Chapter 01

1547 Words
"Entar malem, lo nonton turnamen gue, kan?" Sambil sibuk mencatat materi di papan tulis, Aldan mengangguk. "Jam berapa?" "Setengah 6," jawab Kara. "Datang, ya!" Pergerakan Aldan yang sedang menulis tiba-tiba terhenti. Cowok itu mendongak lalu menoleh pada Kara. "Gue nggak janji," katanya pelan. Kara melotot sambil menggebrak meja. "Lo udah janji bakalan dateng!" ucapnya keras, dengan sukses mencuri perhatian seisi kelas ke arahnya, termasuk Bu Lela. "Datang kemana?" tanya Bu Lela tiba-tiba, menatap tajam ke arah meja Kara dan Aldan. Melihat Kara cuma menundukan kepalanya pura-pura mencatat, Aldan menggantikan cewek itu untuk menjawab. "Turnamen basket nanti malam, Bu," ucap Aldan santai. "Catat dulu materi, jangan banyak ngobrol!" bentak Bu Lela di keheningan. Anak-anak langsung mengalihkan pandangannya dari meja Kara dan Aldan lalu kembali mencatat, takut singa yang belum jinak itu mengamuk. Setelah nyengir kuda dan minta maaf pada Bu Lela, Aldan langsung menyikut lengan Kara sampai-sampai tulisan cewek itu tercoret. "Elo sih! Makanya jangan berisik!" tegur Aldan. "Anjir, tulisan gue kecoret!" seru Kara sambil balas mencoret buku Aldan. "Nih, rasain!" Melihat bukunya dicoret oleh Kara, Aldan melotot tak terima. Sementara itu, cewek yang duduk disebelahnya cuma terkikik geli, bersikap tak acuh. Dari dulu, Aldan emang gak pernah bisa tenang kalau sebangku dengan Kara. Masalahnya, cewek itu selalu aja cari-cari masalah. Dari hal kecil seperti menggacul peralatan menulisnya, sampai hal besar seperti ketauan mencontek oleh pengawas. Alhasil, nggak jarang juga Aldan dan Kara keluar masuk ruang BK. "Kara! Tadi itu gue nggak sengaja!" "Apa? Mau gue tambahin coretannya?" Kara kembali mencoret catatan Aldan dengan pulpennya sambil menahan tawa. "KARA!" Aldan berseru keras sambil mengambil paksa pulpen yang ada di tangan Kara. "Lo belum tau rasanya masuk jamban, bukan?!" Suasana kelas mendadak sunyi setelah Aldan berteriak. Hampir kepala semua anak berputar ke arah cowok itu, menatapnya dengan tatapan penuh kasian. "Mampus. Singanya ngamuk, Dan," bisik Kara pelan tanpa menghiraukan perkataan Aldan barusan. Cewek itu menatap lurus ke depan, ke tempat Bu Lela sedang duduk di kursinya. Aldan mengikuti arah pandang Kara dengan takut-takut. Selamatkan hambamu ini ya Tuhan, batin Aldan. Bu Lela mengatur napasnya yang memburu lalu memejamkan matanya sedetik. Semua anak, termasuk Aldan dan Kara, menahan napas masing-masing dengan tegang. "Sekali lagi saya dengar suara, kalian berdua akan saya hukum!" ancam Bu Lela ganas. Matanya melotot dan hidungnya kembang-kempis, tanda gunung berapi akan segera meletus. Semua murid bungkam, kecuali Aldan. Cowok itu masih menyempatkan diri untuk sekedar mengangguk dan mengiyakan ucapan Bu Lela. "Udah ah, Kar. Gue males diomelin mulu," bisik Aldan, tangannya bergerak-gerak mencari sesuatu di atas meja. "Eh, tip-ex mana?" tanyanya kemudian. Kara mengangkat bahunya cuek. "Gak tau. Coba pinjem Anita aja." Aldan bangkit dari duduknya lalu mencondongkan badan ke depan, berniat memanggil Anita yang duduk tepat di depannya. "Nit, pinjem tip-ex, dong!" kata Aldan pelan, nyaris berbisik. Anita mengambil tip-exnya lalu menyodorkannya pada Aldan tanpa banyak bicara. "Thanks." Aldan menerima tip-ex yang disodorkan Anita sambil tersenyum sok ganteng. Dan tepat ketika cowok itu baru akan menghempaskan p****t di bangkunya, Kara buru-buru menendang bangku Aldan menjauh. Gedebuk! Aldan sukses terjatuh dengan posisi p****t yang mencium lantai. Kontan kelaspun jadi ramai oleh suara tawa anak-anak. Aldan sendiri cuma bisa meringis sambil mengusap-ngusap pantatnya yang tadi membentur lantai. Dasar Kara kampret! Tahu siapa biang keroknya, Aldan buru-buru mendongak dan mendapati Kara sedang tertawa puas sambil memegangi perutnya. Sadar bahwa Aldan tengah melototinya dari bawah, sambil masih tertawa, Kara mengucapkan kata 'mampus' tanpa suara. "Karina Orine! Akhmaderry Aldan! Berdiri di tengah lapangan sampai jam istirahat selesai!" • • • Jam telah menunjukkan pukul 12 siang, waktu dimana posisi matahari berada tepat di atas kepala kita. Bel tanda istirahatpun telah dibunyikan beberapa menit yang lalu. Kantin sesak dipenuhi oleh murid-murid yang berlalu-lalang, berniat untuk mengisi kekosongan perut mereka. Sementara itu, bukannya menikmati makan siang bersama yang lain, Kara dan Aldan justru harus berdiri di tengah lapangan sambil menghormat pada tiang bendera. Bu Lela memang kejam. Kalau disuruh memilih, Kara lebih baik mengepel lantai kamar mandi yang baunya bikin kejang-kejang di tempat daripada harus menghormat bendera di tengah teriknya sinar matahari seperti ini. "Kar, tanggung jawab, Kar! Jam istirahat gue kebuang sia-sia gara-gara lo!" dumel Aldan dengan tampang kusutnya. "Berterimakasih, dong! Kalau sekarang lo ke kantin, gue jamin Ibu Kantin pasti bakalan nagih utang lo," balas Kara. Aldan mendelik. "Enak aja. Yang sering ngutang kan elo, bukan gue." "Enggak solid, ah! Utang gue kan, utang lo juga, Dan," ucap Kara. Cewek itu menyenggol bahu Aldan sambil cengengesan penuh arti. Aldan mendengus. "Pokoknya, besok-besok lo jangan ngutang pake nama gue lagi. Dompet gue sekarat, nih." "Yaaahhh..." Kara cemberut lalu langsung menendang kaki Aldan. Bagusnya, Aldan punya daya refleks yang baik. Cowok itu buru-buru menghindar sebelum kaki Kara sempat menendang kakinya. Gimana, enggak? Bertahun-tahun sahabatan dengan Kara membuat Aldan belajar satu hal. Cewek itu punya hobi menendang orang. "Yaudah, kita putus aja," celetuk Kara asal. Aldan bergidik ngeri sambil menatap Kara horror. "Gimana Zio mau jadi pacar lo? Gue aja yang udah kenal lo lama, sama sekali gak mau jadi cowok lo walaupun dikasih hadiah lamborghini." Kara kontan menjitak kepala Aldan keras, membuat cowok yang tengah berdiri di sampingnya itu mengaduh kesakitan. "Songong lo, pake bilang gak akan nerima lamborghini segala. Kembalian kurang serebu aja lo nyampe neror si abang tukang cimol." Alih-alih membalas perkataan Kara barusan, Aldan malah mengusap-ngusap kepalanya sambil menggerutu pelan. "Dikit-dikit mukul, dikit-dikit mukul. Kalau mau modus, yang lembutan dikit, kek." "Idih! Mending gue modusin embe yang belom mandi 5 bulan sek..." Kata-kata Kara langsung terputus begitu saja sewaktu matanya nggak sengaja menangkap bayangan seseorang sedang berjalan di koridor. Kara membelalakan matanya kaget dengan napas yang mendadak tercekat. Melihat gelagat aneh Kara, Aldan kontan menoleh ke tempat dimana mata cewek itu mengarah. Disana, tepat di depan koridor kelas IPS, terdapat segerombolan anak-anak cowok kelas 12 sedang berjalan menuju kantin. Dan poin pentingnya adalah, salah satu diantara mereka ada yang menjadi kecengan Kara. Mengerti apa yang ada dalam pikiran Kara, Aldan refleks tersenyum menggoda lalu menyenggol bahu sahabatnya itu. "Eh, ada si Zio ya, Kar?" sindirnya. Kara menggigit bibir bawahnya gemas dengan senyum yang mengembang. "Ganteng banget..." gumamnya tanpa sedikitpun menghiraukan perkataan Aldan barusan. Aldan menoyor kepala Kara sambil tertawa. "Yah, mupengnya keluar." "Aldan, kenapa Kak Zio harus ganteng banget, sih?!" Kara mendadak histeris sendiri sambil menarik-narik ujung baju Aldan. Cewek itu seketika lupa dengan hukumannya untuk menghormat bendera. Begitupula Aldan. "Ganteng darimana," cibir Aldan. "Gantengan juga gue," katanya pede sambil bertolak pinggang. Mendengar ucapan barusan, Kara cuma bisa mencibir pelan. • • • Cklek! Redy berhasil mengabadikan foto seorang cewek dengan rambut panjang yang berdiri tak jauh darinya. Selama beberapa detik, Redy cuma bergeming di tempat sambil sibuk mengamati foto Kaila yang tadi sempat diambilnya. Ujung-ujung bibir cowok itu langsung tertarik ke atas begitu tanpa sengaja melihat foto Kaila dengan wajah bete. Lucu, batin Redy. Setelah puas mengamati foto-foto di DSLRnya, Redy mendongak lalu mencari-cari sosok Kaila di antara anak-anak yang berjalan hilir-mudik. Sayangnya nihil. Kaila langsung hilang dari peradaran begitu Redy mengalihkan pandangan dari cewek itu untuk sekedar mengecek hasil bidikkannya tadi. Kaila kemana? batin Redy lagi. Cowok itu berjalan menyusuri koridor IPA dengan kepala celingukan, mencari-cari keberadaan Kaila. Padahal kan, Redy masih belum puas memotret semua ekspresi yang ada pada wajah Kaila. Disaat Redy tengah mengedarkan pandangannya untuk mencari Kaila, seseorang tiba-tiba menepuk pundak cowok itu dari belakang. "Re, jangan lupa rapat fotografi sepulang sekolah." Redy menoleh lalu mengacungkan satu jempolnya. "Gampang." "Bagus." Disa, teman dekat Redy, mengangguk-anggukan kepalanya. "Jangan ngaret." "Iye. Eh, Dis, bentar!" Redy tiba-tiba menahan langkah Disa. "Apaan?" "Lo tau Kaila dimana?" Mendengar pertanyaan Redy barusan, Disa kontan menyikut lengan Redy sambil tertawa. "Elah, mantan dikejar mulu. Gak aus?" Redy memutar kedua bola matanya sembari mendengus. "Liat, nggak?" "Ada di rest area." Redy menampilkan cengiran lebarnya lalu menepuk pelan pundak Disa. "Thanks, bro." Setelahnya, cowok itu langsung bergegas menuju rest area yang terletak di bagian belakang sekolah. Begitu sosok Kaila yang sedang duduk di sebuah kursi panjang hitam tertangkap oleh indra penglihatannya, Redy kontan menyunggingkan senyum lebar. Sampai sekarangpun, cewek itu masih Kaila yang dulu. Sama sekali enggak berubah. Redy mengangkat DSLR yang menggantung di lehernya lalu mengatur fokus pada Kaila yang sedang tertawa. Begitu setiap sudut sudah dirasa pas, Redy lantas membidikkan kameranya. Cowok itu kembali tersenyum begitu melihat hasil potretannya tadi. Kalau boleh jujur, Redy sangat merindukan sosok Kaila. Bagaimanapun juga, Kaila itu masih berstatus sahabat Redy walaupun dulu mereka pernah berpacaran. Jadi, wajar kan, kalau cowok itu merindukan Kaila? Mengingat dulu Redy selalu menghabiskan waktunya bersama Kaila, rasanya jadi sedikit agak hampa jika cewek itu tak berada disisinya. Redy kembali mengotak-atik DSLR-nya. Ada banyak foto Kaila tersimpan disana. Bahkan, ada juga foto mereka berdua sewaktu masih pacaran dulu.Ternyata, memang benar ya, kalau sampai tumbuh sebuah perasaan diantara persahabatan, maka persahabatan itu sendiri tak akan bertahan lama. Sebenarnya, kalau saja waktu itu Redy nggak terburu-buru menembak Kaila, mungkin ia dan cewek itu masih bisa bersahabat sampai sekarang. Tapi kenyataannya? Jangankan bersahabat, untuk sekedar bertemu dengan Redy pun, Kaila terlihat enggan. Cewek itu benar-benar menghindarinya. Redy mendongak dan menatap Kaila yang sedang duduk di kursi panjang hitam dengan posisi memunggunginya. Saat ini, jarak mereka begitu dekat. Tapi, entah kenapa Redy malah merasa bahwa jaraknya dengan Kaila tidak sedekat itu. Mungkin, menyatakan perasaan kepada sahabat sendiri adalah hal terbodoh yang pernah Redy lakukan. Tapi, melepaskan sahabat sekaligus orang yang dicintai adalah kesalahan terfatal yang pernah Redy miliki. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD