Keterlaluan

1057 Words
Sepasang kaki kokoh milik seorang pria berlari kencang melewati lorong hingga berhenti tepat di depan sebuah pintu. Tak lagi menghiraukan sopan santun, tangan kekar pria muda itu langsung mendorong pintu sehingga terbuka lebar. Sorot mata nanarnya tertuju pada seorang pria paruh baya di dalam sana yang sedang duduk di kursi kebesarannya, santai, seakan sudah menebak siapa tamu yang datang tanpa diundang itu. Bruk! Pria muda bernama Novan Xu itu menggebrak meja, sepasang matanya nanar menatap ke arah pria yang semestinya ia hormati sebagai ayah. Sayangnya dalam kondisi dikuasai amarah seperti ini, sulit bagi Novan Xu untuk bicara tenang. Ia hampir gila gara-gara sebuah pesan singkat yang diterimanya barusan, dan berita konyol itu datang dari ayahnya, Martin Xu. “Apa maksud ayah? Lelucon macam apa ini? Menyuruhku menikahi janda dari kakek berusia 81 tahun demi menyelamatkan perusahaanmu?” Rahang Novan Xu mengeras, nada bicaranya meninggi karena letupan emosi yang ia biarkan menguap. Nasibnya tengah dipertaruhkan, ia harus memperjuangkan agar tidak berakhir sesuai yang ayahnya inginkan. Martin Xu menghela nafas berat, ia masih duduk bersandar di kursi kebesarannya lalu menatap lesu kepada putra semata wayangnya. “Putraku, sebenarnya aku juga semarah itu ketika pertama kali mendapatkan surat dari Group Song. Si tua bangka itu benar-benar sialan, aku tak menyangka dia begitu licik menjadikanmu bidak untuk menekanku.” Keluh Martin yang tak kalah kesal, urat wajahnya tampak menonjol saking geramnya ia membicarakan musuh bebuyutannya. Novan Xu yang tampak seperti kesetanan itu masih belum bisa berdamai dengan perasaan kesalnya, ia berdiri tegap, melipat tangan di depan d**a dan menghunuskan tatapan tajam kepada ayahnya. Mencoba menelisik kebenaran dari pengakuan yang barusan ia dengar. “Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Dendam kesumat apa yang kalian bawa dari masa lalu, tapi apapun alasannya, aku tidak mau menjadi korban! Yang benar saja, aku harus menikahi mantan istri musuh bebuyutanmu. Kenapa tidak ayah saja yang menikahinya?” Sepasang mata Martin Xu nyaris mencuat dari kelopaknya begitu mendengar celotehan Novan Xu. Pria paruh baya itu merinding, membayangkan harus menjadi suami dari seorang wanita yang belum pernah ia lihat, tak tahu usianya, secantik apa wajahnya atau mungkin sangat tidak sedap dipandang mata, lalu harus menikahinya. Martin Xu menelan saliva, tenggorokan terasa kering hanya dengan membayangkan ia ada di posisi mempelai pria lagi. “Ng... Putraku, tolong kendalikan emosimu. Bukan ayah tidak mau menggantikan posisimu, tapi yang ditunjuk dalam surat kesepakatan damai itu adalah kamu. Kalau ayah yang menikahi wanita itu, semua aset serta perusahaan yang disita mereka tidak ada harapan lagi untuk jadi milik kita. Apa kamu mau berakhir sebagai pengangguran? Melarat? Kamu tahu sendiri seluruh aset kekayaan itu seharusnya menjadi milikmu, tapi si tua bangka Song itu berhasil merebutnya. Kalau kamu tidak menuruti kehendak mereka, maka sejarah dalam klan Xu akan berakhir pada ayah sebagai pewaris terakhirnya.” Gumam Martin Xu, mimik wajahnya begitu serius dan tegas. Untuk urusan kali ini, ia tidak bercanda dan ingin Novan Xu tahu akibatnya jika masih bersikeras menolak. Usaha Martin Xu tampaknya berhasil, Novan Xu bungkam, raut wajahnya tegang, hatinya mulai terguncang mendengar konsekuensi besar yang akan ia terima jika masih bersikukuh melawan kehendak ayahnya. ‘Haruskah aku menyetujuinya? Aaaarrrgghh! Seumur-umur aku belum pernah berurusan dengan percintaan, kenapa pengalaman pertama ini justru harus menikahi wanita tua?’ Novan Xu buru-buru menggelengkan kepala, menepis jauh bayangan wajah wanita tua yang ia khayalkan sendiri. Bulu kuduknya mengembang, membayangkannya saja ia sudah tak sanggup, apalagi harus menjalani kehidupan yang diaturkan oleh ayahnya dan si tua bangka Song itu. “Apa tidak ada cara lain, ayah? Rasanya aku tidak akan sanggup menuruti syaratnya. Membayangkannya saja sudah membuatku mual.” Gerutu Novan Xu reflek menutupi mulutnya dengan satu tangan, tersugesti merasakan sensasi mual hasil dari imajinasi liarnya yang tervisual sedang bermesraan dengan seorang nenek berambut penuh uban. Martin Xu ikut bergidik ngeri, rasanya prihatin kepada Novan Xu yang bernasib buruk, namun ia pun tak kuasa untuk mendorong putranya mangkir dari kesepakatan. “Tidak bisa! Sudah tidak ada win win solution lagi. Dia mengajukan syarat seperti ini mutlak, jika kita mau mendapatkan kembali aset yang disita itu. Ayolah putraku, apa kamu tidak kasian pada ayah? Aku kenal betul tua bangka itu, jika ada yang berani menyinggung atau menolaknya, orang itu mungkin akan dibawa mati bersamanya nanti.” Desak Martin Xu mulai kepanasan dalam perdebatan ini. Novan Xu mengerutkan dahinya, melirik ke arah ayahnya dengan tatapan licik. “Bukankah itu yang biasanya ayah lakukan kepada dia? Kenapa sampai sekarang ayah baik-baik saja?” Seru Novan Xu menggulingkan pertanyaan yang menyudutkan. “Eh... Itu... Pokoknya yang kali ini berbeda, dia sepertinya sudah tahu kapan ajalnya tiba. Semua wasiat dan warisan termasuk serangan pada klan kita juga sudah ia atur sebelum kematiannya. Bisa saja dia marah dengan penolakan kita lalu menyeret kita untuk mati bersamanya.” Martin Xu bergidik, membicarakan tentang kematian membuatnya ngeri. Novan Xu merasa capek berdiri sementara lawan bicaranya masih duduk santai di kursi empuk sambil terus mendesaknya. Ia menarik kursi di hadapannya lalu duduk, berusaha bersikap santai layaknya yang dicontohkan ayahnya. “Sebenarnya siapa Willy Song itu? Kenapa ayah tak pernah akur dengannya? Bukan hanya dalam persaingan bisnis, tapi kalian juga punya dendam pribadi, benar begitu ayah?” Selidik Novan Xu, satu jemarinya mengetuk meja. Martin Xu agak tersudutkan dengan pertanyaan itu, bola matanya berputar, gelagapan mencari akal untuk menjawab secara cerdas. “Ah, sudahlah panjang ceritanya, ini pasti akan terdengar membosankan bagi anak muda. Pokoknya ayah minta kamu jadi anak penurut kali ini saja! Si tua bangka itu sebentar lagi mati, istrinya pasti juga sudah tua, mungkin sebentar lagi akan menyusulnya ke alam baka. Siapa tahu sebelum kalian menikah, wanita itu sudah duluan menyusul suaminya. Dan belum tentu juga wanta itu bersedia dinikahkan lagi denganmu. Kamu tenang saja, masih banyak kemungkinan yang terjadi. Yang penting jangan takut untuk maju, kamu yang gentar atau musuhmu yang kamu buat gentar.” Seru Martin Xu, tangannya menarik laci meja lalu mengeluarkan satu amplop coklat. Novan Xu terus memperhatikan gerak-gerik ayahnya, pun paham apa isi amplop itu tanpa membukanya. Apa yang dikatakan Martin Xu mulai mempengaruhi pikirannya, ada benarnya analisa ayahnya, belum tentu juga wanita tua itu bersedia dijodohkan. Bisa jadi wanita itu pun sama seperti dirinya yang menolak keras perjodohan gila ini. Namun masih ada satu yang mengusik rasa penasaran Novan Xu tentang calon istri gadungannya nanti. “Siapa wanita tua itu ayah? Apa kamu punya fotonya? Aku ingin lihat seperti apa wajahnya!” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD