Bab1 : Pernikahan

1133 Words
“Saya terima nikah dan kawinnya Anisa Anindya Binti Raharjo dengan seperangkat alat Shalat di bayar tunai!" "Bagaimana Saksi, Sah?". "SAH!”. "Baarakallahu laka wa Baarakaa Alaika wa jamaa bainakumaa fii Khoir,". Aku tidak bisa menahan tangisku saat mendengar suara lantang yang keluar dari mulut Mas Rangga. air mataku luruh begitu saja, aku mengucap syukur kepada Allah karena kini aku telah resmi menjadi istri dari Mas Rangga yaitu seorang laki-laki yang sudah mencintaiku selama dua tahun ini dan akan mencintaiku selamanya. Aku memakaikan cincin pernikahan di jari Mas Rangga dan mencium punggung tangannya, begitu pun sebaliknya Mas Rangga memakaikan cincin di jari manis ku dan mencium lembut keningku. "Selamat ya Nak, semoga pernikahanmu Sakinah, Mawadah, dan Warahmah,". Ayahku memberikan selamat atas pernikahanku dengan Mas Rangga. "Terima kasih Ayah, aku minta maaf ayah kalau selama ini aku belum bisa membahagiakan ayah,". Aku langsung menangis memeluk ayah, lalu ayah mengelus puncak kepalaku untuk menenangkanku agar aku tidak menangis lagi. "Nak Rangga, jaga Nisa baik-baik ya dan jangan sakiti dia,". Ayahku berpesan kepada Mas Rangga. "Iya Pak, saya berjanji akan menjaga Nisa dengan baik dan akan membahagiakannya,". Mas Rangga meyakinkan ayahku agar ia tidak mengkhawatirkan putrinya. Kemudian aku dan Mas Rangga menghampiri ibuku dan meminta doa restunya. "Bu, Do‘ ain aku ya semoga pernikahanku dengan Mas Rangga langgeng.” Aku mencium tangan ibuku dan memeluknya. "Iya ibu Doain, ibu senang kau sudah menikah jadi beban keluarga kita sedikit berkurang,". Aku memegang dadaku mendengar ucapan ibu yang menyakitkan, apa selama ini aku sudah menjadi beban di hidupnya? "Iya, untung saja kak Nisa sudah menikah jadi bisa cepat-cepat keluar dari Rumah ini,". Hatiku semakin sakit mendengar ucapan Bela adikku, tapi aku membalasnya dengan tersenyum. Namaku Anisa anindya saat ini aku berusia 21 tahun, aku tinggal bersama Ayah, Ibu dan adikku. ayahku bernama Raharjo, ibuku bernama Rini, dan adikku bernama Bela usia kami hanya berjarak 2 tahun. Ayahku sangat menyayangiku tetapi tidak dengan ibu dan adikku, entah mengapa sejak dulu ibu dan bela seperti tidak menyukaiku, ibu tidak pernah menyayangiku dan selalu pilih kasih antara aku dan bela. ibu juga selalu memintaku untuk mengalah demi bela bahkan dulu waktu aku ingin kuliah ibu tidak mengizinkanku dan hanya mengizinkan bela yang kuliah karena ayah tidak sanggup membiayai kuliah kami berdua. Tapi aku selalu menerimanya dengan ikhlas, hanya ayah yang tulus menyayangiku, dulu aku sempat bertanya kepada ayah kenapa sikap ibu berbeda padaku dan bela apa aku ini bukan anak kandungnya. tetapi ayah tidak pernah menjawab pertanyaanku entah ada rahasia apa sebenarnya, aku tidak mengerti. Meskipun begitu aku tetap bahagia karena akhirnya Mas Rangga menepati janjinya untuk menikahi ku setelah ia menjadi Karyawan tetap di salah satu Perusahaan Swasta. Setelah selesai acara pernikahan, Aku dan Mas Rangga lalu pamit untuk pergi ke Rumah sakit menemui Ibu Mas Rangga yang saat ini tengah sakit sehingga ia tidak bisa menghadiri pernikahan kami. "Ayah, aku dan Mas Rangga pergi dulu ya,". Aku mencium tangan ayah lalu di ikuti oleh Mas Rangga. "Baiklah, kalian hati-hati di jalan,". Ayahku sedikit menitihkan air matanya melepas kepergian ku sangat jauh berbeda dengan ibu dan bela yang terlihat sangat bahagia melihat aku pergi. Mas Rangga lalu membawakan tas yang berisi baju-bajuku karena setelah menikah aku akan tinggal bersama di rumah Mas Rangga, seperti pada umumnya ketika wanita sudah menikah harus mengikuti kemanapun suaminya. Aku dan Mas Rangga melangkahkan kaki kami meninggalkan rumah dimana tempat aku di besarkan dulu, sesekali aku menoleh ke belakang untuk melihat ayah. "Ayo Dek!”. Mas Rangga menarik tanganku karena aku sengaja memperlambat langkahku. Mas Rangga menghidupkan mesin motornya dan meletakkan tasku di bagian depan lalu aku naik ke atas motor Mas Rangga, tetapi karena memakai baju kebaya membuatku sedikit kesulitan saat menaikinya. "Bisa gak Dek?". "Bisa kok Mas,". Aku tersenyum di hadapan Mas Rangga untuk menutupi kesulitan ku. Setelah aku naik ke atas motor, Mas Rangga langsung mengendarainya menuju Rumah sakit, butuh waktu satu jam aku dan Mas Rangga untuk sampai di sana. Tidak terasa kami sudah tiba di Rumah sakit Hidayah, Mas Rangga menggenggam tanganku lalu berjalan ke ruang rawat inap ibunya. "Assalamualaikum," Mas Rangga membuka pintu. "Wa'alaikum salam,". Aku dan Mas Rangga lalu masuk ke dalam menghampiri Ibu Mas Rangga, kemudian aku menyalami dan menyapa Ibu Mas Rangga yang kini sudah menjadi mertuaku. "Bagaimana keadaan ibu?". "Baik.” Terdengar sedikit ketus ucapan Ibu Mas Rangga ketika menjawab ku. "Rangga, kau jadi menikahi perempuan ini?". Ibu Mas Rangga bertanya kepada Mas Rangga saat melihatku memakai baju kebaya. "Iya Bu, aku kan sudah bilang sama ibu kemarin kalau aku akan menikahi Nisa karena aku sangat mencintai Nisa, Bu.” Aku tersenyum senang mendengar jawaban dari Mas Rangga. "Ya, ibu pikir kau berubah pikiran, kan ada banyak perempuan lain di luar sana,". Aku menghela napasku mendengar ucapan Ibu Mas Rangga yang menatapku sinis seperti tidak menyukaiku. "Ibu, kenapa berbicara seperti itu, ibu harus bisa menerima Nisa karena Nisa sekarang sudah menjadi istriku.” Ucapan Mas Rangga sedikit keras aku merasa tidak enak kalau sampai Mas Rangga bertengkar dengan ibunya hanya karena aku. "Bu, aku minta maaf sama ibu kalau aku ada salah, aku janji akan menjadi menantu yang baik untuk ibu,". Tetapi mertuaku diam saja tidak menanggapi ucapanku. Aku berharap mertuaku bisa menerimaku seperti dulu saat aku berpacaran dengan Mas Rangga, memang akhir-akhir ini Ibu Mas Rangga menentang hubungan kami saat gosip-gosip mulai beredar mengenai diriku waktu aku berada di klub malam, semua orang mengira aku menjadi wanita malam padahal waktu itu aku hanya menjemput bela yang sedang mabuk di klub malam tetapi karena ucapan ibuku yang mengatakan aku sering keluar malam membuat semua gosip-gosip itu benar di mata mereka. Aku lalu mengambil mangkuk bubur di atas meja, berniat untuk menyuapi ibu mertuaku. "Bu, makan dulu ya,". "Tidak, ibu sudah makan,". Aku tersenyum dengan penolakan mertuaku, aku akan berusaha terus untuk mendapatkan hatinya kembali. "Bu, aku urus administrasi dulu ya, kata dokter ibu boleh pulang hari ini,". Mas Rangga berpamitan dengan ibunya lalu keluar dari ruang rawat, kini tinggal aku dan mertuaku di dalam, kami berdua saling diam. "Bu, Nisa pijitin ya kakinya,". Aku mencoba memecahkan keheningan di antara kami berdua. "Tidak perlu, ibu tidak mau tangan kotormu menyentuh ibu,". "Maksud ibu apa, Nisa tidak mengerti?". "Sudah Nisa, gak usah sok suci, mungkin kamu bisa membohongi Rangga karena ia mencintaimu tapi tidak dengan ibu karena ibu sudah tahu semuanya,". Aku menahan tangisku mendengar ucapan mertuaku yang menghina harga diriku. "Bu, aku mohon ibu jangan percaya dengan gosip-gosip yang beredar semua itu tidak benar Bu, Nisa bukan wanita seperti itu,". Aku berusaha mencoba menjelaskan kebenarannya kepada mertuaku agar ia percaya padaku. "Bagaimana mungkin itu tidak benar, jelas-jelas ibumu sendiri yang mengatakannya kalau kau sudah menjadi wanita malam, ibu tidak yakin kalau kau sekarang masih perawan atau tidak,". "Astagfirullah hal Adzim, IBU!". Teriak suara Mas Rangga di depan pintu saat mendengar ucapan ibu kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD