1

3802 Words
Farewell Party yang diadakan Hameru Keiko mengundang banyak partisipan yang antusias. Janda dua anak itu benar-benar loyal pada semua orang yang mengenalnya baik secara etika dan dekat sebagai teman minum. Keiko memutuskan untuk pergi. Setelah bisnis kafenya lancar dua tahun lalu, kesibukan menyitanya seperti potongan bolu kukus yang baru matang. Fokusnya terbagi. Antara bertindak sebagai kepala tim finance, atau menyusun strategi baru demi pesatnya satu bisnis yang baru dilirik banyak orang. Saat orang-orang berdansa sesuka hati mereka di Touch Bar & Lounge yang terletak di Tokyo Street 8 yang melegenda, Helena mendapati dirinya nyaris terinjak pria berbadan besar dan beraroma nyaris seperti kandang sapi. Sepertinya pria ini lupa membersihkan diri dan memilih untuk langsung bergegas setelah kesibukan menyitanya bagai bom waktu. Touch Bar & Lounge ada di gedung yang sama dengan Five Seasons, hotel berbintang empat yang sempat menjadi bintang pada masanya. Namun, sebelum skandal sang manajer terkuak yang membuat reputasi perusahaan hampir merosot turun, keramahan dan bagaimana lokasi strategis bangunan dengan tiga puluh lantai ini masih sangat diminati. Helena ingat benar bahwa dia datang dengan keadaan baik dan tampil kasual. Tanpa memamerkan lekuk badan sedikit pun. Ia masih berpakaian rapi di saat rekan kerjanya berdandan luar biasa menjadi malaikat perayu malam ini. Semua orang memamerkan kebolehan mereka dalam berdansa dan bersolek. Para gadis berlomba-lomba merebut perhatian dari para pria yang mereka temui di selingan jam santai. Pekerja nyata yang sebenarnya banyak menguras tenaga dan pikiran mereka nyaris lima jam! "Cocktail, Miss?" "No. Mocktail," koreksi Helena muram. Mendapati Kalila yang sedikit murung, menurunkan pandangannya untuk menatap sepatunya sendiri. "Aku memakai heels. Kenapa tiba-tiba aku memakai sepatu keds?" Helena terkekeh. Mendorong bahu Kalila yang terkulai saat dia menyesap gelas yang baru tiba. Keiko menghilang di tengah pestanya sendiri dan Helena tidak bisa melihat perempuan murah hati itu di lantai dansa. Rasanya menyengat. Sentakan baru membuat Helena nyaris hancur. Dia mencium aroma baru dari gelasnya. Tetapi sang bartender tidak bertanggung jawab. Melarikan diri untuk melayani tamu lain. "Dasar pria berenhsek," kalimat Kalila melantur. "Aku bisa saja memotong bohlammu, dan mencekik lehermu, atau memotong burungmu dengan—hik." Helena pernah katakan ini pada semua orang. Darahnya tidak bisa menolerir kadar alkohol dalam bentuk apa pun. Hanya minum tiga tegakan, dia hampir mati. "Aku harus bertemu Keiko." Kalila merangkulnya dengan pipi memerah. Mata birunya tidak bisa fokus dan Helena yang kesulitan membawa gadis itu agar tetap berdiri tegak. "Di mana Keiko?" "Dia di kamarnya, cantik." Helena menoleh, memberi anggukan dan segera bertanya pada petugas yang membawanya sampai ke lift kamar. Dia harus bertemu Keiko. Helena akan memberikannya sedikit nasihat dan memeluk Keiko sebelum berkunjung ke kafenya saat senggang. Kalila bisa berjalan walau terhuyung. Senyum gadis itu melebar tanpa sebab. Di sisi lain, Helena merasakan alkohol merebut semua kewarasannya mundur. Menarik semua batas normal dan membuatnya gila sebentar lagi. Kamar Keiko ada di nomor lima puluh. Helena ingat pernah berkunjung sesekali saat perempuan itu butuh teman cerita dan tidak mau mengusik anaknya yang tidur. Keiko perempuan mandiri. Helena akan memberi semua jempolnya kalau ia mampu. Meski tampilan nakal wanita itu tak mampu terelakkan, Keiko tetap wanita menarik. "Tidak perlu diketuk. Ayo, cepat masuk. Aku butuh tidur." Helena mendorong pintu kamar itu setelah menekan sandi. Mudah saja karena Keiko menyayangi putra kembarnya. Dia akan memberikan semua sandi setiap kamarnya dengan tanggal lahir si kembar. "Keiko?" Kalila menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Aroma kamar yang menyenangkan dan ranjang besar di tengah ruangan membuatnya senang. Gadis bermata biru itu berguling, melempar heels ke sembarang arah dan tersenyum. "Bye Keiko!" Helena menemukan satu minuman baru. Dan terburu-buru menegaknya. Satu kecerobohan lain yang membunuh. Karena setelahnya aroma menyengat membuatnya mual. Kepalanya pusing. Berkunang-kunang bagai menaiki wahana tornado di salah satu taman bermain lokal. Anggur. Sialan! Helena nyaris hancur karena alkohol di dalam darahnya. Sebelum dia roboh, tangannya mencari-cari pintu untuk membawa dirinya berlindung dan menjauh. Kamar mandi adalah satu-satunya pelarian. Tetapi saat dia menjatuhkan dirinya di balik pintu lain, Helena bisa merasakan dirinya membentur sebuah guci. Sebelum semua menjadi sangat menyebalkan, kedua matanya membuka. Batas kesadaran yang minim mengantarkannya pada ruangan lain yang sama besarnya dengan kamar Keiko. Demi Tuhan! Kamar siapa ini? Keiko, kah? Sebelum Helena sempat bersuara, ia tersenyum bebas. Sendiri. Dia akan tidur di ranjang ini sendiri. Dengan mata terpejam, dirinya terburu-buru melepas sepatu dan ikat rambutnya. Lalu melepas kaos dan celana jinsnya. Membiarkan dalamannya terpampang nyata. Kegilaan yang membuatnya malu sampai akhir hayat. Helena bergoyang di atas ranjang. Mempertontonkan dirinya yang mabuk dan hampir kehilangan kontrol sebelum berbaring, telentang dengan pipi merah padam. Oh, malam yang sangat indah. Terima kasih Keiko. Aku cinta kamu! *** Seharusnya Helena tertidur di ranjang sempit kamar apartemennya, dan bukan tidur di ranjang super besar yang ia yakini hanya tersedia di surga dan kamar mahal. Namun saat ia membuka mata, pemandangan pagi di akhir pekan membawanya pada kesadaran mutlak yang menyesakkan d**a. Aroma kopi, citrus dan bau maskulin seorang pria menyentaknya dari mimpi indah. Tubuhnya serasa disiram puluhan ember air dingin di pagi hari. Ya Tuhan. Bunyi b****g cangkir yang bersinggungan dengan piring kecil membuat Helena menoleh. Matanya memicing menemukan siapa yang duduk di tepi ranjang dan bersandar nyaman. "Si-siapa?" Sebelum ia sempat bergegas untuk memeriksa apakah dia berpakaian atau tidak, mengapa ada pria yang tidak senonoh tanpa atasan dan hanya memakai celana jins ketat duduk di atas ranjang bersamanya. Kejutan lain muncul ketika kepala itu menoleh. Membuat Helena lumpuh. Iris obsidian itu membalasnya sorot matanya tak ramah. Membiarkan kesinisan bercampur kenikmatan yang membuat darah Helena berdesir hebat. "Kau tidak salah bertanya padaku?" Suara pria itu dalam. Seperti puas setelah melakukan percintaan hebat semalaman dan— "Kau yang memaksaku lakukan ini, Helena." Satu seringai itu timbul. Berhasil memecahkan retak yang menjadi serpihan di d**a Helena. "Kau akan menyesalinya. Dan aku tidak." . . . . . Connecting Room adalah kamar yang terletak bersebelahan dengan pintu tembusan atau pintu penghubung yang terletak di dinding pemisah antara dua kamar bersangkutan. Dan mungkin bodohnya Helena adalah melewatkan kejadian sepele itu karena mabuk dan pikiran gilanya mendominasi. Helena menjadi perempuan binal dan liar ketika mabuk—they said. Ya Tuhan. Paginya di awal pembuka hari benar-benar suntuk. Helena tidak bisa tidur meski sup rumput laut buatannya sangat enak. Nyaris membuat Hitler, anjing kesayangannya menjilat kuah sup untuk dirinya sendiri. Bukan main, Helena ingin berendam ke Samudera Pasifik sekarang. Rasa malunya ada di tingkat krisis. Saat ia mendongak, menemukan mata biru cemerlang Kalila muncul dengan pandangan selidik. "Bruh, harimu buruk? Datang bulan pertama atau tagihan kartu kredit? Bicara pada Mama. Karena Sugar Daddy Sai sebentar lagi tiba." Ungkapan itu seharusnya membuatnya terhibur. Saat Helena melirik kubikel lain yang tampak sepi dan merenung. "Aku ingin mati." "What?" Helena samar-samar mendengar seseorang masuk dengan senyum lebar. Divisi Purchasing memiliki dua orang tampan yang menjabat sebagai senior sekaligus teman minum si bos yang gila kerja. Sai dan Abel. Dua pria paling diminati di divisi lain. Dan Helena baru sadar, semalam mereka tidak ada di pesta Keiko. "Kau punya pagi yang buruk?" Helena melirik Kalila yang salah tingkah. Lucu sekali saat si bitchy ini mulai mengaku kalah akan pesona si culun Sai yang tidak peka dan banyak bertindak aneh. Tapi sebenarnya jebolan mantan mahasiswa Universitas Tokyo ini orang yang baik. Terlepas dari polos menjengkelkan yang kerap membuat Abel, naik darah dan siap bergulat. "Kemarin dia mabuk. Lalu—," Kalila menghela napas. "—aku tidak tahu." Sai mengulum senyum. Kemejanya terpasang rapi bersama dasi berwarna pastel yang ingin membuat Helena tertawa. "Girls, mabuk itu bukan kesalahan. Itu legal. Kalian tidak membuat kekacauan, kan?" Suara Kalila yang tertahan mengusik pendengaran Helena. Saat gadis itu menoleh, menemukan tatapan kelam Sai menatapnya serius. Sekali tatap, Kalila gugup. Benar-benar cinta sepihak yang menyedihkan. "Aku tidak. Helena tidak. Tapi paginya buruk. Aku rasa Hitler membuat onar lagi. Apa dia menginjak pasta milikmu di atas kompor?" Sai mendesah. "Buang sajalah Hitler. Tidak guna." "Dia pelepas setresku." Sai duduk di kubikelnya. Mengintip Helena dengan senyum memikat. "Sayang, pelepas setres terbaik adalah seks satu malam dengan pria asing. Setelah kau bebas, kau tidak akan merasa bersalah dan bebas setelahnya. Trust me, ini kebenaran." Kalila cemberut. Berbalik menuju kubikelnya dan menghela napas. Saat Helena menciut, bersandar pada kursinya dan memejamkan mata. Suara frustrasi seorang Abel menggema. Ketika dia membuka mata, si Adonis yang terkenal luar biasa dingin dan tak tersentuh dunia luar baru saja melintasi kubikelnya. Yang mengherankan, Alterio Edzard berhenti di depan kubikel Sai dan menyapa anak buahnya. "Selamat pagi semua." "Pagi!" Semua menjawab. Terkecuali Helena yang membalas lunglai. Dia benar-benar tidak punya kekuatan untuk mengintip si pahatan dewa di depan kubikelnya sendiri. "Lima belas menit dari sekarang, bawa laporan kalian ke ruang rapat. Aku akan menemui kalian di sana." Abel yang menyerukan protes. Dengan segera pria itu menarik flashdisk, bersiap-siap mencetak laporan yang ia simpan semalaman di komputer. Sai menatap Edzard dengan kedut senyum. "Harimu buruk, bos?" Edzard tidak lantas menjawab. Ia membiarkan matanya menjelajah dan menemukan surai merah muda menyembul dari bilik kubikel. Mengintip dengan sinar cemas yang membuat Edzard memasang tampang super sinis. "Lanjutkan pekerjaan kalian." Alterio Edzard namanya. Saat Helena bekerja selama tiga tahun yang menyenangkan, Edzard selalu menjadi pembunuh suasana yang mengerikan. Helena adalah junior. Di saat Kalila, Sai dan Abel pernah memegang rekor sebagai pegawai terbaik dan disiplin. Helena merasa percaya diri karena mereka semua membantu dengan baik. Tim divisi pembelian hanya empat orang, tetapi Edzard sebagai kepala tim mengoordinasi semua anak asuhnya dengan baik. Dan itu yang membuat Helena sebal. Edzard si gila kerja. Semua lapisan pekerja di perusahaan Savanah Home Industries pasti bicara tentang si Adonis yang tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Edzard bersikap biasa, formal, dan penuh kehati-hatian. Banyak desas-desus menyebar seperti wabah. Alih-alih menanggapinya serius, Edzard dengan santai mengacuhkannya. Berkata bahwa semua omong kosong itu akan mereda. Dan Helena baru saja mengacau dengan tidur dengannya. Semalam. Di ruangan misterius yang menghubungkan antara kamar Keiko dan Edzard. "Helena?" "Ara?" "Hei! Tolong aku! Kenapa mesin cetaknya mati!?" *** "Kegagalan suku cadang yang lama nyaris membuat produksi menurun lima persen. Aku salut dengan sikap teliti dan improvisasi bagus dari Helena yang membatalkan kontrak dengan vendor tanpa perlu membayar ganti rugi dengan baik." Saat mereka berada di ruang rapat, Edzard membuka dengan memujinya. Helena merasakan kakinya gelisah di bawah meja. Sementara dadanya berdebar gila, Abel yang serius bertanya lagi. "Kita sudah mengakumulasi semua pendapatan ke bagian akuntansi sebelum pihak finance memprosesnya. Bagaimana dengan pasokan suku cadang baru? Perakitan tidak akan terjadi tanpa suku cadang." Savanah Home Industries bergerak di bagian industri barang. Pabrik raksasa mereka tersebar untuk memproduksi motor dan mobil yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Pangsa Asia dan lokal ada sasaran empuk terbaik. Ada dua perusahaan besar yang menjadi pesaing, tetapi Savanah Home Industries tetap memegang kepercayaan konsumen. Hidup konsumtif kebanyakan orang memberi peluang bagus bagi mereka untuk melebarkan sayap industri. Perusahaan anak cabang hanya akan menerima berkas beres dari perusahaan utama. "Ada empat perusahaan yang menawarkan suku cadang buatan pabrik mereka beserta kualifikasinya," kata Helena, membuka percakapan di saat Edzard dan Abel saling bertukar pandangan tajam. "Aku belum membuat proposal yang harus aku serahkan pada Anda. Setelah makan siang, berkas itu akan beres dan Anda bisa menerimanya di meja. Aku merevisinya dan memberikan kesempatan untuk dua perusahaan terbaik meski bintang mereka belum mumpuni." Semua orang terkesiap. "Kau mencintai tantangan, benar?" Helena memberi senyumnya pada Sai yang balas berkedip. Dan mendengar suara dehaman dari si bos, yang menatapnya dingin dan memintar agar dia melanjutkan. "Aku menerima purchase request dari perusahaan anak cabang. Mereka memiliki masalah pada suku cadang lama karena vendor lama yang bekerja untuk kita melakukan tindakan kotor untuk menekan kerugian dan meraup untung. Mau tak mau, kita harus melebarkan risiko demi keuntungan kita sendiri." "Perutku mual membayangkan kerugian lima persen yang bisa berimbas pada keuangan dan pemecatan tiba-tiba," ucap Kalila, melirik Edzard yang mendadak diam. Sunyi. Dan Helena benar-benar tidak bisa bersuara di saat semua tampak tegang. Karena Edzard sempat menjadi bahan olokan. Ini bukan sepenuhnya salah pria itu. Tetapi Edzard menyalahkan dirinya sendiri karena percaya. "Kau sudah meminta RFI pada mereka?" RFI atau Request For Information. Helena paham kemana pembahasan Edzard mengarah. Terlepas percintaan—atau itu sebenarnya tidak pernah terjadi—profesionalnya dalam pekerjaan dipertaruhkan di sini walau Helena masih terhitung bau kencur. "Sudah, Sir. Aku sudah memilih sesuai kriteriaku yang cocok dan berkompeten untuk meneruskan kontrak sampai masa trial lima tahun." Sai menghela napas. Saat Kalila menatap berkasnya dan meneleng. "Aku setuju. Kita harus memberi kesempatan vendor baru untuk membiarkan mereka membuktikan layak atau tidak." "Dan membiarkan konsumen komplain karena bagian dalam motor ternyata rusak dan tidak layak?" Edzard menyerang Kalila yang membeku, tak lagi bisa bersuara. Helena menelan ludah. Sesaat ruangan bertambah pekat dengan si pembunuh suasana yang merusak kenyamanan. Helena menarik napas, memainkan tangannya dan mendesah pendek. "Aku tidak akan membalas mereka sebelum keputusan. Ini benar-benar harus dirundingkan," kata Helena, mencoba merebut atensi Edzard yang berpaling ke arahnya. Edzard mengusap pelipisnya yang berdenyut. Ketidaksukaannya pada timnya sendiri membuat perut Helena serasa dipilin. Sementara Edzard berpaling, Helena sudah menyiapkan diri sebelum mendapat sindiran. "Bawa berkas itu ke mejaku setelah makan siang. Aku punya kesempatan sampai malam untuk membaca kualitas produk mereka. Selama itu berjalan, kalian bisa mencari vendor lain yang sekiranya menguntungkan kita." Semua orang mengangguk. Setelah mereka membereskan berkas, dan Sai bersama Abel meluncur pergi. Kalila menyusul. Helena diliputi perasaan bersalah yang kental. Dia membungkuk sopan dan kursi putar Edzard bergoyang. "Aku belum selesai denganmu, Helena." Kedua kakinya membeku. Suara Edzard membawanya pada kenangan pagi panas yang membuat Helena melarikan diri ke luar kamar dengan pakaian seadanya dan berguling malu di kamar Keiko yang sepi. "Ya, Sir?" Helena memeluk berkas dengan pandangan berkabut. Tidak siap menerima sumpah serapah atau semua ucapan bahwa tubuhnya kurus, dan Edzard men-judge seakan dia bisa menjadi hakim! Edzard mendongak ke arahnya. Sapuan intens iris kelam itu berhasil membuat lutut Helena lemas. Kalau saja keadaannya tidak begini, Helena pasti akan membentak Edzard karena bersikap tidak senonoh. Menatapnya seperti manusia paling c***l sejagat. "Kau tidak merevisi informasi yang mereka berikan hanya karena salah satu pemilik vendor adalah pria muda berbakat dan tampan, kan?" Ya Tuhan. Helena mendapati rahangnya mengeras. "Tidak, Sir. Anda sebaiknya jangan salah paham." Edzard balas mengangkat bahu acuh. Memutar kursinya dengan ekspresi tak kalah keras. Memberi gestur mengusir dengan tangannya ke pintu. "Kau bisa pergi." Helena melangkah lebar-lebar melintasi ruangan. Mencoba untuk tidak membanting pintu saat rasa jengkelnya meledak dan tak lagi merasa malu akibat keintiman mereka kemarin. "Sialan! Dasar pembunuh suasana, sialan!" *** Saat makan siang, semua terasa membosankan. Seharusnya Helena menikmati sepiring makan siang di kantin dengan perasaan suka cita. Namun karena si pembunuh suasana alias si bos dingin yang membuatnya jengkel, Helena tidak bisa menelan beras merah masak ini ke dalam mulutnya sendiri. "Edzard benar. Dia yang membuat suasana hatimu buruk. Super buruk malahan. Pertama, dia bisa saja memujimu setinggi langit dan menjatuhkanmu seperti meteor. Kedua, dia sok cakep. Ketiga, dia memang tampan tapi sayang gay." "Gosip darimana itu?" "Omongan orang," balas Kalila sinis. Memainkan sendok salad sayurnya dan mendesis. "Edzard itu tampan luarnya saja. Dalamnya? Siapa tahu dia suka b**m dan memecut wanita di ranjang? Track record dengan para gadis tidak ada." Helena mendengus. Menurunkan sumpit makannya dan menatap Kalila lekat. "Kau pikir dia begitu?" Mata biru Kalila bersinar apatis. "Aku benci dia dan segala tugasnya. Dia masuk satu tahun sebelum dirimu, dan dia menyebalkan." Kalila, Sai dan Abel ada di divisi yang sama. Sebelumnya, senior paling tua adalah Sai. Lalu Abel dan diikuti Kalila. Helena baru masuk setelah tim purchasing kekurangan orang. "Aku rasa sekelas dirinya menyukai super model seperti Saira? Kau tahu, dia juga tidak buruk," Helena mendapati suaranya berubah serak. Dia masih sangat yakin bahwa dirinya perawan. Tetapi malam itu ... dia dan bosnya ... "Edzard pria berego tinggi. Semisal dia tidak mendapatkan Saira, dia akan mencari mangsa baru yang sepadan." Helena menghela napas. Menunduk menatap piring makan siangnya sendiri dan diam. "Apa yang dia katakan padamu?" "Mungkin aku terlalu tergesa-gesa dalam menentukan empat vendor yang masuk kualifikasi. Aku hanya mencoba peruntungan dari setiap informasi yang mereka berikan," kata Helena, mencerna potongan karage dengan wajah ingin menangis. Merana sekali dirinya! "Edzard tidak suka itu?" Kepala merah jambu itu menggeleng. "Oh, sayang." Kalila mengulurkan tangan, membelai surai ikal Helena dengan tatapan sayang. Helena punya model rambut bagus dan mencolok. Juga tampil cantik. Junior yang mengesankan dan berwawasan luas mikik Savanah Home Industries adalah gadis ini, Ersya Helena. "Kau bekerja terlalu keras. Semula Edzard memujimu bak pahlawan muda. Sekarang? Dia pasti membuatmu ingin membunuh seseorang. Benar?" Helena balas tersenyum. "Aku harus sedia pisau lipat mulai sekarang." Kalila tersenyum. "Kau belum memberi request proposal pada empat vendor, kan?" "Belum. Ini belum final. Aku hanya mencatat dan pihak akuntansi juga bertanya tentang kemajuan serta prospek pencatatan uang baru. Pihak keuangan meminta agar suku cadang lain cukup bagus dengan bayaran setimpal," ucap Helena, mendengar dari Keiko tentang urusan keuangan yang rumit. "Bagian finance pasti sama pusingnya dengan kita," sela Kalila murung. "Oh, ya. Omong-omong malam pesta Keiko, kau kemana? Aku tahu kau mengirimkan pesan paginya. Tapi serius? Kau kembali? Dengan apa?" "Taksi." Kalila mendesah. "Aku mabuk. Maafkan aku." Helena balas mendengus. "Aku seharusnya bersyukur karena Keiko mengurusmu. Dia membawamu pulang ke apartemen dengan sangat baik." "Keiko, ya," Kalila terlihat murung. "Aku belum melihatnya selepas aku mabuk. Benar-benar. Campuran alkohol membuat kita pening dan gila." Helena tak sudi bila harus berbohong. Manakala dia terkenal sebagai salah satu junior teladan yang mengesankan, untuk masalah pelik satu ini harus disimpan rapat-rapat. Tidak akan ada siapa pun yang senang kalau gosip beredar bahwa Helena dan Edzard—bosnya tidur bersama. Sialan. Dia sudah siap mundur. Tetapi belum mencari pekerjaan dan melamar ke banyak perusahaan! Kenapa situasinya begini? Bagaimana keadaan ibu dan ayahnya di kampung? Berengsek. Semua karena anggur! "Kau mau kembali lebih dulu? Aku ada urusan dengan bagian penjualan sebelum pergi," Kalila meraih dompet, menatap kaca yang terselip di sana dan memakai lipgloss sekali lagi. "Kau tenang saja." Helena melambai saat Kalila meluncur pergi melewati sisi pintu lain. Saat Helena berjalan, meratapi nasib dan langkahnya untuk sampai ke lift. "Helena!" "Tuan Mirzuki?" "Kau sudah makan siang?" "Baru saja. Dengan Kalila." "Dua dedemit itu tidak ikut?" Helena ingin tertawa. "Tidak. Dia bersama bos sekarang. Ada apa?" "Bukan, bukan apa-apa," Tuan Mirzuki tampak canggung. Gelagatnya aneh. Dan Helena bisa membaca bahwa duda satu anak ini menyukainya. Bukan tanpa alasan, Abel dan Sai kerap meledeknya. Karena Tuan Mirzuki sering salah tingkah ketika dekat dengannya. "Bagaimana dengan pulang—," "Helena!" Sai dan Abel menghampirinya dengan senyum lebar. Menggeser posisi Tuan Mirzuki yang merenung, tampak tidak suka dengan kehadiran iblis yang dikutuk dari surga. Sok akrab. Merangkul Helena seakan teman dekat. Cih. "Kalian sudah makan siang?" "Ah, lebih seru makan siang denganmu daripada dengan bos!" Abel mengeluh, dan Sai memukul bahunya agar diam. "Aku tidak merasa perlu komentar dari kalian untuk makan siang." Suara berat Edzard memecah percakapan mereka. Saat Helena menoleh, bersama Tuan Mirzuki yang membungkuk. Lalu Abel dan Sai memasang tampang bosan. Lirikan tajam Edzard mengarah pada Tuan Mirzuki yang masih menatap Helena dengan sorot harap-harap cemas. Sebelum pria itu bicara, Edzard menyelanya tajam. "Ini bukan lift untuk masuk ke gudang, bukan?" "Benar." "Lantas mau apa kau kemari?" Sai balas mendengus. "Kau seharusnya mengajakku juga, Mirzuki. Aku senang kalau kau berbaik hati memberiku tumpangan gratis." Helena meresapi suasana dengan ekspresi kaku. Sesaat dia menangkap gelisah pada Mirzuki. Dan pada Edzard, si bos tukang perintah yang balas bersedekap dan menunggu lift dengan sabar. "Apa?" "Bukan apa-apa," Helena menciut saat pria itu balas membentaknya. Dia salah apa, sih? Lift terbuka. Abel dan Sai masuk lebih dulu. Helena menjadi satu-satunya perempuan yang tetap hidup dan bernapas. Sebelum Mirzuki melambai, memberi senyum lebar yang menawan, Edzard lebih dulu melempar pandangan sinis dan menekan tombol lift agar pintu tertutup. *** Yang Helena cintai dari bagian lembur menyita waktu, pikiran dan raga ini adalah bonusan besar di setiap bulan dan tahun. Ini benar-benar bisa membuatnya investasi dan membeli apartemen layak untuknya dan Hitler tinggal. Gaji selama dua tahun berhasil merubah hidup Helena. Dia berhasil membuat ladang dan peternakan orangtuanya kembali hidup. Membebaskan mereka dari hutang dan bunga bank, lalu membiarkan mereka hidup dalam kesederhanaan dalam mengurus sapi dan berkebun. Pekerjaan yang mereka cintai. Dan yang tidak ia cintai adalah bersama bos menyebalkan yang kerap memerintah seperti atasan tunggal. Helena bukan sekretaris, tapi anak buah! Tim! Kalila sibuk di kubikelnya. Semua orang sibuk. Pekerjaan ini sama ratanya. Termasuk memberi evaluasi pada vendor yang semula Helena tolak dengan dalih tidak pantas. "Kalian sudah selesai?" "Belum. Sebentar lagi." Sai mengangkat tangan. Dia sudah berhasil memberi simpulan dan siap membawa berkas baru ke meja Edzard besok pagi. BESOK PAGI. Perlu ditekankan bahwa hubungan pertemanan mereka berhasil membuat si pembunuh suasana melunak seperti bandeng presto. "Ayo, Sai. Kita bisa minum soju dan perut babi setelah ini." Abel bersuara ceria. Membiarkan Kalila menjerit, melepas setres dengan gerungan napas kasar. Sai dan Abel hanya tertawa. Saat dua pria menjengkelkan itu memutari kubikel, memandang Helena dan Kalila dengan celaan. "Semangat, ya, zeyeng." "Kau mau aku tampar. Iya?" Sai hanya tertawa. Saat dia melepas dasi cerahnya, berpura-pura lepas dan meraih ponsel. Bersama Abel untuk pergi dari neraka ini secepatnya. Mata Helena panas rasanya. Melihat deretan angka dan perbedaan dalam bentuk persen dan desimal yang ada di layar. Edzard mengirimkan berkas yang lama untuk mereka revisi demi meminimalisir kerugian. Saat tim penjualan membantu untuk memberikan data agar tidak terjadi kesandungan dalam memilih vendor untuk produk mereka. "Apa kita harus sok akrab pada bos menyebalkan itu dulu agar seperti Sai dan Abel?" "Amit-amit," kata Helena, mendengar Kalila terkekeh dan menghela napas panjang. "Aku lebih baik berteman dengan si cupu dari tim manajemen daripada bersama Edzard. Ew!" "Lagian, dia bersikap tidak adil. Dasar pria kelainan. Selibat membuatnya menjadi tukang marah-marah," ujar Kalila gemas. Yang berhasil membuat Helena merah padam. Pintu ruang kepala tim terbuka. Helena berdebar saat dia mengintip dan Edzard berdiri di sana. Belum kembali. "Helena, pergi ke ruanganku sekarang." "Sebentar, Sir." Kalila menatap cemas ke arahnya. Satu rekan tim purchasing yang kerap terkena getah dan semprot amukan si Edzard gila. Helena adalah junior paling sabar. Tapi suka memaki. Terlebih kalau Edzard tidak ada. Sumpah serapah itu akan meluncur bebas bagaikan kereta Shinkansen. Helena mengetuk pintu bersama buku catatan dan pulpen. Ia takut tidak bisa mendengarkan poin penting apa pun saat Edzard mengamuk nanti. "Sai dan Abel sudah kembali?" "Sudah." Semua berkat koneksimu, sialan! Edzard duduk di kursinya. Mengetukkan jemari ke atas meja seolah tak sabar. Saat Helena mendesah, menunggu dengan ketidakpastian. "Aku sudah memutuskan dua vendor untuk memproduksi suku cadang terbaik sebelum perakitan. Ini sesuai standar dan beberapa informasi yang kucari," kata Edzard, mendorong dua berkas pada Helena. "Besok pagi, kau harus mengirimkan permintaan proposal pada mereka. Agar segera mengirim secepatnya sebelum kita data. Kita harus berkoordinasi dengan tim manajemen untuk masalah ini. Karena ini vendor baru, semua risiko itu ada." "Baik, Sir." "Jangan berikan bintang dulu, itu belum pantas." Helena mendengus. "Tidak." Edzard menatapnya dengan lintasan bosan. "Kau boleh pulang." "Terima kasih banyak," Helena membungkuk. Meraih dua berkas itu secepatnya dan terbirit sampai ke kubikel. Nyaris tersandung kakinya sendiri. "Bagaimana?" "Kita boleh pulang. Bos sudah setuju dengan dua vendor. Kita bisa mengirimkan permintaan proposal pada perusahaan mereka besok pagi," kata Helena, membuat lega terpancar manis di wajah cantik Kalila. "Ya Tuhan. Terkabullah doaku." "Kau pulang dengan apa?" "Bis umum." "Mau menumpang aku dan kakakku? Dia sama sekali tidak keberatan untuk membawamu pulang ke apartemen," tawar Kalila ramah. Saat mereka membereskan meja dan Helena menggeleng dengan senyum. "Kau baik sekali, cantik. Tapi rumah kita berbeda. Arah pun tidak sama." Kalila mendesis jengkel. "Tidak apa! Ini tidak akan lama. Mengantarmu hanya perlu waktu setengah jam." "Tidak." Kalila memutar mata. "Oke." Helena tertawa. Ketika mereka bersama turun, dan Helena melihat abang Kalila sudah ada di mobil. Menunggu sang adik dengan raut bosan. Kalila melempar cium jauh. Sebelum Helena sempat menuruni tangga, suara Mirzuki mengusiknya. "Helena, sudah mau pulang?" "Ya. Kau?" "Aku pun sama. Rumah kita searah, bukan? Bagaimana kalau—," Sebelum Helena membalas, interupsi dari si bos menyebalkan membuat keduanya membeku. "Ini belum jam sembilan malam. Bis masih ada di halte. Kau seharusnya berlari agar tidak tertinggal. Ongkos taksi pastinya mahal, bukan?" Suara sinis Edzard berhasil membuatnya kesal. Saat pria itu menuruni tangga, dengan sengaja menabrak bahu Helena dan Mirzuki untuk pergi ke parkiran. Lalu membiarkan Helena ternganga dan pikiran ingin membunuh bosnya itu kembali ada. "Helena?" "Aku rasa dia benar," Helena tidak akan memberi harapan pada teman sekantornya. Tidak sama sekali. "Aku harus pulang. Ongkos taksi membuat dompetku sesak. Sampai nanti." Helena berlari. Menembus pekatnya malam untuk sampai di halte dengan perasaan ingin menjerit hebat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD