Prolog

234 Words
Semuanya terlihat asing di pandanganku. Aku berada di depan rumah, dengan orang-orang yang beraktivitas seperti biasa. Wajah mereka terpancar kebahagiaan namun banyak kejanggalan yang daritadi membuat keningku berkerut. Semua orang melayang, dengan tubuh transparan dan wajah pucat. Ada kantung mata berlipat-lipat di bawah mata mereka. Bahkan yang membuatku terkejut adalah seorang Ibu dengan kepala yang bisa dilepaskan dari tubuhnya. Dia tertawa seperti tak terjadi apapun sambil berbicara dengan seseorang yang tertancap pedang tepat di dadanya. Aku tercengang. Apa ini? "Kakak." Aku menoleh, dan betapa kagetnya melihat gadis kecil dengan gaun keemasan dan wajah pucat, menatapku dengan sorot heran. "Kakak baru sampe sini ya?" tanyanya. Mataku mengedip beberapa kali, lalu keningku berkerut. "Baru sampe?" tanyaku balik. Dia mengangguk beberapa kali, lalu tangannya menunjuk salah satu sudut dan berujar, "Kakak harus lapor dulu sama Oom yang itu." Aku tercekat saat ada seseorang yang menembus tubuhku lalu mengusap kepala gadis itu lembut sebelum pergi meninggalkan kami. "Kenapa Kakak harus lapor?" tanyaku bingung. "Sebenernya ini dimana?" Gadis itu memiringkan kepalanya, menatapku dengan ragu. "Kakak? Ini kan Alam Perbatasan," jedanya. "Kakak udah meninggal." Apa? Meninggal? Aku hampir saja pingsan saat melihat tanganku yang transparan. Jadi yang dikatakan anak ini benar? Aku meninggal? Tak bisa dipercaya. Satu hal yang membuatku percaya aku sudah meninggal. Tubuhku tergeletak di tengah jalan penuh dengan darah yang keluar dari luka sobekan di bagian kepala. Mama dan Papa bahkan menangisi aku, anak semata wayangnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD