Chemistry Teman Masa Kecil

3003 Words
Taman kampus... Tiupan angin mengibaskan helaian rambut seorang mahasiswi yang sedang duduk memandang laptopnya. Kedua matanya fokus menatap laptop dipangkuannya. Dari depan terlihat jelas hidungnya yang mancung. Paras wajahnya yang cantik bak bidadari, membuat pria manapun berlutut padanya. Tak seorang pun mampu menaklukkan seorang putri dari keluarga Primarta. Gadis itu bernama Az-Zahra Primarta. Pewaris tunggal di sebuah perusahaan terbesar di Jakarta. Az-Zahra atau yang kerap disapa Zara merupakan salah satu mahasiswi jurusan management di salah satu kampus terkenal di kota ini. Cantik, pintar, dan cerdik membuat kagum banyak orang. Tiba-tiba ada seseorang dari belakang yang menutup kedua matanya. Ia mengembangkan senyum separuhnya dengan tulus. "Tanpa mendengar suaramu, aku tau siapa ini," ujarnya sambil memegang tangan seeorang yang menutup kedua matanya. Pria itu bernama Nabihan Bachtiar atau kerap disapa Bihan. Ia adalah teman masa kecil Zara. "Oh ya. Jadi sekarang kau bisa meramal," sahut Bihan sambil mendekatkan kepalanya disamping kepala Zara. "Tentu saja tuan Bihan Bachtiar," Bihan melepaskan tangannya. Zarapun bisa membuka kedua matanya. Dari dulu sampai sekarang Zara dan Bihan selalu bersama. Sebelumnya mereka kuliah bersama. Namun Bihan mengambil jurusan hukum dan lulus lebih dulu. Mereka hanya selisih 2 tahun. Meskipun mereka tidak satu kampus, Bihan tetap mengantar jemput Zara. Keduanya saling melengkapi. Dari cerita sahabat lama-lama mereka tidak menyadari ada asmara yang tersembunyi. Keduanya duduk di ta.man kampus. Sore yang bersahabat, langit kota Jakarta begitu ramah dengan kehadiran senja yang semakin menambah cantiknya taman kampus dengan air mancur yang indah menghiasi di tengah-tengah taman. Bihan dduk diam, berpangku dagu sambil menatap Zara. Lama-lama Zara salah tingkah. Hatinya gugup ketika bayangan Bihan samar-samar sedang menatapnya. Zara memutuskan untuk menutup laptopnya. "Tumben kau menghampiriku ke taman. Biasanya kau menungguku di parkiran," Zara sengaja mengajak bicara Bihan agar ia bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "2 jam lalu aku standbay di parkiran," tukas Bihan sambil memalingkan wajah kedepan. "Oh ya.. Katakan berapa lagu yang sudah kau ciptakan?" sahut Zara sambil menatap wajah Bihan dengan senyuman manis. "Apaan sih," Zara tertawa melihat Bihan yang mulai cuek. Itulah cara Zara menghibur diri ketika menghadapai rayuan BIhan. Duduk disamping aktor tampan merupakan sebuah keberuntungan. Apalagi Bihan banyak fansnya. Aktor tampan yang sedang naik daun ini selalu mengedepankan prinsip setianya. Ia jarang bicara dengan lawan jenisnya. Hanya Zara tempatnya mencurahkan segala diary hidupnya. Sementara itu, Banyak pria yang iri kepada Bihan. Hanya Bihan satu-satunya pria yang bisa membuat Zara tersenyum. Apalagi duduk disamping idola kampus. "Aku heran denganmu," "Heran kenapa," "Kau lulusan sarjana hukum. Tapi kenapa kau memilih menjadi musisi," Kedua bola mata Zara bergerak-gerak mencari kejujuran dari tatapan Bihan. "Karena aku suka musik. Aku juga menyukai ilmu hukum," Selain berprofesi aktor, Bihan juga menjadi musisi. Lagu-lagu ciptaannya bertema cinta. Dalam 2 tahun ini, karirnya naik daun karena lagu-lagunya digemari kaum millenial. "Aku juga heran denganmu," sambung Bihan. "Kenapa..." "Gadis secantik dirimu tak kunjung menikag. Padahal ada banyak pria yang mengantri ya bisa dibilang seperti deretan orang mau nglamar kerja," Hening sejenak. Zara merasa kata-kata Bihan merupakan sebuah kode keras. Entahlah mengapa tiba-tiba Bihan menanyakan hal ini pada Zara. Wajahnya mulai memerah karena tersipu malu. "Emzz karena karirku masih panjang. Aku ingin nyelesain kuliah, Laluu---" "Menikah?" Sela Bihan. "Ihh bukan. Aku ingin bekerja dulu," Zara menepuk lengan Bihan. "Ohh kirain," "Kita pulang sekarang?" ujar Zara sambil memasukkan laptop ke dalam tasnya. Mereka berdiri bersamaan. Jalan berdua gandengan adalah kebiasaan yanh tidak bisa dilewatkan. Percakapan berlalu seiring langkah demi langkah menuju parkiran. Mereka terlihat pasangan serasi. Saling bergandengan, dan berjalan santai. Semua orang mengira mereka adalah sepasang kekasih. Bahkan para fans Bihan menjodohkan idolanya itu dengan Zara. Kebersmaan Zara dan Bihan memang bak pasangan sejati. Kebersamaan, kemesraan, dan tatapan mereka sudah jelas menandakan sebuah hubungan. Tak bisa dipungkiri, kenyataannya mereka hanya sahabat. Dari waktu ke waktu mereka belum menyatakan perasaan satu sama lain. Tak jarang publik figur dipenuhi gosip kebersamaan Bihan dan Zara. Sesampainya di parkiran, Bihan merogoh sakunya untuk mengambil kunci motor. Saat Bihan memakaikan helm di kepala Zara, tiba-tiba hujan telah memgguyur kota Jakarta. Wajah Zara terlihat layu karena hujan ia tidak bisa pulang. Padahal hari ini jadwal kuliahnya sangat padat sehingga membuatnya letih. Bihan mengedarkan pandanganya kearah motor. "Seharusnya aku membawa mobil.," ujarnya. Zara melepas helm di kepalanya. Ia menjulurkan tangan ke pundak Bihan. "Tidak masalah. Lagi pula Kita tidak bisa memprediksi kapan hujan datang," Zara menyilangkan kedua tangannya didepan badan. Bihan menganggukkan kepala. Ia mulai berdiri dan mencari tempat untuk sahabatnya duduk. "Kemarilah Zara. Aku yakin tempat ini nyaman untuk diduduki," Zara menghampiri Bihan. Mereka duduk bersama di bangku parkiran. Sore ini hujan turun cukup deras. Karena hujan mereka terjebak di parkiran. Zara mulai menggosokkan kedua telapak tangannya. Sepertinya ia kedinginan karena hanya mengenakan Empire line, jenis pakaian yang memiliki band pinggang sangat tinggi, biasanya terletak di bawah d**a, melingkar dan membentuk ikat pinggang. Bihan melepas jaketnya lalu mengenakannya pada Zara. "Ee, Bihan kau juga kedinginan. Udah aku gak papa kok," "Jangan bawel. Pakai saja," Bihan rela menahan dinginnya udara, ketika melepas jaket agar Zara tidak kedinginan. Mereka sama-sama menatap setiap air yang turun dari langit. Sepatah kata indah keluar dari mulut Bihan. Andai saja ia membawa gitar, pasti sekarang ia sudah menciptakan lagu spesial untuk Zara. Dua menit berlalu, Bihan melirik jam tangan yang menempel ditangan kirinya. Hari semakin gelap. Namun hujan tak kunjung reda. "Hujannya setia," ujar Bihan. "Setia?" "Ya setia menunggu kita disini," "Bukannya kita yang menunggu hujannya reda," "Oh iya juga ya," "Apa aku boleh bertanya? Kenapa kau masih menungguku," sahut Zara. Seketika Bihan mengalihkan pandangan ke sekeliling parkiran.Ia menggaruk bagian belakang kepala. Sebenarnya Bihan menganggap Zara bertanya alasannya mengapa sampai saat ini ia masih menunggu dirinya. Petikan jari memecah keheningan. Terpaksa Bihan harus menjawab pertanyaan Zara. "Jadi gini karena ak-akk-akku ---" "Karena kau pulang dari studioo. Jadi sekalian mampir ke kampus buat jemput aku. Eh ternyata hujan jadi terpaksa kau harus menunggu disini. Benarkan," tegas Zara. Ternyata Bihan salah paham. Hampir aja Bihan akan mengutarakan perasaannya. Bihan menganggukkan kepala sa.mbil tersenyum malu. Akhirnya hujan mereda. Titik-titik kecil mulai turun tapi menandakan hujan mulai berhenti. Bihan lega melihat hujannya berhenti. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang sekarang juga. Di perjalanan, Bihan menyetir motornya. Sedangkan Zara duduk diatas jok motor. Angin berlalu menyejukkan suasana. Mendung hitam di langit Jakarta. menyisakan pemandangan yang indah. Bangunan tinggi yang basah menambah suasana serasa dikota Swiss. Tiba-tiba Bihan menambah laju kecepatannya. Ia sengaja melakukan ini agar Zara kedinginan dan memeluk punggungnya. Namun upayanya tidak berhasil. Ia terkejut melihat lampu tak jauh dari pandangannya. Cekikkk... Suara rem motor Bihan. Tiba-tiba badan Zara memeluk punggung Bihan. Kejadian ini tak berlangsung lama. Motor Bihan berhenti karena lampu merah. Dari spion terlihat jelas. Zara sedang tersenyum malu. Angin mulai berhembus. Zara memasukkan tangannya di saku jaket Bihan. Dari tatapannya Bihan mulai gugup. Ia merasa Zara sedang kedinginan sehingga memelukknya. Bihan sengaja menghadapkan spion ke wajah Zara agar bisa saling menatap. Lampu hijau akhirnya menyala. Sebelum Maghrib Bihan harus sampai di rumah Zara. ----- Mereka tiba di depan rumah mewah berlantai 2. Inilah kediaman keluarga Primarta. Suatu kehormatan bagi Bihan yang mendapat kepercayaan untuk mengantar jemput putri Zara. "Silahkan tuan putri," ujar Bihan sambil membungkukkan badan. "Sssttt diam." "Sesuai perintah," Bihan mengunci mulutnya. Zara bergegas menaiki anak tangga menuju teras rumahnya. Bihan mengikuti Zara dari belakang. Tiba-tiba Zara terkejut melihat papinya, tuan Tirta Primarta sedang berdiri di depan pintu. Sebagai anak sulung, keamanan Zara lebih diperketat dari pada 2 saudari angkatnya, Ayanna dan Anzarika. Zara sendiri adalah pewaris tahta di keluarga Primarta. Tak jarang jika musuh papinya selalu mengincar Zara. "Sore Pi," sapanya sambil menganggukkan kepala. "Apa arlojimu rusak lagi," Tuan Tirta mendekati putrinya. Pandangan Zara tertuju pada jam tangan yang menempel di tangan kirinya. "Tidak Pi," Tuan Tirta meletakkan tangannya di pinggang. "Apa kau Lupa. Sekarang jam berapa. Seharusnya kau tidak usah pulang apalagi menuruti aturan yang papi yang biasanya sering kau langgar."Zara menundukkan kepala. Ia mempunyai alasan pulang terlambat. Namun tuan Tirta marah padanya. Tuan Tirta mengalihkan pandangannya ke arah Bihan yang hanya diam saja. "Nak Bihan!" Bihan hanya menganggukkan kepala. Ia sedang mematuhi apa yang dikatakan Zara. "Kau baik-baik saja," sahut Tuan Tirta. Zara segera membalikkan badan menghadap Bihan yang berada di belakangnya. Mereka berdua saling bertatapan. Zara memberi isyarat agar Bihan bicara. "Sesuai perintah tuan putri," ujarnya lirih. "Ehem," Zara segera berbalik badan. "Begini paman. Zara pulang terlambat karena salah saya. Seharusnya saya bawa mobil. Jadi meskipun hujan, saya bisa mengantar Zara tepat waktu sampai rumah," jelas Bihan. Hening sejenak. Zara tidak berani menatap wajah papinya yang mengatupkan rahang. "Nak Bihan kau tidak perlu merasa bersalah. Aku yakin kau sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga Zara," ujar Tuan Tirta sambil melipat lengan. "Iya paman. Kalau begitu saya izin pamit," "Oh Iya ya ya.. hati-hati di jalan," Bihan menuruni anak tangga dengan perlahan. Begitu sampai di bawah ia menengok keatas melihat tatapan Zara. Ia melemparkan senyuman pada Zara. "Masuk," tegas tuan Tirta sambil membuang muka. Dengan wajah murung, Zara masuk rumah dengan sedikit ketakutan di hatinya. Tuan Tirta Primarta adalah papi yang tegas sekaligus Direktur yang bijaksana di perusahaannya. Ia tidak suka jika ada seseorang yang melanggar aturan. Maka dari itu tuan Tirta sangat tegas pada putrinya. Selain itu, ia juga khawatir dengan keselamatan putrinya. Pasalnya ia mempunyai banyak musuh yang ingin balas dendam. ----- Brem...brem... Bihan akhirnya sampai di rumah. Ia segera memakirkan motor kesayangannya itu di garasi. Kemudian Bihan masuk kedalam rumah. Tepat di ruang tamu ia disambut oleh kedua orang tuanya. Bagi Bihan kedua orang tua adalah segalanya dan orang pertama yang ia ingin bahagiakan setiap saat. Mama dan Papa adalah panggilan akrabnya sejak kecil hingga ia tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang berumur 25 tahun. Rasa sayang kepada kedua orang tuanya memotivasi dirinya untuk terus mengejar impian yaitu untuk menjadi musisi terkenal. "Kau darimana," Tanya Prawira Bachtiar, seseorang yang Bihan panggil papa. "Ee itu pa, tadi Bihan ke----" "Ke rumah Zara dulu pa," Ujar Ilham, kakak kandung Bihan. Ilham tiba-tiba menyela pembicaraan. "Hussst diam!" "Ohoho benarkah itu Bihan," sahut Vernatta, mama Bihan. Dengan terpaksa Bihan mengatakan iya. Semua orang tersenyum kepada Bihan. "Bihan...Bihan...anak muda jaman sekarang mencari alasan untuk bertemu seseorang," sahut papanya. "Kenapa tidak Pa. Bihan seorang musisi dan aktor tampan ternyata malu-malu mengutarakan cintanya pada Zara," sindir kakaknya. "sssstttttt diam! Diam," ujar Bihan sambil membungkam mulut kakaknya. "Eee pah mah.. Bihan mau ke istirahat dulu di kamar," "He tunggu dulu," pinta mamanya sehingga membuat langkah Bihan terhenti. "Makan malam dulu nak," "Nanti saja Ma. Aku ingin sholat dulu," "Hm baiklah," Di ruang tamu kakaknya mulai membicara hubungan Bihan dengan Zara. Kisah 20 tahun yang lalu memang kerap membuat semua orang terkesan. Apalagi kedua orang tua Bihan. Mereka dulu pernah mempunyai niatan untuk menjodohkan Bihan dan Zara. Setelah menunaikan sholat maghrib, Bihan berbaring diatas ranjangnya. Malam kini tiba dengan seribu cerita yang terlewati hari ini. Tentang hujan yang romantis menemani senjanya bersama wanita cantik. Bihan belum juga bisa menutup matanya selarut ini, wajah yang terus menghiasi pandangannya ke langit-langit, terus mengusik telinganya dengan canda tawa sore itu. Bagaimana mungkin rasa bisa muncul sesederhana ini, hanya karena hujan yang menjebak keduanya di parkiran kampus. Dan bagaimana mungkin hati bisa selunak itu memberikan rasa kepada seseorang yang belum tentu memiliki rasa yang sama. Badannya terus berputar ke kiri dan ke kanan, sampai sesekali kepalanya ditutupi oleh bantalnya. Namun lelap pun belum juga menghampiri kedua matanya, ia terus saja memikirkan obrolan singkat di parkiran itu. “Suaramu adalah melodi indah yang tidak pernah pergi dari pikiranku. Matamu mirip seperti bintang yang terangnya tidak pernah sirna. Sedangkan senyummu adalah hal tercantik di seluruh dunia yang tidak pernah pergi setiap kali aku menutup mata.” puisi indah yang mulai diucapkan Bihan. Bihan menutup kedua matanya. Ia mulai terlelap dengan senyuman diwajahnya. Kriet... Ilham masuk ke kamar Bihan untuk menyampaikan pesan dari mamanya untuk segera bergabung ke meja makan. Ia mendapati adiknya yang sudah tidur sambil tersenyum. Di depan pintu, Ilham melipat kedua lengannya. "Rupanya dia sudah kenyang karena cinta," ujar Ilham yang melihat adiknya tertidur pulas. Ilhan pun menutup pintu kamar Bihan dengan perlahan. Lantunan suara sebait kata, sepenggal kerinduan hanyut dalam sebuah dekapan, angin semilir dingin dalam kesejukan. Pagi tidak dapat hadir tanpa melalui putaran malam mentari terbit menukar rembulan sinarnya yang hangat. Di meja makan, sudah ada roti lengkap dengan selainya. Vernatta Bachtiar, istri dari tuan Prawira sedang mengoleskan selai diatas roti. Meskipun ada banyak pelayan, namun Vernatta sendiri menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Kedua putranya, mulai keluar dari kamar mereka masing-masing. Vernatta meminta mereka agar cepat duduk dan sarapan bersama-sama. Di meja yang sama, mereka tampak menikmati sarapan paginya. Rutinitas ini tidak pernah ditinggalkan. Meja makan inilah yang biasa menjadi tempat berkumpul, dan bercanda ria. Keluarga Bachtiar sering disebut keluarga Musisi. Pasalnya Prawira Bachtiar yang berprofesi menjadi musisi, bakatnya ditiru oleh kedua putranya. Sang anak sulung, Ilham Bachtiar mulai terkenal karena lagu-lagunya yang bertema galau. Selain itu Ilham Bachtiar juga kerap mengikuti dance. Dan sang anak bungsu, Bihan Bachtiar karirnya mulai naik daun. Selain wajahnya yang tampa, ia juga mahir dalam menciptakan lagu. Ddrrzzzz Ponsel tuan Prawira berdering. Ia segera merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel. [Iya hallo] Suasana hening sejenak. [Oh baiklah aku akan segera datang] Prawira meletakkan ponselnya di samping meja. Sebelum berdiri, ia mengambil tisu untuk membersihkan mulutnya dari sisa makanan yang menempel. Prawira terlihat buru-buru hingga mengundang perhatian anak dan istrinya. "Suamiku apa kau butuh sesuatu," tanya Vernata sambil memperhatikan wajah suaminya yang mengerutkan dahi. "Tidak. Ee aku sudah terlambat. Jadi aku mau berangkat dulu. Bihan, Ilham papa duluan ya," tegas Prawira meninggalkan meja makan dengan tergesa-gesa. "Mau kemana papa," "Sssstt jangan bertanya," tukas Ilham "Kenapa begitu," "Hey cepat habiskan sarapanmu. Setelah ini mama akan bertemu dengan maminya Zara untuk membahas perjodohan Ilham," ujar Vernatta Uhuk..uhuk.. Ilham terkejut mendengar kabar ini hingga membuatnya tersedak. Bahkan Bihan pun juga terkejut. "Apa! Siapa yang akan dijodohkan dengan kakak,. Ayanna atau Anzarika?" Tanya Bihan dengan penuh semangat. "Bukan mereka. Aku hanya ingin memilih gadis yang tepat untuh Ilham. Dan sahabatku Wilda akan membantuku," "Itu ide yang sangat bagus ibu. Dengan begitu kakak akan segera menikah. Dan aku adalah orang yang paling sibuk dalam persiapan pernikahan kakak," ujar Bihan sambil berdiri. Ilham bangkit dari tempat duduknya. Ia begitu tegang mendengar rencana perjodohannya. Ilham menggaruk-garukkan rambutnya. "Ee ma.. Sebaikanya mama bersiap sekarang. Kedua putramu ini akan mengantarmu ke rumah keluarga Primarta," ujar Ilham sambil merangkul pundak adiknya. "Baiklah," sahut Vernatta. Dia mengembangkan senyum separuhnya dengan tulus. Setelah Vernatta pergi ke kamarnya untuk mengambil tas, Ilham menarik tangan adiknya. Sampai ke teras. Ia begitu gugup hingga menyebabkan tangannya bergetar. "Wohohoho sepertinya kau tidak sabar bertemu jodohmu. Hingga kau menarikku sampai ke teras depan," ejek Bihan. "Diam! Diam!" Ilham melihat sekeliling. Ia memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraannya. "Dengar! Ak---aku belum siap menikah. Ku harap kau mengerti ini Bihan. Aku mohon lakukan sesuatu agar mama tidak menjodohkanku dengan gadis pilihannya," tukas Ilham. Mulut Bihan melengkung membentuk senyuman. Ia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kakaknya yang gugup ketika mendengar rencana perjodohan. "Bagus tertawakan saja," Ilham mulai merajuk. Ia memalingkan wajah dari adiknya. "Apa yang bisa ku lakukan," tangan kanannya memegang pundak sang kakak. "Jika kau minta tolong pada adikmu ini. Maka sudah menjadi tugasku untuk membantumu," sambung Bihan Seketika Ilham menatap wajah adiknya. Kedua matanya terbuka lebar tapi bibirnya tersenyum. "Sungguh! Ta-tapi apa yang akan kau lakukan," "Bihan...Ilham, apa kalian sudah siap," ujar Vernatta yang tiba-tiba datang. Vernatta terlihat elegan menggunakan baju warna merah. Dia selalu memperhatikan fashionnya. Tas, sepatu, baju semuanya menyatu dalam tema yang sesuai. "Ayo berangkat," Vernatta menggandeng tangan kedua putranya. Ia bagai ibu ratu yang digandeng oleh kedua pangerannya. ---- Setelah 20 menit kemudian, mereka akhirnya sampai di kediaman Primarta. Brag... Suara sepatu Bihan nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan menaiki anak tangga. Di teras suasana sejuk mulai menusuk badan. Sejuk karena banyak tumbuhan yang tumbuh di taman depan rumah Primarta. Vernatta menekan bel rumah. Mereka harus menunggu beberapa menit menunggu tuan rumah membukakan pintu. Vernatta berdiri didepan pintu. Kedua putranya berdiri di belakangnya. Seperti biasa Bihan selalu tenang menghadapi situasi apapun. Namun tidak dengan Ilham. Dari tadi hatinya bergetar. Ia takut sekali jika mamanya menemukan gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya. Ceklek... Dari balik pintu, Nyonya Wilda Primarta berada tepat dihadapan Vernatta. Keduanya menatap dengan penuh kebahagiaan. Tanpa basa basi lagi, Wilda mempersilahkan sahabatnya beserta kedua putranya untuk segera masuk rumah. Bihan mengalihkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sebenarnya ia mencari keberadaan Zara. Dari tadi malam ia sudah tidak sabar untuk menemui Zara. Dan pada kesempatan ini, ia ingin mengutarakan perasaannya. Akankah Bihan berhasi? Dan apakah Wilda merestui hubungan mereka. Ia sampai tidak sadar, dihadapannya ada sofa. Hampir saja ia terjatuh karena menabrak sofa. Aksinya kali ini tidak diketahui orang disekitarnya. Wilda mempersilahkan tamunya duduk di sofa. Ia juga meminta pelayannya agar menyajikan jamuan untuk tamu spesialnya. Layaknya sahabat lama yang jarang bertemu, Wilda dan Vernatta saling berbincang. Wilda menunjukkan foto-foto gadis cantik dari keluarga terpandang. Begitu banyak gadis yang akan Vernatta pilih. Sekian banyak gadis, Vernatta menjadi bingung.. Ilham kembali panik. Ia mulai menggaruk rambutnya. Pandangannya mulai kemana-mana. Ia memberi isyarat pada adiknya yang duduk tenang. Bihan mulai sandiwaranya. Ia pura-pura tidak mengerti isyarat kakaknya. Ilham menepuk jidatnya. Dihatinya ia merasa kesal dengan adiknya. Ia menahan amarahnya karena ini bukan waktu yang tempat untuk membalas perbuatan sang adik. Pandangannya mulai fokus pada mamanya yang sedang sibuk memilih gadis untuknya. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Ia menarik nafas dan mengeluarkannya lagi. Ia berusaha tenang dan mendamaikan pikirannya sedang kacau. Suasana hening pecah ketika Tuan Putri Zara datang ke ruang tamu membawa nampan yang berisi minuman. Di belakangnya ada beberapa pelayan yang membawa nampan berisi kue kering. Sebagai seorang putri, Zara sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Meskipun ia dikelilingi banyak pelayan, namun ia tetap melaksanakan pekerjaannya. Wilda telah mendidik putrinya dengan pekerjaan rumah agar putrinya nanti bisa menyesesuaikan diri di rumah mertuanya. "Aku tidak salah memanggilmu bidadari. Semua orang bisa menyukaimu, karena kecantikanmu. Namun hanya kepribadian dan sikapmu yang membuatku ingin tetap bersamamu," gumam Bihan melihat Zara tanpa berkedip. Dari dekat, pancaran kecantikan Zara pun terlihat. Sementara itu Zara dengan lihainya menghidangkan minuman kepada tamunya. Setelah selesai, semua pelayan kembali ke dapur. Wanita yang Bihan sebut tuan putri itu pun duduk disamping nyonya Wilda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD