang seharusnya menyenangkan baginya berubah menjadi sesuatu yang menjengkelkan. "Tequila?" kata salah satu bartender dengan suara sedikit berteriak. Melemparkan gelas kaca berukuran kecil ke arah Angkasa, hingga menabrak buku-buku tangannya. Tidak perlu lagi bertanya minuman apa yang ingin diingankan seprang Angkasa, seluruh batender di club ini sudah hafal luar kepala. Angkasa memperhatikan gelas berisikan minuma favoritnya lalu melengos. Tentu saja hal itu mengundang rasa penasaran Bryan—bartender yang biasa menyiapkan minuman untuk Angkasa setiap kali pria itu berkunjung ke salah satu club ternama di Bali itu. "Kesambet setan mana lo jadi anteng kayak gini?" tanya Bryan setengah menggoda bercampur heran dengan kondisi Angkasa hari ini. Tidak ada goyangan kecil yang biasa Angkasa lakukan saat mendengar dentuman musik, tidak ada pula senyum tebar pesona untuk membuat wanita sexy menghampiri Angkasa. Pria itu seperti yang diungkapkan Bryan, tenang, anteng. Angkasa menaikkan satu alisnya, melakukan satu putaran dengan kursi bar yang dia duduki lalu kembali menghadap ke arah Bryan. "Sepi ya, padahal hari Sabtu," kata Angkasa tanpa menjawab pertanyaan dari Bryan. Bryan meletakkan shaker set di atas meja hitam, membersihkan tangan dengan kain putih yang terselip di pinggangnya. "Ehmm..." Bryan berdeham, merentangkan kedua tangannya di atas meja depan Angkasa, memajukkan sedikit tubuhnya ke arah Angkasa. Mengamati lekat-lekat Angkasa lalu tertawa geli. "Eh gila, lo lihat di belakang sana. Itu orang-orang dempet-dempetan buat nari, dari tadi juga gue nggak berhenti nyiapin minuman buat tamu. Dan lo masih bilang sepi? Halo..." Bryan mengibaskan tangannya di depan wajah Angkasa. "Are you drunk? Kayaknya lo belum minum tapi udah ngaco omongannya. Atau masih ada efek martini yang semalam?" "NAH! Lo masih ingat nggak kejadian semalam?" Angkasa mendapatkan kembali seluruh semangatnya, dia sengaja memajukan tubuhnya ke arah Bryan, menyisakan jarak hanya beberapa jengkal. Hingga membuat beberapa pengunjung terutama wanita berhenti berjalan, mendesah kecewa karena pria setampan Angkasa lebih memilih bermesraan dengan sosok pria yang memiliki ketampanan tidak jauh berbeda dengannya. Bryan memiringkan kepala, membuat posisi mereka semakin menggelikan untuk dilihat oleh orang lain. "Masih, gue aja masih ingat kejadian dua minggu lalu. Kenapa emang?" "Berarti lo masih ingat sama wanita yang duduk di sini, minum banyak martini bareng gue." Bryan mengerutkan keningnya. "Yang rambutnya warna hitam terus panjangnya sedada." Kerutan pada kening Bryan semakin bertambah banyak hingga membentuk V. Angkasa mendesah, dia kehilangan kembali semangatnya. "Lupakan! Pasti lo nggak tahu namanya siapa..." Bryan menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di depan d**a lalu tersenyum geli. "Memang. Wanita yang lo maksud itu, baru pertama kali datang ke club ini. Kemarin malam gue udah niat mau tanya-tanya tentang dia, eh, lo datang duluan. Jadi, ya, gue nggak tahu siapa dia. Kenapa? Bukannya lo... lanjut sama dia..." Bryan memberikan tatapan menyelidik ke arah Angkasa, dia masih ingat betul Angkasa membawa wanita-tanpa-nama-itu keluar dari club dan Bryan cukup yakin kalau Angkasa masih sadar untuk mengajak wanita itu mengobrol. "Dan seingat gue, lo nggak mabuk. Oke, lo minum. Tapi kesadaran lo masih ada, belum nge-fly." Angkasa meraih gelas berisikan tequila, meminum itu hingga tandas. Memang kemarin malam dia tidak mabuk minuman, tapi mabuk pesona yang dikeluarkan oleh wanita-tanpa-nama-itu. "Ada yang nggak beres? Kemarin lo berdua lanjut ke mana?" "Hotel gue." "Udah gue duga, terus? Kalian..." Bryan menumpuk kedua telapak tangannya secara bersamaan, melakukan gerakan yang berhasil membuat bulu kuduk Angkasa berdiri tanpa diminta. "Nggak usah masang tampang sok geli gitu, gue tahu burung lo nggak kuat disangkar lama-lama. Apa lagi wanita kemarin terlalu ugh untuk dilewatkan begitu saja, gue yakin lo—" "Udah... udah... nggak perlu lo perjelas pembicaraan ini. Iya, gue ngelakuin." Angkasa menggaruk tengkuk lehernya. Bayangan sensual wanita itu terbayang di dalam benak Angkasa, bagaikan sebuah hasil rekamanan CCTV yang sengaja diputar ulang. Mulai dari saat dia melihat wanita itu duduk sendirian di meja bar, persisi duduk di kursi yang dia gunakan saat ini. Betapa lucunya wanita itu saat merancau di tengah oborolan tidak jelas yang mereka ciptakan, betapa menggodanya bibir merah wanita itu saat mereka berada di dalam mobil maybach exelero, betapa menggiurkannya tubuh wanita itu saat berbaring di atas ranjang berukuran king kamar hotelnya. Angkasa mendesah, dia membuka dua kancing teratas kemeja putih yang dia pakai. Angkasa masih merasakan sentuhan jari-jari wanita itu di atas kulit dadanya, ada sensasi aneh yang sulit untung Angkasa lupakan. Angkasa mendesah untuk kedua kalinya, membuat Bryan semakin tidak tahan untuk tidak tertawa. "Ini ada apa sih sebenarnya, lo nggak semangat karena wanita itu? Ada yang salah dengan perpisahan kalian, eh, tunggu deh! Sejak kapan lo mikirin tentang perpisahan lo dan wanita satu malam lo?" Lagi-lagi, Angkasa hanya mendesah. "Dia pergi gitu aja, lo tahu dia ninggalin uang satu juta di kamar gue. Kasih catatan buat bayar kamar, tanpa kasih gue nama atau gue bisa ketemu dia di mana. Seakan-akan dia nggak mau ketemu gue lagi, kayak dia emang mau ngelupain apa yang terjadi antara gue dan dia." Bryan memajukan kembali tubuhnya ke arah Angkasa, menopang dagu lancipnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya sengaja memainkan jari-jarinya di atas meja hitam, lalu tersenyum miring penuh ejekan untuk Angkasa. "Ah..." Bryan semakin lebar tersenyum. "Gue tahu, dia kurang puasa sama goyangan lo. Jadi, dia kabur sebelum lo bangun dari—" Angkasa mendaratkan sebuah pukulan keras ke aras puncak kepala Bryan, membuat pria yang memiliki wajah khas pria Indonesia itu meringis dan melemparkan sumpah serapah untuk Angkasa. "Sakit, kampret!" "Siapa suruh, kalau ngomong nggak disaring dulu. Sialan, ambil kesimpulan kayak gitu! Nggak ada sejarahnya, wanita nggak puas sama gue!" "Lah, buktinya tuh wanita pergi tanpa nama. Biasanya lo yang pergi dengan notes jangan cari gue lagi, dan alasan lo melakukan itu karena lo merasakan wanita itu nggak berhasil memuaskan lo. Jadi, bisa aja dong itu yang terjadi sama wanita itu. Sadar woy, karma tuh bisa dibayar lunas di muka." Angkasa bersiap untuk mendaratkan pukulan lagi, tapi Bryan lebih gesit menghindari pukulan Angkasa. Tentu saja dengan tawa yang cukup lebar. "Sudah lah, Angkasa Onesimus Jannes. Akui saja, tanpa seragam pilot kebanggaan lo. Pesona dalam diri itu berkurang 70%." "Aish! Entah kenapa. gue merasa lo itu wanita yang terjebak di dalam tubuh pria, Bry! Mulut lo kelewat lemes." Angkasa semakin kesal dengan Bryan, karena pria itu telah berhasil mengungkapkan sebuah pernyataan yang menyenggol harga diri seorang Angkasa. Alih-alih takut dengan kilatan sebal yang diberikan oleh Angkasa, Bryan justru semakin kencang mengudarakan tawanya. "Seenggaknya gue nggak pernah ditinggalin gitu aja setelah melakukan aktivitas ranjang." "EH! AH! SIALAN LO, BRY!" Angkasa berteriak sekencang mungkin. Bryan masih sibuk tertawa, sementara Angkasa memilih untuk mengedarkan pandangannya ke segala penjuru dari club. Berharap menemukan wanita-tanpa-nama-itu di antara para pengunjung club, sesekali Angkasa mengutuk di dalam hati, mengatai dirinya bodoh karena berhubungan tanpa menanyakan nama terlebih dahulu. "Lo terlalu b******k, Angkasa!" Angkasa menggeleng pelan, merasa frustrasi atas tindakannya semalam. Pria itu mengacak-acak rambut hitam ikalnya dengan satu tangan, lalu menggeleng lagi sebagai bentuk kekesalan terhadap dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD