Bab 1 - Bestfriends

2003 Words
Apa rasanya jika dikelilingi oleh cowok-cowok tampan idola kampus? Menyenangkan? Mungkin iya. Itulah yang dialami oleh Zeline Carson. Seorang mahasiswi yang pada dasarnya memang cantik tapi tomboy. Hampir semua orang di kampus mengatakan bahwa ia adalah mahasiswi yang paling beruntung karena bisa dikelilingi oleh mahasiswa-mahasiswa tampan. Tapi ketahuilah, bukan karena para mahasiswa tampan itu mencintainya melainkan hanya sekedar bersahabat dengannya. Ya, sifatnya yang tomboy, ramah dan berpenampilan seadanya itu membuatnya mudah akrab dengan Nathan, Arion, Gerald dan Garvyn sedari awal mereka menempuh pendidikan di jurusan bisnis yang ada di salah satu kampus ternama di Singapura. Bagi Zeline sendiri, bukan karena sahabat-sahabatnya itu tampan makanya ia mau berteman lama dengan mereka tapi karena kecocokan selera humor dan hobi yang menjadikan mereka bisa bersahabat dengan baik hingga sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang dan mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah yang terakhir untuk hari ini. Si kembar tampan Gerald dan Garvyn sudah bergantian menguap hingga matanya berkaca-kaca saat mendengarkan presentasi yang menurutnya membosankan di dalam kelas tadi. “Yuk buruan pergi! Sakit kepala gue di sini lama-lama. Sumpah ngantuk banget! Loe sih Ger, ngajakin begadang semalaman!” protes Garvyn tak sabar ingin beranjak pergi karena memang beberapa orang sudah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Ia heran saja karena sahabat-sahabatnya ini masih duduk santai di tempat masing-masing. “Gue juga ngantuk! Lebay banget sih loe! Arion yang ikutan kita begadang aja gak ada protes apa-apa ke gue!” ujar Gerald membela diri. Arion yang merasa namanya disebut hanya melirik sekilas ke tempat di mana kedua saudara kembar itu sedang berdebat sambil menahan kantuk. Bukannya tak mengantuk, jujur saja kepalanya juga sangat pusing karena kurang tidur semalam tapi inilah hebatnya Arion, si tampan nan bijaksana dan yang paling jarang mengeluh di antara mereka semua. “Mau ke mana Zel?” tanyanya pada Zeline saat dilihatnya Zeline mulai beranjak dari tempat duduk sambil mengambil ranselnya. Zeline menoleh ke samping dan mendapati cowok-cowok tampan itu ternyata sedang melihat ke arahnya semua bahkan Nathan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya pun mengalihkan pandangannya ke arah Zeline. “Ya pulanglah. Emang kalian mau di sini sampai jam berapa lagi? Tuh liat kelas udah sepi!” ujar Zeline datar sambil mengangkat dagunya. Tanpa basa basi, Arion segera mengemaskan barang-barangnya diikuti oleh Nathan, Gerald dan Garvyn.   ***   “Biar saya aja yang catat pesanan kami, mbak”ujar Garvyn sambil meminta catatan kecil yang akan ia tuliskan berisi pesanan makanan dan minuman milik sahabat-sahabatnya maupun miliknya sendiri kepada seorang pelayan café tempat ia dan teman-temannya berada sekarang. Zeline menatap gerak-gerik pelayan wanita yang menyodorkan buku menu kepadanya dan juga sahabat-sahabatnya, kemudian pelayan itu tampak memberikan catatan kecil dan juga pulpen kepada Garvyn. Tampak jelas bahwa pelayan itu sedang mengamati wajah-wajah tampan di sekelilingnya ini yang membuat Zeline hanya bisa memutar matanya malas. Bisa dibilang bahwa ini adalah hal yang pasti akan selalu terjadi jika ia dan sahabat-sahabatnya ini pergi bersama. Zeline semakin muak saat melihat mata pelayan itu kini tertuju pada Nathan yang sedang sibuk mengotak-atik ponselnya. Mata pelayan itu tampak berbinar dengan senyuman malu-malu dibibirnya. Zeline mengabsen wajah sahabatnya itu satu per satu. Adakah di antara sahabatnya itu yang juga mengamati ekspresi konyol pelayan centil itu? Dilihatnya Arion sedang mengamat-amati buku menu itu, begitupun dengan Gerald. Sedangkan Garvyn sedang menulis beberapa menu yang didiktekan oleh Arion dan Gerald. Jangan tanyakan Nathan, karena si tampan yang satu itu masih saja asyik dengan ponselnya. “Kalian mau pesan apa Zel, Nat?” tanya Gerald memecah keheningan dan membuat Zeline tersadar dari lamunannya sedangkan Nathan kini mengalihkan pandangannya ke arah seseorang yang memanggilnya tadi. “Hmm… Gue pesan paket ayam bakar sama es jeruk kecil aja deh” jawab Zeline setelah memperhatikan sekilas daftar menu makanan yang ada di dalam buku menu itu. “Gue samain aja kayak punya Zeline” ucap Nathan singkat yang diangguki oleh Garvyn si tukang catat menu. “Oke, udah selesai mbak. Ini ya pesanannya” Garvyn memberikan catatan itu kembali kepada si pelayan wanita sambil tersenyum ramah yang dibalas pelayan itu dengan senyuman yang tampak dibuat semanis mungkin. “Loe sibuk banget sih, Nat” ujar Arion saat melihat Nathan yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya itu. “Biasalah, bucin” kata Gerald sambil memainkan bunga hias yang ada di dalam vas bunga di dekatnya. Nathan yang merasa sedang diomongkan itupun hanya menatap sahabat-sahabatnya sekilas sambil tersenyum lebar dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya. Arion dan Gerald  yang melihat tingkah Nathan tadi hanya bisa geleng-geleng tak percaya dengan kebucinan Nathan.  Bisa-bisanya seorang mahasiswa tampan yang beberapa bulan lagi akan wisuda ini menyukai seorang gadis hingga seperti orang yang buta cinta, bagaikan remaja yang baru mengenal cinta monyet. Apa karena selama ini Nathan selalu jomblo dan katanya belum pernah pacaran makanya ia bersikap seperti ini? Garvyn memilih untuk bersikap cuek. Baginya melihat Nathan yang hanya membalas omongan dengan senyuman seperti tadi itu malahan jauh lebih baik daripada Nathan kembali berkicau tentang gadis yang ia sukai itu. Terus terang saja hal itu membuat telinga Garvyn panas. Sungguh membosankan! Jika saja sikap Nathan hanya biasa-biasa saja, mungkin Garvyn dan sahabatnya yang lain tak akan bersikap seperti ini. Pasalnya, Nathan yang buta cinta ini sampai rela melakukan hal apapun yang gadis itu suruh walaupun Nathan sendiri tengah sibuk. Gadis yang Nathan sukai itu adalah junior mereka di kampus. Bisa dibilang bahwa gadis itu adalah salah satu gadis idola para mahasiswa di kampus namun tak berlaku untuk sahabat-sahabat Nathan ini. Pada awalnya, Nathan sendiripun terlihat tak menyukai gadis itu, malahan seingat Garvyn dan yang lainnya, gadis itulah yang tampak selalu mencari perhatian Nathan. Entah apa yang terjadi pada Nathan dan gadis yang diketahui bernama Tiffany itu hingga membuat Nathan menjadi seorang buta cinta alias bucin seperti ini. Kembali lagi, intinya jika Nathan tak membicarakan hal-hal apapun tentang gadis yang bernama Tiffany itu, Garvyn dan yang lainnya tak perlu bertingkah seperti cacing kepanasan karena mendengar omongan Nathan yang memuakkan otak mereka. Zeline sendiri juga merasakan hal yang berbeda. Setiap kali melihat ekspresi Nathan yang selalu tersenyum saat sedang berbalas pesan dengan seseorang yang Nathan cintai, Zeline hanya bisa tersenyum getir sambil memalingkan wajahnya ke arah lain agar ia tak fokus pada wajah tampan sahabatnya yang satu itu. Jujur saja, Zeline dulunya juga seperti Nathan. Ia juga belum pernah merasakan yang namanya pacaran dan mengenal apa itu cinta. Meski berteman dengan lelaki sejak kecil hingga kuliah, tak pernah sekalipun ia memiliki perasaan cinta untuk teman atau sahabatnya, apalagi dengan lelaki yang tak ia kenal. Entah mengapa pertahanan dan prinsipnya itu runtuh seketika hanya karena sosok salah satu sahabatnya dan pria itu adalah Nathan. Awalnya, persahabatan mereka berjalan biasa saja tanpa ada perasaan apapun selain perasaan sayang kepada sahabat. Akan tetapi, semua berawal sejak kejadian buruk menimpa Zeline setahun yang lalu. Ia harus kehilangan sosok kakaknya untuk selama-lamanya karena sang kakak mengalami kecelakaan dan mengakibatkan kakaknya meninggalkan dunia untuk selamanya. Sepulang dari Indonesia, Zeline harus kembali ke Singapura untuk melanjutkan kuliahnya walau dalam perasaan sedih yang luar biasa. Di saat ia terpuruk itulah para sahabatnya ini selalu datang menemani dan menghiburnya, termasuk Nathan.     Flashback on   “Zel, udah dong jangan sedih gini terus” ujar Garvyn, si tampan yang paling ceriwis di antara yang lain. “Iya Zel, loe jangan gini terus dong, kita semua jadi khawatir sama loe” kali ini Gerald, kembarannya Garvyn yang berbicara. Arion sedari tadi setia berada di samping Zeline, mengusap lembut punggung rapuh yang sedang bergetar karena tangis itu, sedangkan Nathan, ia sedang memegang semangkuk bubur yang dimasaknya barusan untuk Zeline. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan semua lelaki tampan itu masih setia menemani Zeline yang sedang bersedih ini. Bahkan terlihat jelas kekhawatiran terlukis diwajah tampan para lelaki itu karena Zeline yang tak kunjung berhenti menangis sejak kemarin siang tiba di Singapura dan belum juga makan entah sudah berapa lama. Wajahnya bahkan sudah pucat dan tubuhnya terlihat begitu lemah dan semakin kurus. “Zel, makan dulu ya, udah gue masakin nih” ucap Nathan lembut sambil menyodorkan sesendok bubur ke dekat mulut Zeline. Zeline hanya menggelengkan kepalanya singkat tanpa berniat menghentikan tangisnya yang kini tersedu dan terdengar begitu menyedihkan. Sekelibat bayangan wajah sang kakak tampannya  yang sedang  tersenyum selalu menghantui pikirannya. Mengapa begitu cepat Tuhan mengambil kakak satu-satunya itu? Yang paling ia sesalkan, ia begitu jarang bertemu dengan kakaknya itu karena kesibukan keduanya dan mereka sama-sama tinggal di tempat yang berbeda. “Loe harus ikhlas Zel, gak boleh kayak gini terus. Kakak loe pasti gak tenang juga di sana” ujar Arion sambil terus mengusap punggung sahabatnya itu. Hanya kata-kata seperti itu yang mampu dan terus terucap dibibir para lelaki tampan itu secara bergantian. Selama mengenal Zeline dibangku kuliah, belum pernah sekalipun para lelaki tampan ini melihat Zeline menangis, apalagi sampai seperti ini. “Zel, udahan ya nangisnya. Loe makan sekarang, terus istirahat. Ini udah malem” ujar Gerald sambil melirik jam tangannya. “Iya Zel, gue sama Gerald pamitan pulang dulu ya. Besok pagi kami ada urusan, habis itu kami ke sini lagi. Jangan sedih terus, kabari kami kalo loe butuh kami, Zel” ucap Garvyn penuh kesungguhan sambil berlutut di hadapan Zeline yang sedang duduk di sofa. Jika bukan dalam momen kesedihan seperti ini, mungkin saja Arion, Nathan, Gerald bahkan Zeline akan menertawai ekspresi Garvyn barusan karena Garvyn jarang sekali bisa bersikap seserius itu. “Ya udah, kami pamit dulu ya, Zel” kata Gerald sambil mengusap lembut kepala Zeline. Zeline hanya mengangguk pelan untuk menanggapi perkataan sahabat-sahabatnya itu. Rasanya untuk berbicara saja, ia tak punya tenaga lagi. Sekarang, hanya Nathan dan Arion yang tersisa dan masih setia menemani kesedihan Zeline. Tangisnya sekarang mulai reda namun tatapannya kosong. Keheningan melanda mereka bertiga. Nathan yang sedang memegang semangkuk bubur yang sudah dingin itu kini duduk di samping kanan Zeline, sedangkan Arion di sebelah kiri Zeline.   Drrtttt drttttt drrtttt   Ponsel Arion bergetar dan dengan segera ia mengangkat telpon itu. “Halo ma” ucapnya yang ternyata sedang tersambung dengan sang mama. “…..” “Lagi gak di apartemen sih sekarang. Ada apa?” “…..” “Oh ya? Kenapa mendadak sekali?” “…..” “Baiklah kalau begitu, Arion pulang ke apartemen sekarang ya” Arion menutup sambungan telpon setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia menyimpan ponselnya kembali di dalam saku celana. Di tatapnya kedua sahabatnya yang duduk di sebelahnya itu. “Hmmm.. Zel, Nat, maaf banget ya, sebenarnya gue mau lebih lama di sini tapi barusan mama gue telpon dan bilang kalau sepupu gue datang dan mau nginap di apartemen gue. Kalian gak papa kan gue tinggal sekarang?” tanyanya ragu sambil menatap kedua sahabatnya itu. Sebenarnya ia masih ingin di sini dan menghibur Zeline, setidaknya setelah memastikan bahwa Zeline bisa makan dan beristirahat. “Gak papa Ar. Makasih ya” ucap Zeline lirih sambil berusaha tersenyum. Ia juga sebenarnya tak mau ditinggal oleh Arion, ia sendiri sudah menganggap Arion sebagai kakaknya karena Arion selalu menjaganya. “Tenang aja Ar. Gue masih di sini kok jagain Zeline. Loe hati-hati di jalan ya” ucap Nathan meyakinkan Arion. Arion mengangguk mantap dan segera berlalu dari hadapan Zeline dan Nathan. “Kalau loe mau pulang juga, gak papa kok, Nat. Gue bisa sendiri di sini. Loe pasti capek juga kan?” ucap Zeline sambil melirik Nathan sekilas. Nathan menggelengkan kepalanya. Sungguh, ia tak tega melihat Zeline yang selalu tampil kuat di hadapannya kini menjadi Zeline yang rapuh seperti ini. “Gue akan pulang setelah gue pastiin loe makan dan istirahat dulu Zel. Anak-anak yang lain juga pasti bakalan tanyain loe ke gue nanti. Jadi, loe makan dong sekarang. Aaaaaaaaa” Nathan masih gigih merayu Zeline untuk makan bubur yang ia masak. Zeline terkekeh pelan melihat ekspresi lucu Nathan yang terlihat seperti sedang menyuapi anak kecil itu. “Iya, gue bakalan makan tapi kayaknya gue suap sendiri aja deh, Nat” ujar Zeline sambil tersenyum dan meraih mangkuk bubur dari tangan Nathan. “Gitu dong, Zel. Gak sia-sia kan gue masak” ucap Nathan sambil tersenyum tulus. Ditatapnya Zeline yang sedang menyantap pelan bubur buatannya itu. “Asin gak? Atau tawar?” tanyanya sambil melihat ekspresi Zeline. “Gak, ini enak kok, Nat. Makasih ya” ucap Zeline tulus. Setelah diingat-ingat, belum pernah ia merasakan masakan para sahabatnya dan seingatnya, Nathan sendiri jarang bahkan hampir tidak pernah masak di apartemennya. Entah bagaimana pria tampan ini bisa berhasil memasak bubur untuknya. Sekali lagi Zeline tersenyum tanpa sepengetahuan Nathan. Memang benar, di saat bersedih selalu saja ada hal yang bisa menghibur dan jangan lupa untuk bersyukur. Hari ini, hari di mana ia bersedih dan mungkin ini yang pertama kalinya ia menangis di depan para sahabat tampannya itu. Hari ini ia merasakan betapa peduli dan perhatiannya sahabat-sahabatnya itu pada dirinya. Satu lagi, hari ini juga ia merasakan masakan yang dimasak oleh salah satu sahabatnya dan masakan itu adalah masakan Nathan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD