KEMBALI BERTEMU

1119 Words
Seorang pria berwajah tampan dan berpakaian casual kini tengah berdiri di depan pintu apartemen, menunggu sang pemilik membukakan pintu untuknya. Di tangannya ada sebuket bunga mawar putih yang akan diberikannya kepada wanita yang sebentar lagi akan ditemuinya. Jantung pria berlesung pipi ini berdetak dengan cepat. Gugup, tetapi senyumnya terus saja mengembang, membuat lesung pipi yang dimilikinya muncul kepermukaan. Sungguh membuat pria bertubuh tinggi ini semakin terlihat tampan. [Setelah dua tahun, akhirnya aku kembali lagi ke sini!] ucapnya di dalam hati. Sambil sesekali memperhatikan situasi apartemen, Willy Arsenio Brasco kembali memeriksa penampilannya. Ia tak ingin terlihat tidak sempurna di depan wanita kesayangannya. Willy sangat mengenal keadaan apartemen ini, tak banyak yang berubah meski sudah lama ia tak datang berkunjung. Tak lama, pintu apartemen pun terbuka. Seorang wanita yang sangat cantik dan sangat ia rindukan berdiri di hadapannya. Perasaan Willy semakin tak karuan bahagianya. Reflek ia langsung memeluk tubuh wanita itu dengan sangat erat. Membuat wanita yang bernama Tiffany Carolina, langsung mendorongnya hingga pelukan mereka terlepas. “Wil – Willy!” panggil Tiffany dengan tergagap. Jujur ia merasa seperti sedang bermimpi saat melihat lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Tiffany masih ingat betul dua tahun yang lalu, saat mereka terakhir kali bertemu, Willy mengatakan ia akan pergi dan menetap di Australia, bahkan tidak akan pernah kembali lagi ke Indonesia. Flashback on Waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam saat Tiffany dan Bita keluar dari kantor IB Group. Mereka berdua malam ini lembur dan mengharuskan pulang terlambat. Willy yang sudah hampir satu jam lamanya menunggu mereka berdua di lobi langsung tersenyum dengan lebar saat melihat dua wanita kesayangannya dalam arti berbeda terlihat di depan mata. “Willy! Kamu beneran jemput aku,” teriak Bita lalu bergelayut manja di lengan Abang sepupunya. Bita memang menghubungi Willy dan meminta jemput karena ia dan Tiffany takut pulang sendiri. Willy yang memang tak pernah bisa menolak permintaan Bita tentu saja langsung mengiyakan. Terlebih saat tahu ada Tiffany juga. Anggap saja ini keberuntungan untuknya. Sambil menyelam minum air. “Tentu saja,” jawab Willy sambil mengusap puncak kepala Bita. Setelahnya Willy melirik ke arah Tiffany yang memilih diam tanpa ekspresi. “Kita pulang sekarang?” tanya Willy kepada Bita tapi menatap ke arah Tiffany. “Tentu saja,” jawab Bita dengan semangat. “Ayo, Faa,” ucap Bita lalu menarik tangan Tiffany. Lagi-lagi tanpa bersuara, Tiffany mengikuti Bita yang berniat masuk ke dalam mobil Willy. “Bita! Kamu pulang sama aku,” ucap seseorang yang tak lain adalah Arsyil, sahabat Willy yang juga adalah kekasih Bita. Ini adalah salah satu rencana Willy agar bisa pulang berdua saja dengan Tiffany. Ia ingin kembali mengutarakan perasaannya. “Arsyil. Kamu belum pulang?” tanya Bita tak menyangka. “Belum. Aku sengaja tungguin kamu,” jawab Arsyil dengan santai. “Tapi, aku sudah janjian sama Tiffany mau pulang bareng, dan Willy sudah jemput kita.” “Aku juga sudah tungguin kamu dari tadi. Jadi, kamu pulang sama aku. Masalah Tiffany, biar dia diantar sama Willy!” tegas Arsyil memberi keputusan. “Aku rasa Tiffany juga tidak akan keberatan. Iya, kan, Tiffa?” tanya Arsyil kepada Tiffany. Willy yang mendengar itu hanya bisa bersorak senang di dalam hati. Sahabatnya ini memang bisa sekali diandalkan. “I—iya, Pak,” jawab Tiffany akhirnya. “Beneran nggak apa, Faa, kalau pulang sama Arsyil?” tanya Bita merasa tak enak hati. Terlebih ia sangat paham jika sahabatnya memang selalu menjaga jarak dari Willy. Dan sekarang Tiffany harus pulang berdua saja dengan Willy, bagaimana itu jadinya. Tiffany tersenyum. “Enggak apa-apa, Bie. Ya, udah. Sana buruan. Pak Arsyil udah nungguin lama, kasihan,” ucap Tiffany membuat Willy memaki di dalam hati. Kenapa Arsyil dikasihani sedangkan dia tidak! “Ya, sudah kita duluan. Willy, titip Tiffany, ya. Awas aja kalau dia kenapa-napa,” ucap Bita mengingatkan Abang sepupunya. “Tenang saja, Bie. Kamu juga harus hati-hati. Kalau Arsyil berani macam-macam bilang sama aku,” ucap Willy sambil melirik tajam ke arah sahabatnya. “Kayak udah bener aja lo, Will!” sindir Arsyil lalu merangkul Bita dan meninggalkan Willy berdua saja dengan Tiffany. “Mereka berdua sudah pergi. Aku pulang duluan!” ucap Tiffany tiba-tiba. Dan itu membuat Willy kaget. “Jangan aneh-aneh, Faa. Ini sudah malam!” tegur Willy menahan pergelangan tangan Tiffany. “Lepas, Will. Aku bisa pulang sendiri,” sentak Tiffany menghempaskan tangan Willy. “Kamu, sebenarnya kenapa sih, Faa. Kenapa aku nggak pernah benar di mata kamu!” “Karena aku sudah benar-benar muak sama kamu yang selalu mengemis cinta aku!” teriak Tiffany tak peduli perasaan Willy. Ia sengaja menghina Willy agar lelaki itu benci padanya. “Apa benar-benar tidak ada kesempatan buat aku, Faa?” “Enggak ada, Will. Jadi, tolong berhenti!” Willy menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Tiffany berhasil membuat dirinya merasa sakit. “Baiklah kalau begitu. Besok, aku akan pindah ke Australia dan aku janji sama kamu enggak akan pernah kembali lagi ke sini,” ucap Willy, menyerah. Ia sudah lelah. Deg! Kata-kata Willy berhasil membuat lutut Tiffany terasa lemas. Tapi, ia berusaha bersikap biasa saja. “Bagus. Memang harusnya begitu!” ucap Tiffany berusaha bersikap biasa saja. Flashback off “Iya, ini aku, Tiffany Carolina. Apa kabar kamu?” Willy bertanya sambil memberikan sebuket bunga mawar putih kepada Tiffa. Seperti yang diketahuinya, Tiffa sangat menyukai bunga yang memiliki banyak duri di sepanjang tangkainya. Tiffa mengambil bunga mawar pemberian Willy dan dengan tega langsung membuangnya ke tempat sampah. “Nggak perlu repot-repot bawain bunga buat aku!” ucap Tiffa dengan ketusnya. “Lagian kenapa kamu datang lagi ke sini Willy Arsenio Brasco?” tanya Tiffa tanpa mempersilakan Willy masuk ke apartemennya. Willy menatap nanar bunga mawar yang kini berada di dalam tempat sampah, tetapi tak memberikan komentar apa-apa. Jujur ia sedih, karena Tiffa sama sekali tidak menghargai pemberiannya. Sungguh waktu dua tahun tidak membuat wanita kesayangannya itu berubah. Tiffa tetap sama seperti yang dulu. Galak. Meski sedih dan kecewa Willy tetap mengulas senyum terbaiknya. “Aku datang ke sini karena aku kangen sama kamu, Tiffa. Kamu tahu ... selama dua tahun aku pergi, tetap kamu yang selalu ada dan memenuhi pikiranku,” kata Willy mencoba meraih tangan wanita yang kini menatapnya dengan datar. “Maaf, aku sudah gagal melupakan kamu, jadi sekarang aku kembali, aku akan mencoba dan terus mencoba mendapatkan hati kamu.” Willy melanjutkan lagi. Harapannya masih sama seperti dulu, Tiffa akan menerimanya. “Willy! Berhenti mengharapkan aku, karena sampai kapanpun aku nggak bisa terima kamu!” Tiffa menepis tangan Willy sangat kasar. Willy menggeleng. “Aku selamanya akan mengharapkan kamu, karena aku sayang sama kamu, Faa! Bahkan sekarang, aku berharap kamu sudah berubah pikiran dan mau menerima aku.” Willy seperti tak memiliki harga diri kalau sudah berhadapan dengan Tiffa. Rasa cinta sudah membuatnya buta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD