Prolog

1570 Words
“Jika usia hanya sebatas perbedaan angka saja? Apakah rumah tangga akan bahagia? Atau hanya sebatas status saja?” Navia Yunistia Regas ***** Pagi itu. Di sebuah rumah besar dan tingkat tetapi terpencil di sekitaran perkebunan teh. Seorang gadis berusia 18 tahun, tampak merenung menatap foto kedua orang tuanya yang telah meninggal ketika usianya baru saja beranjak delapan tahun. Kini, sudah sepuluh tahun berlalu dan satu minggu lagi adalah acara peringatan tahunan meninggal kedua orang tuanya itu. Gadis itu duduk bersimpuh di atas karpet pinggir ranjang. Dengan kedua tangan gemetaran memegang pigura orang tuanya, air matanya pun tiba-tiba menetes tak tertahankan. “Ma, Pa. Besok aku harus meninggalkan rumah ini. Rumah satu-satunya warisan serta kenangan dari kalian. Kenapa takdir begitu kejam padaku hiikkss,” ia mengusap dahulu air matanya yang terus mengalir membasahi pipi. “Apa aku tak pantas bahagia? Di rumah ini begitu banyak kenangan Mama dan Papa, hanya dengan tinggal di sini aku merasa kalian selalu berada di sampingku. Lalu kenapa mereka dengan kejam akan mengambilnya dariku?” Gadis itu kini memeluk foto tersebut di dadanya dengan isak tangis yang semakin menjadi. “Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau meninggalkan rumah ini. Ke mana aku harus pergi dan bagaimana aku menjalani hidup? Sementara pengasuhku saja sudah meninggal satu minggu yang lalu.” Tak terasa, tubuhnya pun terkulai lalu tiduran di atas karpet. Dadanya terasa sesak dan kedua matanya terasa berat. Apakah dia harus mati saja supaya bisa menyusul kedua orang tuanya? Ataukah dia harus hidup menjadi gelandangan? Karena pikirannya berkecamuk, serta menangis terus. Tak terasa akhirnya gadis itu pun tertidur di sana. Ia sudah lelah, sungguh sangat lelah. ***** TOKKK TOKKK TOKKK! Gedoran pintu depan sontak membangunkan gadis yang bernama lengkap Navia Yunistia Regas. Gadis yang terpaksa meninggalkan rumah mendiang kedua orang tuanya sebab dikatakan telah berutang pada bank. Dan setelah diusut tuntas, bank baru menyita rumah tersebut sesuai hukum. Yaitu setelah usia Navia 18 tahun. Tepat satu bulan yang lalu setelah ulang tahunnya. Naas bukan. Gadis yatim piatu yang sudah tak punya siapa-siapa. Rumah serta semua aset pun kini disita oleh pihak bank. Tanpa peduli gadis itu akan tinggal di mana dan akan bagaimana kehidupan ke depannya? Itulah kehidupan. Yang merasa berhak, akan menyingkirkan yang dirasa pihak merugikan, meski pihak itu adalah orang yang lemah. Navia membuka matanya yang sembab. Mengerjap sebentar mengumpulkan kesadarannya. Ia menatap sekeliling. Tadi dia bermimpi tidur di jalanan yang dingin dan hanya dialasi oleh selembar koran. Namun bersyukur, ternyata dia masih di sana. Namun, Navia belum menyadari kalau gedoran pintu barusan akan mengubah seluruh hidupnya. Bahkan jika dia pergi dari sana, hanya membawa beberapa pakaiannya saja. Sebab semenjak kematian kedua orang tuanya. Pengasuh atau lebih tepatnya seorang wanita tua asisten rumah tangga orang tuanya lah yang selama ini membesarkannya, dan baru satu minggu yang lalu ikut meninggalkannya juga. TOKK TOOOKK! Gedoran pintu terdengar semakin keras dan tak sabaran membuat Navia membulatkan matanya sembari bangkit dari tidurannya. Dia langsung berlari keluar dari kamarnya, kemudian berlari menuruni tangga menuju ke pintu utama.  “Siapa?” tanya Navia setengah takut, kalau-kalau itu maling. Tapi ia berpikir kembali, mana ada maling di siang bolong dan mengetuk pintu juga. Jangan dibuka. Seolah ada seseorang yang melarangnya untuk membuka pintu. Navia kini terdiam dengan tangan kanan sudah memegang knop pintu. Hantu? Bukan. Itu bukan hantu, melainkan kata hatinya. Selama ini dia hanya bisa curhat dengan kata hatinya saja. Dan sesekali curhat pada pengasuhnya. Jika pengasuhnya sudah tiada, maka kata hatinya lah yang selalu menemaninya. Navia gila? Tidak. Dia hanyalah kesepian. Dengan cara begitulah dia menghibur dirinya sendiri, atau mencurahkan semua isi di kepalanya itu. “Tapi aku harus membukanya,” jawab Navia biasa seolah di sampingnya ada seseorang. Nanti maling gimana? “Kaupikir orang berani maling di tengah hari begini?” TOKK TOKK. Ketukan itu sontak membuyarkan lamunan Navia. “Nona, apa kamu di dalam?” Terdegar suara pria di luar sana. Dan Navia sudah tahu siapa itu. Yaitu pegawai bank yang datang dua hari yang lalu. Dengan ragu Navia membuka pintu. Setelah pintu terbuka lebar. Navia melihat pria yang datang sendiri kemarin. Kini datang dengan dua pria lainnya. Apa ketiganya akan mengusirnya? “Maaf Pak. Bukankah kata Bapak, saya boleh pergi besok pagi. Kenapa Bapak datang hari ini?” Ia bertanya dengan nada bergetar. Pria itu tersenyum, namun Navia tahu senyum itu mematikan. Karena waktu itu saja, dia setengah mengusirnya dengan senyuman.  Pendusta. “Kau benar,” kata Navia pelan. “Kau bilang apa Nona?” tanya pria yang barusan tersenyum itu. “Akh, tidak apa-apa. Hanya saja pertanyaan saya belum Bapak jawab.” Navia tampak gelagapan. Ketiga pria itu tiba-tiba langsung saja nyelonong masuk tanpa permisi membuat tubuh Navia sedikit terdorong oleh pintu. Ketiganya kini memperhatikan sekeliling rumah. Kursi yang sudah rusak, tak ada televisi. Bahkan karpet dan juga perabotan yang tak terurus. Rumah berantakan juga karena Navia sepulang sekolah malas membereskan rumah. Apalagi masih dalam keadaan berduka. Sekolah? Navia lupa jika mulai saat ini, dia tak bisa melanjutkan SMA-nya. Karena sudah pasti tak ada yang akan membiayainya. Sungguh sayang, padahal itu adalah tahun terakhirnya. Setidaknya, jika dia sudah punya ijazah SMA. Akan mudah mencari pekerjaan yang sedikit layak. Tetapi impian itu kandas seketika dengan meninggalnya pengasuhnya itu. “Nona, sebaiknya kamu pergi hari ini juga. Sebab pemilik baru rumah ini akan datang melihat lokasi serta keadaan rumah ini besok sore.” Kalimat usiran tak langsung itu membuat Navia menganga. Jantungnya pun berdetak kencang seketika. Dia berharap akan tidur nyaman satu malam lagi. Tetapi ternyata di detik itu juga, dia harus pergi meninggalkan rumah tersayangnya itu bersama dengan kenangan-kenangan kedua orang tuanya itu. “Tapi Pak. Saya harus pergi ke mana?” tanya Navia bingung. Tak ada sanak saudara yang harus dia tuju. Pengasuhnya saja hanya seorang wanita tua tak punya rumah dan keluarga. Hanya karena pengasuhnya itu bekerja di pabrik teh. Jadi memiliki penghasilan untuk biaya sekolah serta kehidupan mereka berdua. Navia dan pengasuhnya saling bergantung satu sama lain. Pengasuhnya mendapat tempat tinggal dan juga anak angkat. Navia ada seseorang yang menjaganya serta memberinya makan, dan juga mendapatkan kasih sayang seperti dari seorang Ibu. Senyum pria itu lenyap seketika. Menggerakkan kepalanya sedikit tanda menyuruh kedua anak buahnya untuk mengusir paksa Navia. Satu pria berlari menaiki tangga menuju ke kamar Navia. Seorang lagi kini mencengkeram lengan Navia lalu setengah menyeretnya keluar. “Tapi Pak. Barang saya belum dipak semua. Masih ada juga buku pelajaran sama barang-barang mendiang orang tua saya.” Navia mencoba berontak dari genggaman anak buah pegawai bank itu. Tetapi tenaganya kalah telak dan kini dengan kasar, tubuhnya terhempas ke atas kerikil halaman sehingga membuat lutut serta sikut tangannya berdarah. Jahat sekali pria itu. Kalau aku nyata, sudah aku bunuh hidup-hidup dia. “Sudahlah. Tak ada gunanya.” Navia bangkit sembari meringis menahan sakit. Dia berdiri menatap bangunan rumah mendiang orang tuanya, pastinya untuk terakhir kalinya. Terdengar deru mobil dari kejauhan, semakin mendekat ke sana. Navia sudah bisa menebak kalau itu adalah pemilik baru rumahnya itu. Pria yang tadi naik ke kamarnya. Kini muncul keluar dengan tas ransel sekolah milik Navia yang isinya hanya beberapa potong pakaiannya saja. Dia dengan kasar melemparkannya sehingga terjatuh ke bawah kaki Navia, lalu melemparkan dua foto. Satu foto kedua orang tuanya dan satu lagi, fotonya dengan Ibu pengasuhnya. Karena dilempar begitu saja. Kedua foto itu pecah hancur seketika, hancur seperti hati Navia saat ini. Navia dengan sedih dan kedua mata sudah berkaca-kaca. Memunguti tas dan dua foto yang pecah barusan. “Pergi Nona. Sebelum kami benar-benar mengusirmu sampai jalanan besar sana.” Sarkas pria pegawai bank itu. Mobil merci hitam metalik kini parkir di depan pagar halaman. Navia masih menatap bangunan rumah untuk terakhir kalinya. Sesudah itu dia takkan pernah menginjak atau masuk kembali ke rumah itu. Seorang pria turun dari mobil. Navia membalikkan badannya untuk melihat siapa itu. Pria berusia sekitar 30-an kini berdiri terpaku di samping mobilnya. Di balik kacamata hitamnya ia menatap aneh pada Navia, begitu juga Navia menatap gamang pada pria tersebut. Pria itu berpenampilan rapi, pakaiannya terkesan casual ala kantoran. Tampan pastinya, hanya saja sudah berumur dan bukan tipe Navia. Dengan langkah lesu. Navia berniat segera meninggalkan rumahnya itu dengan kepala menunduk. Pria itu membuka kacamatanya lalu menatap heran penuh pertanyaan pada tiga pria yang berdiri bingung di depan pintu. Lalu ketiga pria itu langsung tersadar dan langsung saja memburunya. “Tuan, selamat datang. Kenapa Tuan datang hari ini? Bukannya besok? Rumah ini belum selesai kami bereskan.” Pria pegawai bank membungkuk sopan dengan tangan kanan yang mengulur mengajak salaman. “Navia?” Pria tampan itu mendadak memanggil nama Navia tanpa menatapnya, sehingga menghentikan langkah Navia yang sudah berada di ujung pintu pagar. Selangkah lagi Navia keluar dari rumahnya itu. “I-iya?” Navia gelagapan karena tangis yang tertahan. Ia menoleh lagi menatap pria tampan yang berdiri membelakanginya dan ketiga pria pegawai bank, mengira kalau yang memanggilnya adalah pria bank hendak memberikannya barang berharga yang terlupa. Buukkkk! Tiba-tiba saja. Pria tampan itu memukul dengan keras pria pegawai bank pertama, lalu menendang pria kedua, kemudian memukul lagi pria ketiga. Navia sangat terkejut melihatnya. Barusan siapa yang memanggilnya? Kenapa pria tampan itu memukul ketiga pria pegawai bank tersebut? Ketiga pria itu merintih kesakitan di lantai lalu mencoba berdiri dengan beribu pertanyaan. “Tuan, kenapa Anda-?” “Kenapa kau tak mengatakan kalau rumah ini masih dihuni oleh anak pemiliknya?” tanya pria tampan itu membuat ketiga pria itu kebingungan. Navia juga jadi ikut bingung. Apa dia dan pria itu saling mengenal? BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD