Prologue

1017 Words
Berita itu menyebar cepat ke seluruh negeri. Aku sendiri tidak percaya ketika harus mendengar berita itu. Salah satu kru pesawatku mengatakan hal-hal yang makin membuat kepalaku berdenyut kencang karena mereka mengatakan tentang berbagai macam hal. Aku menyesal karena aku tidak menemaninya. Seharusnya aku menjemputnya, dan mengantarnya, itulah tugasku sedari dulu. Tapi apa? Aku tidak ada di sampingnya dan kecelakaan itu terjadi. Secepatnya aku sampai di rumah sakit tempat dimana perempuan yang paling aku sayangi itu berada. "Tante Juwita..." panggilku lirih. Di sana, hanya ada Tante Juwita, kedua adik Cia, yakni, Eric dan Ashley, yang menunggu di luar ICU. "Cia kritis. Kata Dokter yang merawatnya, mustahil untuk Cia bisa kembali membuka matanya, karena keadaannya benar-benar buruk," jelas Tante Juwita dengan wajah sembap. Entah sudah berapa lama dia berada di sana dan menangisi putri sulungnya itu. Tante Juwita yang biasanya terlihat sekuat baja, bahkan menangis. "Boleh Nico masuk Tante?" Tanyaku. Tante Juwita langsung mengangguk. Sebelum aku melangkah ke dalam ICU, wanita yang berumur lebih dari setengah abad itu membisikkan sesuatu di telingaku. "Dia pasti menunggumu. Itu sebabnya dia belum meninggalkan kita." Aku tidak mau alasan Cia masih bertahan karena diriku, dan setelah aku sampai padanya, dia langsung meninggalkanku. Kalau begitu ceirtanya, aku tidak akan pernah datang ke rumah sakit ini asal dia tetap bernafas. Asal dia tetap dinyatakan bernyawa dan hidup. Aku melihat tubuh Cia yang biasanya lincah. Tubuhnya yang bisa menari seperti ulat bulu dengan gemulai. Tubuhnya yang akan langsung berlari menghampiriku setiap kali aku pulang dari tugasku. Cia yang biasanya mengeluarkan seribu satu ocehan yang tiada habisnya tentang ini dan itu, kini hanya terlihat tak bernyawa. Dia di pasangi alat bantu nafas, dan alat denyut jantung yang menunjukkan apa jantungnya masih berdetak atau tidak. "Alis, bangun. Gue udah dateng nih," kataku sebagai gurauan. "Sumpah deh, kalo lu tidur kayak begini nggak ada cocok-cocoknya. Bangun makanya." Tak ada respon apapun dari Cia yang. Satu hal yang tidak pernah aku akui di hadapannya hanyalah dua hal. Pertama, aku takut kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Dan kedua, aku sangat mencintainya. Sejak dulu, aku sangat mencintainya, seperti bulan yang tak bisa bersinar tanpa cahaya matahari. Buatku, cahaya itu adalah senyuman Cia yang selalu menghangatkan hari-hariku yang dingin. Cia adalah segalanya untukku. "Biasanya yang selalu bangunin gue kan elo Lis. Kalo lo begini, siapa yang bangunin gue nanti?" Tanyaku lirih, sambil menggenggam erat tangan kirinya. "Apa lo lupa kalau kita bakal nikah bulan ini? Cia, bangun. Gue mohon Cia." Anggaplah aku gila karena mengharapkannya untuk segera sadar. Di saat linangan air mataku mulai mengalir deras, di saat itu pula aku melihat sebuah buku di atas meja sebelah ranjang Cia. Buku itu sudah lama aku lihat. Cia selalu membawa buku itu bersamanya, tapi dia tidak pernah mengizinkanku untuk melihatnya. Sampai akhirnya, aku memberanikan diriku dan meraih bukunya. Tulisan khasnya memembuatku menitikkan air mataku lagi, walupun aku tak menginginkannya. Kaleidoscocia (Read: Kaleidoscope Nico-Cia) Aku membuka halaman demi halaman yang ada, sampai halaman terakhir di buku itu. Di dalamnya, terdapat foto-fotoku ketika aku masih SMP, fotoku dengannya saat prom waktu SMA, fotoku saat aku diterima di sekolah penerbangan, foto saat aku pertama kali seragam pilot di maskapai pertamaku, foto setiap makanan yang aku dan dia santap bersama dari SMP, dan terakhir, ada kolase foto selfie terakhirku dengannya sebelum aku pergi untuk terbang beberapa hari lalu. Namanya Nico. Adityo Nico Hartawan. Dari namanya jelas banget kalo dia o-kay (read: orang kaya). Mungkin karena itu dia bener-bener keliatan songooooog banget, dan sombong. Mungkin. Tapi, kemungkinan bodoh itu ternyata salah ketika gue ketemu face-to-face sama dia. Nggak seburuk yang gue duga juga kok selama ini. Sumpah, you're really a mystery Nic. Atau tulisan tentangku lainnya. I got an eating buddy! Yea, dia tetap Nico, si kulkas yang banyak hartanya itu. Hahaha. Dia tadi kageeeeeeet banget karena gue makan banyak. Mungkin dia nggak nyangka kalau artis, model dan penyanyi kaya gue gini hobi makan banyak, dan makanannya berlemak semua. Untungnya dia juga ikutan makan habis gue jejelin ini dan itu. Keren ya? Iyalah, bukan Cia namanya kalau nggak bisa maksa. Yang paling membuatku sedih adalah tulisannya mengenai hari dimana aku melamarnya. Hai world!! Tepat hari ini status gue naik 1000 level kawan-kawannn! Gue resmi jadi (tolong di kasih huruf cetak ya!) CALON ISTRI NICO HARTAWAN!! Waaa! Sumpah seneng bukan main rasanya setelah sekian tahun bareng-bareng sama orang kulkas yang agak miring kaya dia, makan bareng, curhat, dan gue juga yang anjurin dia nggak usah nikah sama sekali apalagi, dia pilot, mending jadi playboy aja dehhh! Tapi tau sendirilah ya, mukanya dia kaya gimana... Ganteng... Otaknya juga encer banget kaya air terjun, deres banget. Matanya itu loh.. ukh, mana tahan sih gue nolaknya? Anyway, gue nggak pernah nulis ini sebelumnya di buku ini, karena gue takut banget Nico bakal sewaktu-waktu iseng, dan ngebuka buku ini terus di baca. Mau taro dimana muka gue? Artis badai kaya gue selama delapan tahun udah naksir sama sahabatnya sendiri, tapi..... dia malah nggak ada keinginan buat nikah sama sekali. Kalo ketahuan wartawan bisa abis dong gue jadi bulan-bulanan infotainment. Gue suka sama lo Nic. Dari sejak pertama kali lo nolongin gue pas gue di labrak itu. Suka sebagai cowok gagah... eh, coret, lo nggak perkasa. Maksudnya sebagai cowok dingin yang berhasil membuat gue lolos dari labrakan kakak kelas. Tapi gue baru bener-bener sadar sama perasaan gue saat lo hilang dari jangkauan mata gue, untuk tugas lo sebagai pilot. Gue nggak sanggup ngebayangin lo digodain sama pramugari-pramugari genit (tapi cantik) di pesawat lo itu. Apapun itu, intinya gue bener-bener sayaaaang banget sama lo Nic. "Kalau memang lo sayang sama gue, tolong buka mata lo. Cia, gue mohon dengan sangat, gue bener-bener sayang sama lo." Air mataku terus membanjiri tempat tidur ICU-nya Cia. Aku ingin menatap matanya lagi. Mata indahnya itu sekali lagi. Setidaknya, jika tidak ada lain kali, izinkan aku untuk melihat matanya walaupun ini untuk yang terakhir. "Sekali lagi, Cia. Aku mohon." "Dia pasti menunggumu. Itu sebabnya dia belum meninggalkan kita." Perkataan Tante Juwita mungkin ada benarnya. Mungkin itulah alasannya belum meninggalkanku. Tapi aku sudah ada di sini, apa kau akan pergi begitu saja Cia? Apa kau tidak mau bertahan demi aku? Demi kita?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD