Pertemuan Pertama

1678 Words
Menjelang pukul 11.00, Nathan dan teman-temannya sudah tiba di kamar inap istri Rinto. Ucapan selamat dan pelukan bergantian, menjadi aktivitas awal pertemuan para pria itu. Tak lupa, sebuah buket bunga dan sekeranjang buah mereka bawa sebagai buah tangan. Semalam Ia mendapat kabar gembira dari sahabatnya, Rinto –melalui grup w******p yang beranggotakan dirinya dan tiga orang sahabatnya sejak SMA. Setelah hampir dua belas jam yang menegangkan bagi Rinto, akhirnya ayah baru itu bisa mengabarkan statusnya yang resmi berubah –segera setelah istrinya melahirkan. Jadi, pagi tadi Nathan sudah membuat janji dengan para sahabatnya yang lain –untuk bersama menengok keluarga kecil Rinto yang masih berada di Rumah Sakit Umum Aryatama. Nathan dan kedua temannya, tak paham betul soal dunia per-bayi-an atau apa yang seharusnya mereka bawa ketika menjenguk orang yang baru saja melahirkan, pun mengunjungi seorang yang baru saja menjadi ayah. Jadi, mereka tak membawa kado-kado yang berhubungan. Sebaliknya, mereka sudah mentransfer saja sejumlah uang ke rekening Rinto. Mungkin akan bermanfaat untuk tabungan masa depan sang anak. Karena Nathan dan para sahabatnya yakin –jika untuk memenuhi kebutuhan saat ini, karir Rinto sebagai 'Bapak Kontrakan Ruko' yang propertinya cukup banyak di wilayah unggul di Jakarta, tidak akan kesulitan dana. Tidak ada keluarga yang terlihat di ruangan itu, selain Rinto yang menemani istrinya. Karena keluarganya yang lain baru saja pulang pagi tadi. Tidak lama setelah itu, pintu kamar VIP rumah sakit tempat mereka berada terbuka –menampilkan seorang wanita muda berjas putih khas seorang dokter. Tanda nama yang terbordir di jas putih itu, menunjukkan namanya. Ia masuk diikuti seorang perawat yang usianya nampak lebih tua dari dokter itu. ”Selamat pagi,” ucap dokter itu dengan senyum ramah ke arah Dina, istri Rinto. Tak lupa, Nadine sedikit menundukkan kepalanya –sebagai tanda sapaan kepada Rinto, Nathan dan teman-temannya. Empat pria itu pun membalasnya dengan cara yang sama. Merasakan aura anggun yang Nadine pancarkan, membuat rekan-rekan Rinto seketika terhipnotis dengan kehadirannya. Akan tetapi, tidak dengan Rinto yang pusat dunianya saat ini masih kokoh tertuju pada sang istri. Maklum baru setahun menikah, masih termasuk pengantin baru. Lain halnya dengan Nathan. Melihat Nadine, Ia seperti merasakan sesuatu yang aneh. Semacam perasaan tidak asing ketika melihat Nadine. Walau entah dari mana asal perasaan itu. “Selamat pagi, Dokter,” jawab Rinto juga sambil tersenyum tipis. Sedangkan Dina istri Rinto menyambutnya dengan senyum merekah. “Diperiksa tekanan darahnya dulu ya, Ibu Dina,” beritahu Nadine. Kemudian mengangguk –memberi kode pada perawat yang datang bersamanya untuk memeriksa tekanan darah pasien menggunakan tensimeter. “110/70, Dok,” Perawat itu memberitahu Nadine. Nadine tersenyum. “Bagus ya, Bu. Tekanan darah baik tidak ada masalah,” tukas Nadine. Nadine melirik sejenak ke arah box bayi di sebelah pembaringan Dina untuk menemukan bayi merah yang masih tertidur pulas. Senyumnya mengembang gemas karena sosok itu, sebelum kembali mengalihkan atensinya pada Dina. “Bagaimana hari ini Ibu Dina, apakah ada keluhan? ASI nya lancar kan?” imbuh Nadine, mengajukan pertanyaan standar pada pasiennya yang baru saja melahirkan. “Alhamdulillah, Dok. Agak kuwalahan sedikit semalam, karena bayi kami menyusu cukup lama dan tidak tidur sampai dini hari”. Meski Dina seolah sedang mengeluh, nyatanya ibu muda itu tersenyum bahagia ketika mengatakannya. “Syukurlah jika begitu,” sahut Nadine yang turut merasa bahagia. “Untuk bayi yang baru lahir, memang normalnya seperti itu, Bu. Berarti bayinya sehat dan ASI ibunya juga bagus,” imbuhnya dan berlanjut memberikan wejangan. "Memang di usia 0 sampai paling lama 4 bulan bayi cenderung bangun di tengah malam. Ada juga yang hanya sampai usia 4 minggu, sudah mulai bisa tidur lebih lama. Setiap bayi punya kondisinya sendiri. Yang penting, Ibunya tidak boleh stres. Karena akan berpengaruh pada kualitas ASI yang diproduksi oleh tubuh Ibu”. Minat Nadine beralih pada Rinto yang sejak tadi setia mendengarkan setiap wejangan Nadine, “Dalam masa menyusui, suami juga harus mendampingi dengan baik ya, Pak. Agar perasaan Ibu terjaga dan bayi yang digendongnya merasa bahagia". “Baik, Dok!" jawab Rinto dengan mantap, sebelum memusatkan minatnya pada sang istri, “Tenang sayang, bahuku akan selalu ada untuk kamu dan anak kita,” lanjut Rinto sambil memegang lembut tangan istrinya. Nadine mengulum senyum sementara perawat di sampingnya terkekeh pelan. Teman-teman Rinto juga bersorak pelan karena tidak ingin makhluk mungil yang sedang tidur itu terganggu. “Gombal!” sahut Dina sambil memukul pelan lengan suaminya dengan pipi yang bersemu. “Terima kasih, ya, Dokter sudah sangat sabar mendampingi saya dari awal kehamilan sampai bersalin dengan normal seperti sekarang,” imbuh Dina menatap Nadine dengan tulus. “Saya senang sekali bisa dibantu oleh Dokter Nadine. Padahal beberapa teman saya ada juga yang menjadi pasien Dokter namun, tidak bisa lanjut sampai melahirkan karena tidak punya cukup waktu mengantri untuk pemeriksaan”. “Dengan senang hati, Ibu Dina. Saya juga bersyukur bisa membantu Ibu melahirkan bayi yang sehat. Mohon maaf bila antriannya terlau lama ya, Bu. Karena saya mendengar semua cerita dari para pasien selalu sangat menyenangkan, sehingga waktu konsultasi menjadi lebih lama,” jawab Nadine sedikit tidak enak. Sementara yang lainnya di ruangan itu hanya memperhatikan interaksi mereka. “Tidak apa-apa, Dokter. Justru itu yang membuat pasien Dokter rela mengantri. Lagi pula, kami juga tidak harus menunggu lama di rumah sakit –karena akan dikabari satu jam sebelum waktu konsultasi. Dokter juga sangat mudah dihubungi via telepon ataupun WA. Sehingga saya sangat nyaman bisa konsultasi dengan Dokter. Maaf ya, Dok. Jika saya terlalu menyita waktu Dokter," ungkap Dina dengan tulus. Nadine memang bukan dokter kandungan yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Namun, kiprahnya cukup dikenal di kalangan wanita karir seperti Dina pun masyarakat di sekitar Rumah Sakit Umum Aryatama, tempatnya bertugas. Walau belum genap dua tahun dirinya resmi menjadi dokter kandungan. Akan tetapi, pembawaannya yang ramah dan hangat --membuat banyak calon Ibu atau bahkan Ibu yang sudah mengandung lebih dari satu kali nyaman menjadi pasiennya. Mereka rela mengantri demi memeriksakan kandungannya, sekaligus berkonsultasi dengan Nadine. Nadine memahami betul jika mood seorang wanita sering bermasalah ketika hamil. Nadine juga tahu, bahwa salah satu kebutuhan dasar wanita adalah bercerita, dan terkadang yang mereka butuhkan hanya telinga yang tulus mendengarkan. Maka, Ia rela menambahkan durasi waktu konsultasinya demi mendengarkan keluh kesah para pasiennya sampai tuntas. Seperti kata Dina tadi, Nadine juga rela meladeni para pasiennya via telepon maupun pesan singkat. Tentunya tak setiap saat. Namun, sebisa mungkin Nadine membalas pesan para pasiennya itu dengan sabar di waktu senggangnya. Sebagai dokter kandungan, Nadine bisa dikatakan totalitas. Mungkin karena saat ini Nadine belum menikah. Jadi, waktu senggangnya masih cukup untuk meladeni para pasiennya –bahkan diluar jam kerja. “Sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Jangan sungkan,” balas Nadine tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. Suara dehaman seseorang menginterupsi percakapan antara dokter dan pasien itu. Semua orang langsung menoleh ke arah Saka –yang ternyata ingin menarik perhatian Nadine. Rupanya, sejak tadi Saka tak hanya terhipnotis dengan kehadiran Nadine. Namun, langsung merasa tertarik pada pandangan pertama. “Dokter, sudah ada yang punya atau masih sendiri?” tanya pria tinggi yang memiliki kulit sawo matang itu, dengan pipi yang berlesung karena senyumnya. Sontak pertanyaan mendadak dari Saka, membuat orang-orang di ruangan itu tersenyum geli. Sedang Nadine, hanya membalasnya dengan senyum sekadarnya. Ia seperti enggan menanggapi pertanyaan itu. “Ka, to the point banget sih, lo! Harusnya pakai pembukaan yang bener. Kenalan dulu. Masa langsung nanya status!” Lio merespon dengan geli. “Dokter masih single. Iya kan, Dok?” sahut Dina tanpa diminta. Hubungan Dina memanglah murni hanya sebagai pasien Nadine. Namun, itu tak menutup kemungkinan Dina akan mengetahui status Nadine yang belum menikah. “Saya Saka, Dokter. Dokter selesai bekerja jam berapa? Hari ini waktu saya senggang kok, Dok. Kalau Dokter mau, saya siap mengantar Dokter pulang,” Saka menyambut dengan antusias informasi dari Dina. “Terima kasih, Pak Saka. Tapi, saya bisa pulang sendiri,” jawab Nadine singkat dengan senyum sopan. Saka yang sempat merasa kecewa dengan penolakan Nadine pun, dengan cepat mampu menstabilkan perasaannya karena senyum Nadine. “Maafkan teman saya ya, Dok. Mungkin sudah terlalu lama menjomblo, jadi kalau mendengar ada yang single bawaannya langsung mau nyerang” canda Rinto menanggapi Saka. “Nyerang? Emang gue predator. Jangan di masukkan ke hati kata-kata teman saya ya, Dok. Saya ini lelaki baik-baik kok," sahut Saka tak terima seraya memberi cengiran yang dibuat semanis mungkin dan dibalas dengan anggukan kecil dari Nadine. Nadine tidak merespon dengan kata-kata –seperti sebelumnya, hanya dengan senyuman. Menunjukkan bahwa dirinya memang menghindari pembahasan seperti itu. Bukan hanya sekali ini Ia digoda oleh pengunjung pasiennya. Bisa dikatakan sudah cukup sering. Bahkan, ada yang terang-terangan menjodohkannya, meski Nadine selalu berhasil menolaknya dengan sopan. Nadine bukanlah wanita jomblo seperti kelihatannya. Ia juga memiliki kekasih dan menjalani hubungan jarak jauh. Itulah kenapa, Nadine tak pernah terlihat berkencan dengan siapapun. Nadine memang berusaha menjalani hubungannya itu dengan santai. Bukan karena Nadine belum ingin menikah. Tentu Ia sudah pernah membayangkan akan dilamar oleh kekasihnya. Menikah dan membina keluarga yang harmonis dengan orang yang Ia cintai, juga masuk ke dalam daftar harapannya –sama seperti wanita normal lainnya. Namun, orang tua dari kekasihnya masih belum merestui. Walau sebenarnya pria itu juga belum pernah melamarnya, dan hanya pernah sekali mengenalkannya pada keluarganya. Sehingga Nadine dan kekasihnya sepakat untuk menjalani hubungan mereka dengan santai, dan sepakat untuk tidak membahas dulu tentang pernikahan sampai... entahlah. Nadine juga tidak mengetahui pastinya kapan waktu itu akan tiba. “Dokter Anak siang ini akan berkunjung untuk memeriksa kondisi bayinya ya, Bu, Pak” imbuh Nadine mengembalikan kepentingannya menemui Dina. “Jika kondisi semuanya sehat, paling lama besok sudah boleh pulang kembali ke rumah. Obat penambah darahnya jangan lupa diminum ya, Bu. Agar tidak lesu”. “Baik, Dokter," sahut Dina dan Rinto bersamaan. “Kalau begitu, kami pamit ingin memeriksa pasien lain ya, Bu, Pak. Besok sebelum pulang, kami akan datang untuk memeriksa kondisi Ibu lagi. Semoga lekas pulih, Ibu Dina. Kami permisi.”. “Ya, Dokter. Terima kasih. Terima kasih, Suster” jawab Rinto yang di balas anggukan kecil oleh Nadine dan juga perawat yang bersamanya. Kemudian Nadine mengangguk dan tersenyum ramah, berpamitan kepada teman-teman Rinto sebelum beranjak dari ruang rawat Dina. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD