VIANY CEMPAKA ALINSKI NOTONEGORO

2117 Words
___________________ // PERKENALAN // ___________________ "KAMU bisa enggak, kalau ngerayain ulang tahun aku yang normal-an dikit? Tahun kemarin kamu hampir bikin kamar indekos aku kebakaran. Sekarang kamu mau bikin aku mati muda gara-gara sok-sok nakutin aku pakai pakaian pocongan kaya gini," emosi-ku semakin meningkat kepada cowok dengan kacamata minus yang kata orang-orang : pintarnya kebangetan dan gantengnya nggak ketulungan. Tapi nyatanya selalu bikin gue naik pitam. "Ya maaf, gue nggak tahu kalau suara toa lo bakalan bikin warga satu kost kebangun. Sampai bawa-bawa bapak kost dan kita dikira lagi kumpul kebo," cengir cowok kurang ajar yang jam dua pagi jebol jendela kamar gue dan ngagetin gue dengan pakaian setan lagi. Siapa orang yang nggak kaget kalau dibangunin sama makhluk-makhluk kaya gitu. Kan kampret! Gue kembali menghela napas panjang, bisa-bisa gue bakalan terkena darah tinggi kalau terus-terusan bergaul sama cowok gila yang idenya anti mainstrem banget. Oke, gue jelasin dulu, dia bukan pacar gue kalau lo semua ngira dia romantis. Namanya Randu—anak hukum yang nggak bisa bikin makalah sendiri. Apa-apa minta tolong gue dan selalu nyusahin, terutama karena dia anak bungsu, dua kakaknya perempuan semua dan tentunya anak mama banget. Kenapa gue bisa sedekat ini sama orang semacam Randu ini, itu semua karena kesalahan gue yang mau berteman sama dia sejak jaman SD. Kita nggak seumuran, dia lebih tua setahun dari gue. Yang katanya orang-orang bakalan jadi semacam best couple atau apalah itu namanya, tapi nyatanya kita sama-sama nggak punya perasaan apa-apa satu sama lain. Kalau ada yang bilang cowok dan cewek nggak mungkin bisa bersahabat karena salah satunya ada perasaan, itu sama sekali nggak masuk dalam kamus gue dan Randu. Ya iyalah jelas, mana mau gue pacaran sama cowok yang IQ-nya di bawah rata-rata kaya dia. Mau dipaksa kaya apa juga, gue sama sekali nggak tertarik. Ganteng sih ganteng, tapi enggak tahu aja kalau pikirannya itu kelewat m***m. Walaupun gue aja sih yang tahu, karena tampangnya yang sok polos itu bikin semua orang salah terka. "Happy birtday my queen, Viany." Udah gue bilang kalau cowok ini alay-nya kebangetan. Mungkin kalau bagi para cewek, punya sahabat kaya Randu itu adalah hal yang menyenangkan dan bisa bikin baper. Tapi buat gue, dia masih sama dengan anak umur delapan tahun yang masih suka nangis karena kencing di celana. Iuchhh.. Gue berjalan ke arah kasur yang biasanya memang sebagai tempat paling indah setelah seharian berada di dalam ruangan ber-AC tapi tetap aja otak gue gerah banget. Kenyataan kalau gue mahasiswa yang rajin memang nggak bisa gue sangkal. "Elo mau ngomong gitu doang, mending besok. Bikin kesel aja sih, udah tahu gue baru tidur jam satuan gara-gara nyelesain layout makalah lo. Dasar nggak tahu tempat," ketus gue dengan wajah sangar seperti biasanya. Sedangkan Randu yang melipat kostumnya cuma bisa mendengus sebal ke arah gue. Randu beranjak dan nyodorin kue ulang tahun dengan lilin yang ada angkanya dua dan nol. Dan itu artinya sekarang umur gue udah dua puluh tahun. Gue cuma memasang senyuman sok manis karena terharu juga karena si kunyuk satu itu selalu aja mau repot-repot buat acara kecil-kecilan setiap gue ulang tahun walaupun acaranya mesti mengundang bahaya dunia dan akhirat. Gue langsung nyengir ke arah dia sambil menangkupkan kedua telapak tangan gue di d**a, "uh, gue terharu sama usaha lo bikin acara kaya gini. Lo emang satu-satunya cowok yang selalu ada buat gue Ndu," ucap gue sok dramatis. Karena nyatanya selama ini gue cuma punya satu sahabat dan itu cuma Randu aja. Randu mencibir karena gue apa-apa emang selalu minta sama Randu. Misalkan ada yang lain sekalipun, gue lebih enak untuk nyusahin dia. Karena kami sama-sama sudah mengenal sejak kecil dan Randu terbukti nggak akan nggerutu di belakang walaupun gue minta tolongnya pakai acara memaksa. "Make a wish! Gue sebagai temen yang baik makanya rela ngeluarin duit buat beliin lo kue mahal nih. Pacar gue aja belum tentu gue beliin," jawab Randu dengan wajah sombongnya. Kadang cowok satu ini perlu merasakan nikmatnya tamparan sepatu. "Alah, bilang aja kalau pacaran elo pelit. Buktinya cewek lu terus yang bayarin makan lo," tandas gue yang emang paham soal hal-hal kecil semacam ini. Karena Randu memang tipikal orang pelit apalagi sama pacarnya. Dia pacaran pokoknya nggak modal banget. Makanya kalau dia lagi PDKT sama cewek, gue bilangin langsung kalau Randu cowok nggak modal. Tapi tetap aja gue yang salah. So, fans maha benar dengan segala pemikirannya. Randu mengarahkan jemarinya ke arah kepala gue, tapi enggak jadi juga. Mana tega dia sedikit aja nyakitin gue. Emang cuma gue yang nggak pernah merasa tersakiti sama dia. Habisnya apa-apa yang jadi prioritasnya cuma gue. Cewek-cewek yang jadi pacarnya emang selalu dikenalin sama gue dan akhirnya mereka jadi benci karena Randu lebih memprioritaskan gue. "Gue berharap kita bakalan jadi sahabat selamanya. Randu dan Viany best friend forever," hanya itu yang gue ucapkan lalu buru-buru niup lilin yang tinggal setengah. Lalu memotong kue cokelat yang memang kesukaan gue banget dan memberikan satu potongan pertama buat cowok gesrek yang selalu siap buat nemenin gue kemana-mana. Randu tiba-tiba menaruh kuenya dan melirik ke arah gue dengan muka kaget, "why?" Tanya gue yang nggak bisa membaca kode apa di balik muka bengongnya yang bikin gue makin penasaran. "Eh bentar deh Vi, bukannya di keluarga besar lo. Anak cewek umur dua puluh tahun bakalan dijodohin kan?" Tiba-tiba kue yang udah gue makan hampir salah jalan karena omongan Randu yang ada benarnya. Dua—puluh—tahun—artinya gue bakalan diketemukan sama orang yang bakalan dijodohin sama gue. Mampus! Gue hampir lupa sama hal yang satu ini. Gue nggak ingat sama sekali kalau Randu nggak bilang apa-apa soal itu. Baiklah, gue memang bukan cewek biasa karena keluarga gue memang ada darah ningrat. Dan semua perempuan di keluarga gue harus menikah pada umur dua puluh tahun. Emang kolot banget kan? Di mana cewek-cewek jaman sekarang bisa milih cowok yang mereka suka dan gue nggak bisa karena tradisi bodoh yang nggak gue pahami sampai sekarang. Apalagi gue adalah keturunan perempuan terakhir yang belum nikah karena dulu umur gue belum dua puluh, tapi sekarang gue nggak bisa nyangkal lagi. Pasti yangti dan yangkung bakalan gencar maksa gue pulang ke Jogja dan nyuruh gue buat nikah muda. Randu menggoyangkan bahu gue dengan kencang, "heh, lo nggak papa kan, Vi? Jangan serangan jantung dong. Bukannya harusnya lo seneng ya kalau dijodohin?" Tanya Randu dengan ekspresi bahagia. "Seneng gimana? Mana ada orang yang mau dijodohin. Gue cuma nggak ngerti gitu, Ndu. Kenapa sih di keluarga gue harus ada tradisi macam itu, emangnya kita nggak bisa cari cowok apa," ketus gue dengan intonasi yang meledak-ledak. Kendati jam sudah menunjuk pukul tiga dan akhirnya gue harus membatalkan hibernasi karena curhat dadakan. Lagian mana ada orang mau dijodohin merasa bahagia. Adanya susah! Gue nggak tahu bakalan dijodohin sama siapa dan mukanya kaya apa karena semua udah direncanakan sejak gue dan calon suami gue dari kecil. Ah, apalah arti calon suami kalau dipaksakan. Randu menaikkan sebelah alisnya dan sedikit tertawa, "alah Vi, elo kan jomblo. Jadinya nggak perlu susah-susah nyari pacar. Lagian sejak lahir juga lo nggak pernah tuh mau di deketin sama cowok kecuali gue." Skakmat. Emang sih, gue nggak pernah punya cowok, jangankan punya cowok, di deketin aja gue nggak mau. Wajar dong kalau gue nggak mau, habisnya setelah selama ini gue melakukan riset dan penelitian, banyak yang patah hati di usia muda cuma karena cinta. Dan gue? Nggak mau menjadi bagian dari cewek-cewek yang patah hati karena hal semacam itu. Menurut gue, pacar nggak terlalu penting karena gue udah mendapatkan kasih sayang seorang laki-laki dari banyak pihak. Dari mas-mas gue, yangkung, bapak, sama Randu. Jadi, nggak perlu punya cowok. Meskipun pada kenyataannya cowok-cowok itu harus dibumi hanguskan oleh laki-laki di atas. "Tapi gue kan harus balik ke Jogja jadinya," jawab gue yang semakin lemas. Emang sih baru sejak kuliah ini gue pisah sama orangtua dan keluarga besar. Dengan begitu gue udah bebas dari banyak aturan dan larangan yangti tentang kehidupan perempuan ningrat. Kalau boleh milih, gue bakalan minta jadi keturunan orang biasa aja. Di mana nggak perlu ribet pakai kebaya, sanggul, jarik, kalau ada acara resmi bareng keluarga ningrat yang lainnya. Semua itu nyiksa banget, apa-apa harus mengutamakan tata krama or unggah-ungguh. Kalau jalan badannya harus tegap, sikap tangan dan kaki diatur. Duduk, berdiri, makan, ngomong, semua juga pakai aturan. Senyuman juga harus sesuai standar kelas atas yang diterapkan yangti. Oke, gue hanya bagian keluarga ningrat. Tapi hidup gue udah mirip di kerajaan jaman dulu. Gue emang tersiksa, tapi nggak berani ngomong enggak sama keluarga. Terlalu beresiko juga buat melawan suatu tradisi, adanya gue bakalan menjadi sasaran kemarahan dan mendapat ujaran kebencian dari banyak kalangan. Di mana anak muda kaya gue, pendapatnya emang nggak terlalu penting. Nama gue Viany Cempaka Alinski Notonegoro—panggil aja Viany. Nama belakang adalah semacam nama trah. Nama belakang itu dipakai seluruh keluarga Notonegoro termasuk gue. Notonegoro itu mbahnya—mbahnya—mbahnya—mbahnya—mbah gue. Nah ribet kan, jadi intinya gue itu keturunan ke-7. Yangkung sama yangti punya lima anak, jaman dulu nggak ada KB—Keluarga Berencana, jadi anaknya banyak. Lah, saudara yangkung ada sepuluh juga jadi pakdhe-budhe-nya bapak gue ada sepuluh dan sepupunya pokoknya banyak. Kalau dibikin silsilah bisa kaya bikin peta. Banyak banget! Bapak gue anak terakhir dari lima bersaudara. Anaknya itu ada mas Galang, mas Alfa, dan terakhir gue—si cantik karena perempuan satu-satunya. Kalau dua mas gue emang udah pada kerja semua. Mas Galang kerja di Airport sebagai tukang parkir pesawat, mas Alfa kerjanya di Alfapril—sejenis supermarket baru yang dia bangun sendiri. Sedangkan gue, salah satu mahasiswi farmasi semester empat. Kedua mas gue belum ada yang nikah. Tapi kenapa gue harus dikorbankan begini? Kembali ke topik pembicaraan gue sama Randu. Gue memang bakalan menetap bareng suami gue. Misalkan mau lanjut kuliah, universitasnya harus satu daerah sama tempat kerja suami. Gue juga nggak tahu, bagian gue itu bakalan kaya apa. Kira-kira anak siapa dan kerjanya apa. I don't know. Kata mas Galang waktu itu, jodoh yang bakalan di pilih buat gue nggak akan jauh dari militer. Mengingat bapak gue juga salah satu pensiunan tentara angkatan darat beberapa bulan lalu. "Jadi, rencana lo apa? Mungkin kalau lo balik Jogja, gue juga bakalan ikut nemenin lo balik. Lagian mana tega gue ngeliatin lo susah kaya gini. Hm, tapi kalau misalkan elo nggak cocok sama calon lo, elo berhak nolak nggak sih?" Tanya Randu yang hanya gue jawab dengan gelengan kepala. Lagian orang bingung dikasih pertanyaan mulu. "Mana bisa negosiasi kaya gitu, kalau bisa gue jamin deh nggak bakalan ada yang nikah. Contoh deh, semua mbak-mbak gue itu udah punya pacar dan pakdhe atau budhe gue tahu soal itu. Tapi, pas umur mereka dua puluh, tetep aja mereka nikahnya sama pilihan keluarga. Ninggalin pacar mereka, mau sayangnya kaya apa, mau cintanya kaya gimana. Harus tetep berada di koridor kehormatan keluarga." Jawab gue yang membuat Randu hanya bisa melongo. "Ribet amat sih keluarga lo, Vi. Jadi, lo nerima gitu aja?" Tanya Randu lagi. Pertanyaan nggak ada yang lain apa. Yang lebih bikin gue makin bingung gitu. Maklum lah ya dia terkejut dengan kehidupan keluarga gue meskipun kita temenan dari kecil banget. Ah, sudahlah. Kenyataan kalau gue memang keturunan ningrat dan punya tradisi gila semacam ini makanya gue harus hadapi kan? Lagian mau kabur sampai ke ujung dunia juga, eyang kakung punya banyak sesepuh buat cari tahu keberadaan gue. Mau di bilang apa juga, orang Jawa masih percaya adanya dukun atau paling enggak orang yang bisa tahu lah. Dan sesepuh di keluarga gue emang punya aji-aji yang bisa bikin siapa aja nurut perintah. Enggak usah di coba, gue nggak mau diguna-guna sama keluarga sendiri supaya mau nikah. Lagian gue juga belum lihat seperti apa selera keluarga besar buat nyariin jodoh buat gue. Intinya gue cuma bisa pasrah. Nerima apapun keputusan dari keluarga besar gue dan jadi emak-emak di usia dua puluh dua tahun. "Ngapain lo masih di sini? Pulang sono," ketus gue dengan gaya petantang-petenteng mirip ibu kost minta bayaran. Randu mendengus lalu beranjak membawa kue cokelat yang belum selesai gue makan gara-gara pembahasan perjodohan ini, "eh, mau di bawa kemana kuenya?" Teriak gue dengan wajah semakin sangar. Nggak ikhlas banget sih, dikasih tapi sekarang dibawa pulang lagi. "Ya gue bawa pulang. Elonya kan harus diet supaya pas hari pernikahan lo nanti, kebaya lo bakalan cukup," "Kampretttt," teriak gue setelah Randu berhasil kabur dari pintu dengan membawa kue ulang tahun gue. Baiklah, itu memang resiko punya sahabat pelit. Duh, pusing pala gue! Beban ini memang harus gue tanggung, belum lagi teror kapan balik ke Jogja akan segera dimulai. Kita tunggu saja tanggal mainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD