BAGIAN 1

2249 Words
Ayah bilang, dulu ketika dia bertemu dengan ibu untuk pertama kali, dia bisa langsung jatuh hati pada ibu. Bukan karena ibu memiliki rambut hitam tebal yang panjang seperti model iklan shampoo atau kulitnya putih bersih seperti iklan body lotion. Tapi karena ibu lebih memilih membaca novel di sudut kelas sementara gadis-gadis lain memilih bergosip dan membicarakan pria paling ganteng di kampus. “Dulu, disaat gadis-gadis sedang trendy dengan tas kanvas yang diletakkan di bahu, ibumu memilih tas ransel. Kalian tahu apa isi tas nya?” Aku dan Yumi sama-sama menggeleng tidak punya bayangan apa yang ibu bawa di tas ranselnya waktu itu. Kami bertiga sedang duduk di karpet bulu, membiarkan siaran ulang film Harry Potter di tv yang menyala. Ketika kami baru sampai pukul lima dari Binjai untuk mengunjungi makam Ibu. Ayah memesan pizza sebagai hidangan malam kami. Bi Wati hari ini tidak datang karena ada acara lamaran anaknya. Jadi, salah satu alternatif kami adalah pesan antar karena kami terlalu lelah di perjalanan. Meskipun nenek membekali kami bebek cabe hijau, kami belum berselera memakannya untuk saat ini. Hari ini adalah hari peringatan kepergian ibu yang ke lima. Setiap tanggal sembilan maret dan hari raya kami akan ke Binjai, tempat tinggal nenek dan kakek dari pihak ibu, tempat kelahiran sekaligus tempat peristirahatan ibu. Dan selama lima tahun terakhir ini juga, ayah selalu menceritakan apapun yang berkaitan dengan ibu kami. Kupikir, ayah melakukannya supaya kami akan selalu mengingat ibu, mencoba menghidupkan keberadaannya dengan kisah-kisahnya meskipun hanya berwujud kisah. Ibu meninggal karena sakit ginjal, waktu itu aku masih duduk di kelas dua SMA dan Yumi masih kelas satu SMP. Untuk dua gadis yang sudah bisa berpikir mengenai perpisahan, itu menjadi duka besar untuk kami berdua. Selama lima tahun itu juga, ayah tetap betah menjadi orang tua tunggal untukYumi dan aku. Kami tidak keberatan kalau ayah mencari pasangan dan ibu sambung untuk kami. Tapi setiap aku menyinggung soal itu ayah akan bilang, “Kalau untukmu, ibumu cuma satu. Kalau untuk ayah, istri ayah cuma ada satu juga, ibumu itu.” Aku salut dengan kesetian ayah. Sebab itulah aku berusaha sebaik mungkin menjadi anak yang seperti ayah inginkan, menghindari masalah dan tetap menjadi diriku sendiri. Seperti kata ayah. Karena aku dan Yumi sama-sama diam akhirnya ayah melanjutkan ceritanya, “Novel Gooseboomb, Lima sekawan dan Lupus. Ibu kalian itu sangat freak dengan novel. Buku untuk kuliahnya dia titipkan sama ayah.” “Ah, masa sih?” tanyaku. Nggak mungkin ibu lebih mementingkan novel-novelnya dari pada buku kuliahnya. Melihat rekap nilai ibu saja membuatku minder. “Iya! Ngapain ayah bohong sama kalian.” “Yumi nggak percaya,” ujar adikku. “Ya…karena ayah sering minjam catatan ibu kalian lah, sebagi gantinya ibu kalian menyuruh ayah untuk membawa buku-buku pelajarannya,” ayah tertawa karena merasa berhasil mengerjai kami. “Tuh kan! nggak mungkin ibu kayak gitu!” protes Yumi. Aku juga sudah menduga. Ayah ini memang usil sekali. Ibu dan ayah sama-sama mahasiswa kedokteran. Mereka menjalin hubungan ketika menjadi residen di rumah sakit, bukan sewaktu mereka kuliah. Tapi memang ibu sangat suka membaca novel. Sampai sekarang, kami tidak pernah membiarkan lemari novel ibu berdebu. Lemari novel itu cukup besar, berisi novel-novel lokal, terjemahan bahkan bahasa asing. Untukku, lemari novel ibu seperti harta karunku sendiri. Sampai sekarang aku masih sering membaca novel-novel ibu bahkan setiap waktunya koleksi di lemari itu kian bertambah karena aku ikut andil menambah koleksi. “Okay girls! Karena ini sudah jam sepuluh malam, saatnya kalian masuk ke kamar kalian masing-masing!” ayah bangkit kemudian mulai mengumpulkan bekas makan kami. Yumi dan aku pun ikut membantu ayah mengangkutnya ke dapur. Setelah selesai beres-beres dan mengucapkan selamat malam, kami berpencar ke kamar masing-masing. Kamar ayah di lantai satu sementara kamarku dan kamar Yumi di lantai dua. Bukannya tidur, aku malah terjaga karena mengingat kisah-kisah yang diceritakan ayah. Kehilangan orang yang sangat kita cintai bukan perkara mudah. Apalagi untuk sosok seperti ayah yang sangat memuja ibu. Mengingat kalau ayah tidak berkeinginan untuk mencari istri lagi karena cintanya terpaku pada ibu. Aku senang sekaligus sedih. Senang menyadari kenyataan bahwa cinta sejati sangat nyata di hadapanku. Sedih karena ayah membiarkannya menjadi duda dan orangtua dari dua putri. Meskipun ayah tidak pernah mengeluh, sedikit banyaknya aku pasti mengerti bagaimana kesepiannya dirinya. Jam sudah menunjukkan pukul tengah malam dan aku belum juga merasa mengantuk. Aku memutuskan bangkit dari tempat tidur dan menuju dapur untuk membuat s**u cokelat. Masa bodoh soal berat badan. Ketika aku menuruni tangga, aku melihat siluet seseorang sedang berdiri sambil memandang ke arah foto pernikahan ayah dan ibu dalam keadaan lampu yang mati. Bukannya merasa takut, aku menghampiri siluet itu yang merupakan sosok ayah yang sedang fokus menatap ke wajah ibu yang ada di foto itu. “Kamu belum tidur Nya?” tanya ayah ketika mendapatiku berjalan ke arahnya. “Kanya belum ngantuk, Yah,” jawabku sambil mengambil posisi di sebelah ayah. Ikut memandang objek yang sedari tadi menjadi pusat perhatian ayah. “Besok kamu ada jam kuliah pagi kalau kamu lupa, Kanya Respati Putri!” kata ayah mengingatkan. “Boleh di skip nggak Yah?” candaku membuat ayah langsung melotot ke arahku membuatku terkekeh. “Kamu ngapain malam-malam keluar dari kamar?” “Mau buat s**u, siapa tahu jadi ngantuk.” Tanpa mengatakan apapun Ayah berjalan kearah dapur dan menyalakan lampu. Aku mengikutinya dari belakang dan melihat Ayah sedang mengambil kaleng s**u dari lemari. Ayah mengambil dua gelas dan meracik dua gelas s**u cokelat sementara aku duduk di kursi tinggi kitchen bar. Sekilas aku melihat mata ayah agak sembab. Sapertinya habis menangis. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya tentu saja. Itu pasti karena ayah rindu pada ibu. Seseorang yang sedang merindu tidak perlu diberi penghiburan. Karena sejatinya rindu seperti penyakit sekaligus obat di saat yang bersamaan. Ayah memberikan satu gelas s**u cokelatnya padaku dan ikut mengambil tempat duduk di sampingku. “Kalau sudah habis, langsung naik ke kamar mu ya Nya?” katanya padaku. “Siap ayahanda!” Ayah terkekeh geli. Untuk beberapa menit, kami sama-sama terdiam. Memilih membiarkan suara jangkrik dan kodok yang mengisi kesunyian. Sampai s**u di gelasku kosong, kami tetap diam. “Kanya balik ke kamar ya, Yah?” kataku sambil turun dari kursi. “Iya Kanya.” Ketika aku hendak menaiki anak tangga, aku melihat ayah sedang mematikan lampu dapur. Aku berbalik dan berjalan ke arah ayah yang sedang terlihat bingung. Aku memeluk tubuhnya. Bukan hanya ayah saja yang merindukan ibu. Aku juga merindukannya, Yumi pun begitu. Karena sebaik-baiknya merindu adalah tidak menghadapinya sendirian. Aku merasakan ayah membalas pelukanku. Dagunya bersandar di kepalaku dan aku merasakan ayah mengecup kepalaku. Untuk malam ini, aku membiarkan air mataku menetes. Semoga cukup menghilangkan rasa rinduku setitik kepada ibu meski sebenarnya rindu itu akan terus bertambah setiap waktunya. - “Well, apa yang membuat mata seorang Kanya Respati putri membengkak seperti baru diputusi pacar padahal dirinya seorang jomblo?” Aku melototi Dygta yang memulai keusilannya pagi ini. Aku baru saja memarkirkan motorku dan anak sok ganteng itu menghampiriku. Sepertinya dia juga baru sampai. “Aku lagi rindu sama ibu aku! Puas?” Wajah usil Dygta langsung menghilang digantikan dengan wajah menyesal setelah mendengar ucapanku. Sekarang aku malah menyesal berbicara seperti itu padanya meskipun aku cuma bercanda. “Sorry, aku nggak maksud buat kamu jadi nggak enak.” Dygta memberikan senyum tipisnya, “Maaf ya, Nya? Aku kurang peka.” Aku mendengus geli, “Lah! Baru nyadar dia!” Dygta akhirnya terkekeh dan mengikutiku yang sedang berjalan menuju gedung belajar jurusan psikologi. Ketika langkah kami sudah sejajar, Dygta mengacak rambutku membuatku menepis tangannya. “Nanti habis kelas, ikut aku pergi kuy?” “Kemana?” tanyaku. “Sebenarnya aku mau minta tolong padamu,” Dygta menghentikan ucapannya ketika aku meliriknya, “Tajam banget ngeliriknya Buk! Santai aja kenapa?” “Giliran mau minta tolong aja di baik-baikin,” cibirku. “Emang aku pernah baikin kamu?” tanya Dygta membuatku berhenti berjalan. Kami berdua sama-sama menggeleng lalu tertawa kemudian. “Jadi, kamu mau minta tolong apa?” tanyaku. Kami sudah sampai di kelas, Dygta membuka pintu kelas dan menahannya agar aku bisa masuk duluan. Kelas masih kosong karena kami masih punya tiga puluh menit lagi sebelum kelas pertama dimulai pagi ini. Aku mengambil tempat duduk di tengah. Tempat paling strategis dan paling aman selama perkuliahan berlangsung. Pandangan mata ke papantulis pas dan meminimalisir korban dosen yang bertanya. Dygta mengikuti dan mengambil kursi di sampingku. “Temeni aku ke Tasbih ya? Ke tempat Kak Nirma soalnya Bang Restu baru pulang dari Jepang dan aku sempat nitip Gunpla.” “Kenapa nggak ngambil sendiri kesana?” “Trus siapa yang pegangin nanti?” Aku memutar bola mataku, “Ya taruh di dalam tas lah anak pinter…” ucapku gemas. “Ntar kotaknya rusak, anak cerdas…” balasnya. “Yaudah! Di boncengan belakang kan bisa? Di ikat pake tali supaya nggak jatuh.” Dygta menatapku merengut, “Bilang aja nggak mau, kok susah sih!” Lah, ngambek dianya. “Ajak Dini kalau nggak,” kataku. “Udah-udah, aku cukup tau aja lah,” balas Dygta cuek membuatku ingin tertawa. “Percuma punya pacar tapi nggak dimanfaatin,” kataku terus membuatnya kesal. “Ya…ya…ya…terserah lah…terserah.” “Traktir aku Chatime, pake topping double yang ukuran large.” “Deal!”sahutnya bersemangat membuatku lantas tertawa. “Sekedar saran nih ya, punya cewek tuh harus di manfaatkan, sobatku. Jangan mau diajak senang doang, diajak repot juga harus!” ucapku menasehati Dygta. Ini anak kadang kayak merasa nggak punya pacar. Kemana-mana perginya kalau nggak samaku, ya sama Mahesa kayak pasangan homo. Karena memang begitu yang ku lihat. Dygta memang jarang sekali terlihat bersama pacarnya si Dini itu. Ya, karena beda fakultas juga sih. “Jomblo kok malah ngasih nasehat.” “Aku jomblo yang bijak.” “Kanyaku, pacar itu untuk dibawa senang, teman itu dibawa pas susah,” jawabnya enteng. Aku langsung memukul tubuhnya dengan buku diktat yang tebal. Masa bodo kalau dibilang kejam. “Dasar gila!” Dygta hanya terkekeh sambil mencoba menghalau pukulanku. Kenal dengan anak kayak gini memang kadang bikin naik darah. “Antarkan motor aku pulang dulu baru kita ke tempat kak Nirma.” “Siap Bosku!” Aku udah bilang kalau Dygta ini sahabatku? Iya sahabat dari jaman SMA malahan. Kita berdua kenal waktu gladi bersih untuk acara MOS. Begitu udah kenal, si Dygta ini langsung ngintilin aku kayak anak ayam nyasar. Alasannya polos sekali waktu itu, mau nyari teman katanya. Padahal dia nyari orang supaya mau diribetin sama dia. Sok-sokan mau ngerjain tugas yang dikasih kakak-kakak panitia MOS sampai nyiapin perlengkapan MOS. Dia mau barengan alasannya karena takut apa yang dia kerjakan salah. Karena aku orangnya baik, akhirnya aku mengundangnya datang kerumah untuk mengerjakannya bersama-sama. Tapi di rumah, bukannya bantu ngerjain, dia malah sibuk main sama Yumi yang waktu itu lagi nyoba main skateboard beramai-ramai dengan anak-anak komplek lainnya. Yang pada akhirnya menjadikan Dygta terkenal di komplek Jati Residence mulai saat itu sampai selama-lamanya. Pada saat pembagian kelas, aku agak bersyukur waktu Dygta tidak sekelas denganku. Itu artinya dia nggak balak ngeribetin aku lagi. Tapi itu salah kawan-kawanku sekalian! Karena kita di jurusan yang sama dan punya guru yang sama, Dygta sering nanya PR ke aku, bukan ke teman sekelasnya. Lagi-lagi anak itu memberikan alasan yang kelewat polos. “PR yang dikerjain sama kawan sekelasku yang sebaik PR yang kamu kerjakan, Nya. Berbangga lah!” Begitu katanya. Minta ditabok kan? Tapi itu semua nggak menjadikan alasan kenapa aku nggak mau temenan sama Dygta. Dygta itu orangnya tulus banget. Kalau nolong dia nggak pilih-pilih, nggak nunggu-nunggu, dan langsung ada disaat dibutuhkan. Nggak hanya itu, Dygta itu loyal. Dia nggak pelit untuk mengorbankan sesuatu entah itu berupa materi ataupun jasa. Selagi dia mampu, dia akan lakukan. Selain itu, untungnya temenan sama Dygta itu banyak. Contohnya ya, waktu SMA Dygta itu anggota OSIS. Modal tampang ganteng dan memiliki tubuh yang proporsional ala atlit basket membuatnya disukai cewek-cewek. Banyak yang ngasih dia hadiah, entah itu berupa barang atau makanan. Karena jadi temannya, Dygta selalu membagikannya padaku. Tapi ada satu kekurangan Dygta. Dia ini bodoh banget kalau urusan cewek. Modal tampang sih oke, tapi dia ini sering juga dimanfaatin sama cewek-cewek. Dygta menganggap dirinya sebagai pacar idaman yang rela antar-jemput ceweknya meskipun jarak rumahnya bagaikan utara dan selatan. Rela ngeluarin duitnya buat beli hadiah dan kemauan si cewek. Bahkan jadi guru les pribadi buat ngerjain PR pun dia mau. Bego kan? Emang! Tapi itu Dygta waktu SMA. Karena sekarang dia tahu cara menggunakan modal tampangnya. Kalau sekarang sih, dia ini malah jadi predator darat. Sering mematahkan hati banyak perempuan, gonta-ganti pacar. Bukannya bermaksud membela, Dygta bukan tipe cowok penjahat kelamin kok. Meskipun ku katakan predator darat, Dygta selalu menjunjung kehormatan perempuan. Dia begitu memuja mama dan kakak perempuannya. Dia percaya, jika dia berbuat buruk pada perempuan lain, itu akan berimbas pada kakaknya. Perlu di noted, buruk secara fisik ya, kalau ke perasaan sih, jangan ditanya. Untung aja Kak Nirma ketemu dengan pria baik seperti Bang Restu. Kalau ada yang nanya, aku sayang atau nggak sama Dygta, jawabannya adalah ya, aku sayang sama Dygta. Karena dia adalah salah satu orang yang membuatku bangkit setelah kepergian Ibu. Dygta adalah orang yang menemaniku melewati masa senang dan sulit. Seperti kakak yang menjaga, seperti adik yang selalu memberi rasa nyaman. Kalau ditanya aku punya hati untuk Dygta atau nggak, jawabannya adalah enggak. Dygta belum sepantas itu untuk memiliki sesuatu yang berharga seperti itu dari diriku. Dan juga… Karena memberikan hati kepada seorang hearbreaker seperi Pradygta Wardana bukanlah pilihan yang bijaksana untuk orang sebijak Kanya Respati Putri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD