Prolog

534 Words
Aurel menyerahkan kertas data-data identitas dirinya di depan seorang guru yang langsung mengambilnya. Merasa dilihat, mTa gadis berambut sepunggung itu bergerak ke arah laki-laki di sudut kanan depan. Manik mereka bertemu. "Ini, hari Senin jam 8 pagi. Jangan telat!" seru guru di depan Aurel membuatnya kembali mengalihkan pandangan. "Iya Bu, makasih," kata Aurel. Ia menyempatkan melihat laki-laki yang tadi sebelum pergi dari situ. Sudah dari lima belas menit yang lalu Aurel bergerak gelisah karena bingung dengan jadwal yang diberikan bersama beberapa temannya. Di kertas sedang yang ia terima tadi, tertera tulisan tangan 'Jam 8 Pagi' dengan spidol berwarna merah. Gadis ini bingung, hari apa yang dimaksudkan? Hari Kamis ataukah hari Senin? "Eh, eh, jadi ini yang bener gimana? Jam delapan pagi itu kita ke sekolahnya kapan? Ada yang bilang hari Kamis. Tapi kok di sini jadwalnya cuman dari hari Senin?" tanya Aurel panjang lebar pada teman se-SMPnya. "Gak tahu, hari Senin sih kayaknya." "Ih, tapi kok tadi ada yang bilang hari Kamis, sih?" elak Aurel. "Tapi kayaknya beneran hari Kamis, deh." "Ya, gue nggak tahu, Rel." "Iya, hari Senin," celetuk gadis lain di dekat mereka. Dari wajahnya terlihat yakin membuat Aurel akhirnya menemukan jawaban pasti. Tak berapa lama, segerombolan manusia yang biasa disebut 'Kakel' mengusik Aurel. Ia beralih melihat mereka dan muncul ide cemerlang saat mendapati seorang laki-laki yang berjalan terpisah di paling belakang. "Kak!" cegat Aurel saat gerombolan yang lain sudah lebih dulu jalan dan menyisakan si kakel tampan yang tadi sempat saling bertatapan dengannya. Cowok itu berhenti berjalan untuk menanggapi panggilan Aurel. "Kak, yang ini gimana? Tadi katanya disuruh dateng jam 8 pagi, itu yang hari Senin apa hari Kamis?" ucap Aurel mengulangi pertanyaannya sambil mengayunkan kertas di tangan. Sengaja membuat mukanya sebingung mungkin, dengan sesekali mencuri pandang. "Hari Kamis, Dek. Bukannya ditulis di situ juga?" kata Si Kakel dengan mata mengarah pada kertas di tangan Aurel. "Hah? Masa, sih?" Aurel menggeleng dengan polos. Kali ini ia benar tidak tahu apa-apa. Karena tak ingin ketahuan, ia memutar otak dan kembali membuka mulut. "Trus pakaiannya gimana?" "Bebas rapi, Dek." Kakel yang belum Aurel ketahui namanya ini berbicara tanpa menghilangkan senyum di bibirnya. Aurel tidak tahu kalau sebenarnya lelaki di depannya ini sudah tahu akan niat tersembunyinya. "Ok, makasih banyak, Kak." Tak lupa, Aurel juga memberikan senyumnya, juga dengan percaya diri sedikit mengantisipasi apa yang terjadi jika cowok di depanya ini terpesona dengan senyumannya. "Iya, sama-sama." Mata Aurel masih terfokus pada punggung cowok yang berjalan menjauh. Sentuhan di bahu membuat semua imajinasi antaranya dengan si kakak kelas hancur begitu saja. Dengan sedikit tak rela, gadis itu menoleh ke samping kanan. "Gimana?" "Hari Kamis katanya," ucap Aurel. Ia sekilas membaca semua kalimat di kertas yang tadi dibagi. "Anjirr, ternyata emang ada di sini!" serunya. "Bukannya sih Sania udah bilang tadi?" kata teman Aurel, rupanya ia telah berkenalan dengan gadis yang tadi sempat menjawab pertanyaan Aurel. Teman Aurel cuman bisa menggelengkan kepalanya. "Sengaja juga kan lo pasti." Aurel menyengir. "Tau aja lo. Kapan lagi ya kan bisa modus sama dia." Aurel memandang gerombolan anak OSIS di ujung sana, tapi matanya hanya tetap berada pada satu orang. Ia tersenyum. Sepertinya masa putih abu-abunya akan sangat menyenangkan. Pikir gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD