BAB 1

1400 Words
Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.   Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak mengeluarkan setetes darah pun. Sedikit saja tidak. Kau bisa melihatnya dengan jelas sekarang.   Jadi, apa kau bisa memberi kesimpulan rasa sakit yang sebenarnya? Tidak, jika kau tak bisa memberi kesimpulan setidaknya jelaskan padaku definisi yang pantas untuk kata sakit.   Ah, apa kau pernah di paksa menjauh dari orang tercintamu? Semacam kehilangan. Mau tidak mau kau harus merelakan kepergiannya. Mau tidak mau kau harus melepaskannya. Secara paksa. Aku tekankan sekali lagi. Secara paksa.   "Katanya ombak tak pernah meninggalkan lautan. Katanya batu karang di tengah lautan bahkan tetap kokoh meski di terjang badai, bertubi-tubi. Katanya bulan takkan indah tanpa bintang. Tapi, ini hanya katanya."   Tak ada makna kiasan di dalamnya. Kosong. Bersih. Yang artinya semua itu bohong.   ****     Valerie diam mematung bersandar pada kusen pintu balkon apartemennya di lantai 20. Menatap indahnya sore musim panas yang menyapa Seattle. Kosong. Arah pandangannya kosong. Kedua bola mata cokelat terangnya menandakan kekosongan sejuta pias rasa sakit. Sudah lebih dari dua puluh menit dan kegiatannya hanya seperti ini. Berdiri seraya memandang wajah tampan polos yang tengah terlelap.   Tersenyum. Valerie menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Bahagia. Menjalar rasa hangat tepat di dalam rongga dadanya. Memerhatikan wajah tampan itu terlelap dalam balutan selimut tebalnya. Rambut cokelat madu yang terlihat berantakan karena ulahnya beberapa jam yang lalu. Hatinya tergelitik berdesir hangat, mengingat pergulatan seusai bertengkar hebat. Lantas berakhir dengan permainan panas. Hanya sepersekian menit, menatap kembali gradiasi kuning keemasan yang mulai beranjak menuju tempat peraduannya.   Seperti sebuah simponi. Bahagia dengan rasa sakit bersatu. Sedikit saja, kedua belah bibir tipisnya bergetar hebat manahan tangis. Tangis yang entah sejak satu minggu terakhir ini menyambangi pipi putih tirusnya. Meski berusaha mati-matian tapi tetap saja. Walau menggigit bibirnya, yang menjadi candu—bagi seseorang—toh nyatanya buliran bening asin itu tetap luruh. Membentuk aliran anak sungai di kedua pipinya lantas luruh satu per satu tanpa sebuah komando.   Kedua tangannya terlipat dengan satu menopang dagu. Bahkan, sweater biru tua pemberian seseorang itu belum juga mampu membungkus kehangatan tubuh mungilnya.   Menunduk dalam, Valerie kembali mengingat puing-puing kenangan selama satu tahun belakangan ini.   Flashback On   "Kau terlambat satu menit nona?" Instruksi suara lembut mengalun di gendang telinga Valerie. Mengeluh? Sepertinya patut Valerie lakukan karena hanya satu menit dan lantas mendapat semprotan seketika.   "Bagimu satu menit hanya satu menit, tapi, bagi singa di dalam sana kau benar-benar akan di lahapnya." Oh lagi. Ini hari pertamanya bekerja sebagai asisten di perusahaan kondang.   Memutar bola matanya, Valerie mendengus kasar. Mendudukkannya di kursi sembarang dengan satu kaki menumpu pada kaki lain. Melipat tangannya santai. Tak ada yang lebih indah dari bekerja di perusahaan sebesar ini. Lihatlah interior mewah ruangan ini. Jika ruangan karyawan saja sudah mewah lantas seperti apa ruangan di balik kaca transparan itu. Oh, jangan lupakan soal makhluk tampan itu. Ya, sangat tampan. Tatanan rambut rapinya dengan pomade kontras cocok di tambah bertenggernya kaca mata di hidung mancungnya. Rahang kokohnya, serasa Valerie ingin mengusap berkali-kali, mengecupnya. Bibir merah ranumnya, ah seperti apa rasa itu. Seperti candu.   "Tempatmu bukan di sini manis." Oh, ayolah. Valerie jengah sekarang. Kenapa gadis berambut brunette ini begitu cerewet. Valerie menghiraukan dan tetap mengagumi pemandangan indah di dalam sana.   "Kau bahkan sudah di tunggu ‘tuan muda’ dan kau terlambat seperkian menit." Demi Tuhan! Valerie menggeram sekarang.   "Baiklah cantik. Aku akan masuk ke sana." Menyerah. Valerie lebih memilih berjalan masuk santai dengan heels yang beradu di lantai marmer. Merapikan tatanan rambutnya lantas mengetuk pintu kaca hingga terdengar instruksi suara seksi menjawab ketukannya.   ****   Lima menit. Selama hampir lima menit Valerie berdiri mematung seperti patung. Diam. Hanya terdengar deru napasnya yang memburu dengan detak jantung dua kali lipat lebih kencang. Tapi ya, harus diakui olehnya bahwa pemilik perusahaan ini begitu amat tampan. Sangat. Hanya dengan mengenakan kemeja serampangan tapi Ya Tuhan mampu membuat jantung Valerie akan melompat keluar dan bercokol di dalam mulutnya.   Wanita mana yang tak merasa panas jika melihat pemandangan seindah oh bukan tapi seseksi ini. Otaknya dengan sinting meyakini wanita mana pun akan teramat rela untuk meneriakkan nama si tampan itu berkali-kali dengan keras. Oh, Astaga.   Valerie menarik ucapannya beberapa menit yang lalu. Lelaki tampan itu, ya, ya masih diakui tampan tapi—bisakah percaya jika amat dingin. Bahkan kehadiran Valerie tak di hiraukan sama sekali. Apa dia tak punya perasaan dengan menyuruhnya berdiri. Otot-otot kakinya terasa pegal apalagi berdominan memakai sepatu heels sepuluh senti.   "Mengagumi, eh?" Valerie mendongak memerhatikan gerakan santai lelaki pahatan Dewa Yunani di depannya yang melepas kaca mata lantas memandangnya dengan tatapan nyalang. Oh, selain tampan lelaki itu bahkan sangat percaya diri—walau sebenarnya benar. Kedua mata cokelat miliknya memang menikmati bahkan mulai berangan. Singkatnya sukses membuat Valerie terhipnotis. Seksi.   Kikuk, Valerie menunduk menatapi lantai marmer serta merutuki kebodohannya.   "Aku tak mentolerir keterlambatan walau satu menit. Meski hanya satu menit, dan aku tak menerima alasan apapun. Itu peraturan pertama." Tampan. Begitu sombong.   Valerie mencebikkan bibirnya terdengar sampai CEO muda tampan itu menoleh. Menyipitkan matanya, jelas terlihat kerutan tipis di sisi sudut matanya. Dan, ya, itu begitu manis. Seperti bayi. Astaga.   "Aku tak suka kau mencebik. Jangan juga mengumpat, atau, ah ya, aku tak suka ketika orang lain memutar matanya. Aku merasa tersinggung." Tegas. Titahnya lugas dan mudah di pahami sekali pun seorang bayi yang baru merangkak.   "Tugas pertamamu adalah, kopi." Melongo. Valerie membulatkan bibirnya sempurna. Apa atasannya ini gila?   "Kental. Pahit, dengan gula sedikit. Lima menit. Waktumu lima menit nona manis." Layaknya semilir angin laut, kedua pipi tirus Valerie memanas. Menjalar di kedua sisi hanya karena ucapan lembut terakhir CEO-nya.   "Kau… memerah?" Kembali. Valerie merasa terintimidasi. Memberengutkan wajah manisnya lantas menghentak satu kali di lantai marmer dan berjalan keluar. Menggerutu. Tentu saja.   Flashback Off   ****   Embusan angin sore kembali menerpa wajah molek putih bersih Valerie, menyadarkan dari lamunan panjang beberapa detik lalu, bersamaan dengan melingkarnya lengan kekar di perut datarnya. Terpaan napas dengan dagu yang tertopang pada bahunya tepat mengenai tengkuk lehernya. Memejamkan matanya sejenak, gadis berambut panjang cokelat terang itu tahu siapa pemilik harum maskulin yang tengah menyalurkan rasa hangat ke sekujur tubuhnya. Kekasihnya tentu saja. Kekasih juga CEO muda di tempatnya bekerja.   "Kau melamun juga mengabaikanku, maple?" Valerie tersenyum, segera berbalik dan mendapati wajah tampan bak pahatan Dewa Yunani yang sedikit berantakan. Jika sudah panggilan favorit untuknya terucap artinya hanya satu jawabannya, merajuk. Oh, sungguh manis karena kekasih tampannya itu merajuk. Tampan. Kekasihnya itu selalu tampan meski berantakan sekali pun. Menyematkan sedikit cecapan kecupan di bibir merah muda ranum nan seksi. Sepersekian detik dan menangkup kedua pipi halusnya. Mengusapnya pelan membuat lelaki itu, Kendrick memejamkan kembali kedua matanya.   Ya, Justin Frankson. CEO muda pemegang JF Company seantero Amerika bahkan Eropa. CEO muda yang begitu di gilai wanita bahkan kalangan artis sekali pun. Lelaki tampan dengan perangai tatapan tajam dingin nan membunuh namun begitu manis di mata Valerie. Menyandang status sebagai kekasih Justin selama satu tahun ini, nilai kebahagiaan tersendiri untuk Valerie. Tak menyangka? Tentu saja.   Di saat semua wanita bahkan mengejarnya tapi tidak bagi Valerie. Pekerjaan menjadi asistennya selama satu tahun ini—yang awalnya nampak seperti bencana karena harus menghadapi sikap dingin serta ucapan ketus Justin tapi nyatanya berbanding terbalik dan malah sama-sama terjebak dalam lingkaran lubang cinta.   Mengembuskan napas pelan, Valerie meniup kedua kelopak mata Justin yang terkatup rapat. Mengusiknya dengan godaan yang biasa dilakukannya.   "Kau harus mandi. Bukankah sudah waktunya?" Valerie bertutur lembut seraya mencubit pelan hidung mancung Justin. Membuatnya mengerang manja dan kembali mendekap gadisnya erat.   "Kau harus datang!" Perintahnya membuat Valerie terdiam. Tak ingin menjawab atau sekedar mengangguk. Pipi tirusnya menempel sempurna pada d**a bidang Justin, tepat di atas tato salib favoritnya. Jari lentiknya terarah mengusap perlahan membuat Justin menggeliat pelan.   "Kau tahu?" Tercekat. Suaranya kembali pecah menahan tangis. Kerongkongannya serasa sakit dengan pahit bersamaan. Bahkan cairan panas bening nampak menggenang di kedua bola matanya. Membuatnya kabur menutup iris cokelat terangnya.   "Aku tak harus datang Justin. Itu akan semakin memperkeruh keadaan." Jelas Valerie setelah mati-matian menahan tangis.   "Kau harus datang." Tegas Justin jelas tak ingin mendengar bantahan. Penuh penekanan, tentu saja.   "Justin..." Belum lagi Valerie menjawab dan satu tangan terangkat memberi tanda berhenti.   "Siapkan air hangat dan mandi bersamaku. Aku akan kembali sepuluh menit lagi." Mengembuskan napas dan menjauh melepas pelukan terhangat bagi hatinya. Melangkah memasuki kamar mandi.   "Gaunmu maple." Valerie menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kamar mandi, menoleh. Beradu pandang dengan manik cokelat lembut lelehan madu milik Justin. Menarik satu sudut bibirnya ke kanan dan ke kiri lantas mengangguk.   Mata cokelat terangnya menatap gaun yang masih terbungkus, nanar. Kosong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD