Prolog

459 Words
Keramaian di kantin saat makan siang memang hal wajar. Apa lagi ini adalah kantin sekolah. Sudah hal semestinya jika selalu ramai, kan? Hanya saja, bisa tidak, mereka bersikap agak tenang saat makan? Mereka lari ke sana-kemari, menanyakan pesanan temannya sambil berteriak, atau kegaduhan yang dilakukan oleh sekelompok anak di mejanya. Mereka pikir, yang makan di kantin cuma mereka saja? Ada banyak macam karakter siswa dan siswi di sekolah. Tidak semua anak suka kebisingan. Tidak semua orang nyaman.  "Lo g****k!" Jona menunduk, sepasang matanya memejam menahan amarah yang siap meledak. Tidak cukup membuat keramaian di kantin, ada lagi yang ingin membuat keributan dengan berlagak sok jagoan. "Maksud lo apa mukulin temen gue?!" seru seorang siswa, baru saja masuk ke kantin dan membuat keributan dengan murid lain. Jona menatap dua siswa yang kini saling berteriak lalu mendorong. Apa anak-anak zaman sekarang sudah sangat lekat dengan kekerasan, ya? Kenapa tidak dibicarakan baik-baik saja sih? Tanpa harus berteriak dan mendorong seperti preman pasar yang saling meributkan yang katanya uang keamanan. "Anak buah lo ngajak ribut duluan! Ngapain godain cewek gue?! Kalo nggak bisa ngajarin anak buah lo, bawa sini, deh. Mending gue yang ajarin!" "Bacot!" jeritnya, menarik kerah seragam lawannya. Seketika anak-anak di meja yang tengah makan jadi berhenti lalu berdiri menghampiri dua siswa yang sedang saling baku hantam. Mereka saling menyerobot, mengarahkan kamera ponselnya mengabadikan keributan yang terjadi di kantin saat makan siang tiba. Kericuhan semakin menggila. Tidak ada satu pun dari mereka untuk melerai. Mereka berteriak, memanggil kedua nama siswa yang tengah berkelahi. Bahkan, ada yang gila dengan memasang sebuah taruhan. Jona menggenggam sendok di tangan. Kebisingan di sekitarnya membuat remaja lelaki itu tidak tahan dan berakhir.... PRAAANG! Sontak, sorak sorai siswa-siswi yang tengah menyoraki temannya berkelahi, sampai dua oknum yang memicu keributan di kantin saling diam. Masing-masing menghentikan gerakkan tangannya ke udara saat hendak melayangkan tinju ke lawannya. Jona mendorong kursi yang didudukinya. Siswa dan siswi tidak lepas memandangi setiap pergerakkan dari siswa yang mendapat julukan Pangeran Es tersebut. Yang benar saja, Jona baru saja membanting mangkuk sotonya ke lantai? Sebagian dari mereka, terutama para remaja perempuan merasakan bulu-bulu halus di tangannya berdiri kompak. Seketika mereka terpana dengan tatapan dingin Jona. Namun, tidak mengelak juga jika tatapan Jona membuat mereka ketakutan dan berakhir bungkam. Jona melangkah meninggalkan keramaian yang berubah hening. Tidak mempedulikan tatapan orang-orang tertuju padanya, Jona melangkah santai setelah membanting semangkuk nasi soto yang baru dimakannya sekali suap. Bahkan kuahnya masih panas. Saat keluar dari kantin, pandangan Jona tidak sengaja tertuju pada seorang siswi yang dengan santai mengunyah makanannya. Pandangan mereka saling beradu. Namun tidak lama siswi itu kembali ke sepiring siomay kemudian menancapkan garpunya, lantas memasukkannya ke dalam mulut. Jona menjejalkan tangannya ke dalam saku celana, meninggalkan kantin sepenuhnya dengan perut yang masih lapar.   To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD