Prakata

1495 Words
Jakarta, 2 tahun setelah kelulusan Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam ini. Seorang cewek memakai kardigan hitam itu hanya bisa mengusap-usap lengannya karna kedinginan. Ia berdiri di halte untuk menunggu hujan agar reda. Cewek itu, Freya Binar Abigail. Cewek yang lebih memilih kabur dari rumah orang tuanya karna selalu mendapat perlakukan tidak mengenakan dari papa dan mamanya. Ia bingung akan pergi kemana. Ayah sudah tidak ingin bertemu dengannya, Mama dan papa jahat kepadanya, cintanya kandas karena Daffa lebih memilih bersama Caca dibanding dirinya. Tuhan... Freya ingin menangis karna merasa sudah tidak sanggup lagi. Biar saja orang-orang melihatnya seperti ini. Toh orang-orang itu tidak tau deritanya. Dari kejauhan ada mobil yang menepi di halte tempat ia berdiri. Sosok itu keluar. Membuat Freya melotot untuk memastikan ini kah cintanya? Ya. Benar. Cowok di dalam mobil itu adalah Daffa. Tadi Daffa baru pulang dari rumah Caca selepas mengantar cewek itu pulang lalu tak sengaja ia menemukan Reya disini. Daffa mendekati Reya lalu menatap khawatir ke arah cewek centil itu. "Lo kenapa disini re?" Freya menangis. Daffa langsung membawanya ke dalam dekapan hangatnya. Daffa tidak peduli apakah bajunya akan basah atau tidak. Mengingat Freya yang bajunya basah kuyup. "Reya u okaay?" "No," Freya menjawab dengan lirih. Daffa semakin tak tega. Ia lantas menggendong Reya dan memasukan reya ke dalam mobilnya. Selama beberapa saat mereka hening. Daffa menatap Reya yang sedang kedinginan lalu ia berinisiatif untuk melepas kemejanya dan memberinya kepada Freya. "Ganti baju lo dulu. Abis itu Lo ikut gua balik," Freya masih bergeming. Ia diam sambil memeluk dirinya sendiri dan mencari lagi. Daffa yang melihatnya menjadi tidak tega. Walaupun hatinya sedang hancur dan tidak berbentuk, tapi Daffa tetap berusaha peduli kepada orang lain. Ia menarik Freya kedalam dekapan telanjang nya. Ia mendekap kepala Freya ke dadanya yang shirtless. "Re jangan nangis," Freya semakin mengencangkan tangisannya. Samar Daffa melihat luka di bagian leher cewek itu. Emosinya memuncak. Ia lantas menjauhkan kepala Freya dan menatapnya dengan pandangan agak sedikit keras. "Leher Lo kenapa?" Freya diam. Ia tidak berani menatap Daffa. "Re I ask you," "-bilang sama gua Lo kenapa? Diapain sama siapa?" Freya menangis lagi. Terbata ia menjawab pertanyaan Daffa. "Ayah vi..ko..." Daffa melotot. Gila. Daffa menepuk keningnya. "Lo diapain?" "Dipukul.." "Ya ampun. Yaudah Lo ikut gua aja ya sekarang. Tapi ganti baju dulu," Freya mengangguk. Daffa memberi kemeja yang sejak tadi sudah dilepasnya. "Ganti aja disini, gua ga bakalan liat." Seperti bisa membaca pikiran Freya, Daffa mengatakan kalimat itu. Freya akhirnya membuka kardigan serta kaus putihnya. Menyisakan bra hitam berenda yang sialnya Daffa liat melalui ekor matanya. Shit. Kegiatan Freya memakai kemejanya terasa begitu lama bagi Daffa. Apalagi ketika wanita itu bergerak untuk membuka celana jeans-nya. Ah sial. "Re udah belum?" Daffa masih membuang tatapannya ke arah kaca disamping kanannya. Re menarik ingus nya lalu mengancingi kancing terakhir di kemeja Daffa. Oh ayolah, Daffa seorang laki-laki normal. "Udah Daff," Setelah freya mengucap kalimat itu. Daffa segera menjalankan mobilnya yang sebelumnya sempat ia berhentikan di pinggir jalan. Malam itu Freya menceritakan semuanya ke Daffa. *** Daffa menggendong Freya untuk masuk ke dalam rumah ayah dan bundanya. Masih sambil bertelanjang d**a, Daffa membawa Freya ke dalam rumah. Nara dan raka yang melihatnya agak sedikit kaget. "Sutss nanti aku ceritain ya, aku bawa Reya ke dalam dulu," Daffa langsung naik ke atas dan menidurkan Freya di ranjang nya. Melihat cewek ini Daffa menjadi sakit sendiri. Ah Reya. *** "Kok kamu bawa Reya kesini A?" Tanya raka. Sekarang mereka bertiga, Daffa, Raka, dan Nara sedang berada di meja makan dengan segelas kopi panas. Daffa menyeruput kopinya lalu menatap bunda serta ayahnya. "Aku temuin dia di halte," "-sendirian dan nangis." Mau tidak mau, Nara kaget. Setahunya Farhan tidak pernah menelantarkan anaknya, Freya. Fyi, Nara dan Raka memang belum mengetahui perihal siapa ayah Reya yang sebenarnya. "Gamungkin A. Ayah Farhan ngga akan biarin reya gitu aja," Raka menatap Nara ketika wanita itu membuka suara untuk berkata seperti itu. Raka menggenggam tangan Nara. Mengusapnya penuh cinta. "Ngga bunda. Reya udah lama ga tinggal sama ayah Farhan.." "Loh, gimana-gimana A?" Daffa menarik nafas. Lalu menceritakan semua yang diceritakan Reya kepadanya. Termasuk perihal ayah kandungnya. Nara membekap mulutnya untuk menahan isakanya. Raka memeluk Nara erat. Sambil menatap sulungnya, ia bertanya. "Terus sekarang mau kamu gimana?" "Aku bakalan minta ayah Farhan buat nampung Freya disana. Aku ga mungkin balikin reya kerumah Om Viko dan biarin dia kena pukulan lagi," "Yaudah. Kalo seandainya ayah Farhan ngga mau Reya tinggal dirumahnya, biarin dia tinggal disini. Bunda yang bakalan rawat dia." *** Beberapa jam sebelum Daffa bertemu Freya. Daffa menatap caca yang sedang menangis didepannya. Jujur ini berat bagi mereka. Caca menghapus air matanya lalu menatap Daffa. "Aku dijodohin sama papa," Daffa melebarkan pupil matanya. Ia menatap caca sambil meraih bahu cewek itu. "Maksudnya apa?" "Papa mau aku menikah sama anak temannya. Dan aku fikir ngga ada lagi hal yang mesti aku pertahankan, Daffa. Papa gabisa ditentang.." "Sayang jangan bicara kayak gitu," Daffa menarik Caca ke dalam pelukannya. Hatinya sakit kala caca memberitahu hal yang menyakiti hatinya. Daffa memejamkan matanya. "Aku bakalan bilang sama papa kamu, aku sayang sama kamu, ca." Caca semakin menangis dengan kencang. Ia membenamkan wajahnya pada d**a bidang Daffa. Membiarkan hidungnya mencium aroma maskulin dari tubuh Daffa. Caca melepas pelukannya lalu menggenggam tangan Daffa. "Aku minta maaf. Maaf. Aku rasa kita percuma mempertahankan hubungan yang gabakalan bawa kita ke jenjang yang lebih baik," Daffa memejamkan matanya. Ia sudah paham dengan apa yang Caca inginkan. Berpisah. "-kita selesai disini ya," Seperti bom waktu yang siap menghancurkan hatinya detik itu juga. Daffa memeluk erat Caca. Ia memang mencintai Caca. Tapi ia sadar, posisi nya siapa. Daffa menarik napas lalu membelai rambut coklat tua milik Caca. "Kalo emang itu mau kamu, aku bisa terima. Aku sayang sama kamu ca." Dan Caca, wanita itu belum siap kehilangan Daffa. Tapi mau bagaimana lagi? Ia sayang pada Papa nya. Ia memang menyayangi Daffa, tapi rasa sayang nya jauh lebih besar kepada Papa nya. "Aku juga sayang sama kamu," Mereka berpelukan, dibawah langit gelap kota Jakarta. Dan seperti nya hujan akan menemani ke-patah hatian Daffa lagi malam ini. *** Daffa berhenti ketika sampai di depan rumah minimalis berlantai 2. Daffa menatap Caca yang matanya masih sembab. Daffa menarik dagu Caca lalu menatap mata wanita itu. "Jangan nangis lagi ca," Semakin di perlakukan seperti itu, membuat Caca semakin ingin meneteskan air matanya lagi. Caca lagi-lagi memeluk Daffa dengan erat. "Aku sayang kamu Daffa.." lirihnya. Daffa memejamkan matanya. Ia juga menyayangi gadis ini. Tapi takdir Tuhan berkata lain. Selama beberapa menit Daffa membiarkan Caca memeluknya. Caca melepas pelukan mereka, lalu membuka seatbelt. Sebelum Caca turun, Daffa menghapus air matanya lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Caca. Menciumnya pelan. Caca masih diam, ia masih belum mau membalas ciuman Daffa. Daffa mengigit bibir bawah Caca, memaksa Caca untuk membuka mulutnya. Ketika Caca membuka mulutnya Daffa menyesakan lidahnya ke dalam mulut Caca. Caca kalah. Ia membalas ciuman Daffa. Caca melingkarkan tangannya pada leher Daffa. Menarik rambut cowok itu sambil mengadu lidah nya pada lidah Daffa. Tangan Daffa bergerak ke atas untuk menggapai benda besar yang sedari dulu selalu menjadi objek menarik bagi para kaum Adam untuk dipandang. Sekali Daffa menyentuh benda itu. Ia tersadar dan menjauhkan tangannya serta melepas ciumannya pada bibir Caca. Daffa menempelkan keningnya pada kening Caca. "Aku sayang sama kamu. Bahagia dengan pilihan papa ya," Caca memejamkan matanya merasakan embusan napas Daffa pada wajahnya. Caca menjauhkan wajahnya dari Daffa. Ingin segera turun dari mobil. Namun lelaki itu menahannya. "Ada apaa?" Daffa melepas gelang yang berinisial DM. Ia memakaikan gelang itu di tangan Caca. "simpen baik-baik. Kalo suatu saat kamu kangen aku, kamu bisa liat itu." Caca melihat gelangnya. Lalu menarik Daffa untuk dia peluk lagi. Caca menangis lagi. Ah takdir Tuhan memang tidak tertebak. *** Freya terbangun. Ia melirik ke sekelilingnya. Ini bukan kamarnya. Lantas ia dimana? Freya melihat kamar ini lumayan gelap. Dengan cat warna biru dongker ditambah poster-poster planet luar angkasa dan beberapa miniatur pesawat serta planet ada disekitaran meja belajar dan lemari rak putih diujung kamar. "Aku dimana?" Pintu kamar mandi dibuka. Membuat freya teriak karna Daffa keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang hanya menutupi perut sampai bagian intinya saja. "AAW JOROOKKK!" Daffa menatap freya lalu tersadar jika dirinya lupa tidak membawa baju ke kamar mandi. Daffa lantas berjalan ke arah lemari lalu menggaet jeans pendek dengan kaus polo berwarna hitam. Ketika freya mendengar suara pintu kamar mandi ditutup, cewek itu langsung membuka penutup matanya. Pipinya memerah karna melihat Daffa half naked seperti itu. "Gila. Seksi banget," Ah freyaa.. *** Farhan menatap kembarnya secara bergantian. Lalu menatap cewek diujung sofa. Cewek yang pernah menjadi bagian dari hatinya. Freya. Cewek itu ikut bersama si kembar kerumah ayah mereka. Awalnya Farhan kaget, tapi setelahnya ia malah emosi kala Daffa sudah menceritakan semuanya. Farhan menarik nafas panjang lalu menatap Freya. "Mulai hari ini kamu tinggal sama saya ya, biar Daffa dan Diffa yang menjaga kamu disini." Dan Reya tidak bisa untuk tidak memeluk pria itu. Dalam hati freya hanya bisa berteriak bahwa ia merindukan Farhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD