PROLOG

441 Words
Entah apa yang aku pikirkan kala itu. Hatiku dibutakan oleh cinta. Aku yang masih berusia belia, terlena oleh kata manis yang meluncur dari bibirnya. Aku yang tak pernah mengenal arti cinta pada lawan jenis, seketika menasbihkan cinta terakhirku hanya untuknya. Sebenarnya dia tidak pernah menjanjikan sesuatu yang indah, tapi pesonanya telah menghipnotisku tanpa perlu membacakan mantra apa pun. Aku bertemu dengannya senja itu, di sebuah toko buku tak jauh dari rumahku. Aku ingat saat itu usiaku baru masuk 16 tahun, dan duduk di bangku kelas 12. Kepalaku berputar mencari sebuah buku paket untuk mata pelajaran Biologi tanaman. Hampir satu jam aku mencari, tapi aku tidak menemukan hasil. Aku meninggalkan toko buku dengan bahu turun. Sedih dan kecewa karena buku itu harus aku bawa untuk pelajaran besok. "Hei, tunggu!" seru suara berat laki-laki saat aku membuka pintu toko buku yang terbuat dari kaca. "Kamu lagi cari buku apa? Mungkin bisa aku bantu. Aku asisten paruh waktu di toko ini," ucapnya dengan senyum tulus. Aku bergeming menatapnya. Matanya teduh tapi begitu tegas. Wajahnya kalem dengan warna kulit laki-laki Indonesia pada umumnya. Rambutnya lurus dan sedikit berantakan. Ganteng. Ucapku dalam hati. Lalu menerbitkan senyum bulan sabit di wajahku. "Hei, gimana? Mau dibantuin nggak?" tanyanya sekali lagi. Aku hanya mengangguk lalu masuk kembali ke toko mengikuti langkahnya. Setelah menyebutkan tiga judul buku yang aku cari, dengan cekatan dia mencari di komputer dekat kasir. Beberapa menit kemudian, laki-laki itu mengambil sebuah tangga kayu warna coklat dan menaiki rak buku yang menjulang tinggi di belakangku. Ah...pantas saja, sudah hampir satu jam aku di sini, tapi tidak menemukan buku yang aku cari, tempatnya saja tersembunyi begitu. "Bener, ini buku-bukunya? Ada lagi buku yang kamu butuhkan?" Dia tersenyum lembut kepadaku. Aku menggeleng lalu mengeluarkan dompet dari dalam slingbag-ku. "Berapa semuanya?" tanyaku kemudian. "237ribu rupiah," jawabnya masih diiringi senyum yang sama. Aku menyerahkan kartu debitku padanya. Setelah selesai bertransaksi, dia mengembalikan kartu debitku. "Aku Reza. Kalau ada yang masih dibutuhkan, ke sini aja. Pasti aku bantu cariin bukunya." Dia menyodorkan tangan kanannya sambil tersenyum. Aku bergeming, mataku masih sibuk menikmati senyum dan sorot mata teduhnya. Reza berdeham sekali. Ya kini aku tahu nama laki-laki itu Reza. "Aku Lembayung," jawabku seraya menerima uluran tangannya. "Nama yang bagus. Apa kamu juga suka senja seperti arti nama kamu?" Aku mengangguk antusias. Tidak salah lagi. Aku memang menyukai senja, warna jingga dan matahari terbenam. Tiga unsur itu selalu bisa mewakili perasaanku. Senja selalu bisa mengajarkanku, bagaimana sesuatu padan saat dihinggapi keindahan. "Suatu hari, aku akan membawamu mengunjungi tempat yang memiliki senja terindah," ujarnya pasti. Bola mataku berbinar mendengar ucapannya. Reza lalu memberiku nomor kontak ponselnya, begitu juga aku. Sejak hari itu aku menemukan teman terbaik untuk menikmati senja, mengobrol kala senja dan menunggu dengan sabar matahari kembali ke pembaringannya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD