1. Rencana Pernikahan

1128 Words
Putaran demi putaran. Tak ada yang lebih menggairahkan selain menaklukkan waktu. Memecah rekor diri sendiri. Lebih memacu adrenalin  daripada menatap angka-angka di bursa saham yang turun naik sementara separuh aset perusahaan dipertaruhkan. Lebih menantang daripada menatap dua puluh ribu pasang mata para pegawai yang berharap tangannya tidak meneken kontrak untuk menjual perusahaan dan memPHK separuh dari mereka. Putaran ini lebih hidup dan resiko yang ditanggung hanyalah nyawanya seorang. No body else. Tetapi tetap saja, Bujana harus kembali ke dunia nyata. Ketika melihat gesture lelaki ceking dengan rambut klimis berdiri di tepi lintasan saat putaran kelima. Bujana yakin, ayahnya terpaksa menyuruh dia untuk menyusulnya ke sirkuit. Tentu saja karena tiga ponsel Bujana mendekam di loker. Semua orang tahu, tepatnya orang-orang terdekat di antara dia dan ayahnya, bila Bujana sedang bersitegang dengan ayahnya, maka dia bisa menghabiskan dua sampai empat ban mobil di sirkuit. Itu lebih baik dari menggebrak meja di depan ayahnya. Menggebrak meja sama saja akan membuat Raja Otomotif itu mewariskan perusahaannya pada para keponakannya yang sudah lama mengincar bagai serigala kelaparan.   Pratama, si lelaki ceking, masih bertahan hingga putaran ke-7 dan dia sama sekali tidak berniat untuk berteduh dari terik matahari. Kalau saja tidak karena mendung pekat di langit barat yang semakin mendekat, Bujana masih tega membiarkan lelaki itu menunggu. Mobil balap merah darahnya dengan segera ditangani oleh para pegawai sirkuit begitu Bujana menepi dan keluar dari mobil. Pratama tidak serta merta mengutarakan maksudnya, walau Bujana sudah bisa menduga. Pasti soal Marinka. Pratama mengikuti Bujana hingga ke ruang ganti. “Ada apa?” sergah Bujana pada Pratama yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu. Tidak ada jawaban, selain sebuah koper kecil yang dihulurkan. “Apa itu? Bomnya?” Pratama menggeleng, “Data yang tuan cari tentang Nona Marinka.” Bujana menatap koper itu sejenak. Dia memang pernah meminta asisten ayahnya itu untuk mencari tahu segala hal tentang Marinka. Dia hanya tidak menyangka, Pratama menyelesaikannya dalam tiga hari. Tentu saja, karena hari H sudah ditentukan tepat tiga puluh hari setelah sekarang. Dan dia sangat berharap bom bisa dia ledakkan sebelum hari itu, sehingga bisa membatalkan semuanya. “Halo sayaang!” Sebuah pelukan di punggungnya, tidak membuat Bujana terkejut. Sirley, wanita berhidung lancip yang selalu tahu dia berada di mana. Pratama mundur beberapa langkah, apalagi ketika Sirley semakin menjadi dengan mengalungkan lengannya di leher Bujana. “Aku sedang sibuk,” ucap Bujana, sekilas menatap pada mascara Sirley yang mengayun-ayun manja di sepasang mata sipitnya. “Aku tidak bertanya kau sedang apa, aku ingin nonton nanti malam …” “Kita sudah nonton kemarin, minggu depan saja.” “Ayolah sayangg….” Bujana melepaskan lengan Sirley perlahan. Sirley tahu, dia tak boleh menekana Bujana, atau lelaki itu akan dengan mudah mengusirnya, seperti para gadis sebelumnya. Walau mudah didekati wanita, terutama yang bermodal paras jelita, Bujana tak mudah untuk ditaklukkan begitu saja. Dia super selektif terhadap wanita.  Bujana menunda berganti baju lalu mengambil koper dari Pratama dan menuju ke mobilnya yang sudah siap di jalur keluar, Tiba-tiba dia punya rencana baru, yang dia yakin bila dia berhasil melaksanakannya, dia bisa menguasai Marinka. Setidaknya, dia bisa menunjukkan pada ayahnya, bahwa kali ini dia akan patuh pada keinginannya. Demi menyelamatkan perusahaan mereka. OoO Sebuah rumah besar dengan gaung langkah sepatu. Menggema di selasar yang temaram dengan cahaya lilin. Bujana mengira, Tuan Maloko seorang vampire, karena nyaris tak ada cahaya matahari masuk ke dalam rumahnya. Kalau saja bukan karena perusahaan otomotif ayahnya nyaris kolaps, Bujana tak perlu bersusah payah berusaha meluruskan logikanya dengan rencana kuno seperti. Dia setengah tidak percaya bila ayah dan ibunya dulu pernah melakukan hal yang sama. Dan Tuan Maloko berperan besar pada perjodohan mereka. Dan ruang demi ruang dengan pintu-pintu besar berukir, yang seolah tanpa udara, nyaris membuatnya tak bisa bernafas. Dia tak bisa hidup tanpa melihat sinar matahari, jadi dia tak mungkin tinggal di sini. Seorang pembantu memandunya menuju studio lukis di lantai tiga. Menapaki tangga yang berkarpet tebal, hingga gaung langkah tak lagi terdengar. Yang disebut studio lukis, ternyata jauh dari perkiraan Bujana. Sebuah balkon luas dengan canopy. Pot-pot bunga besar di sekelilingnya. Tanpa satu pun lukisan menggantung di dinding. Hanya sebuah kanvas yang menghadap seorang wanita yang duduk memunggungi pintu. Rambutnya digelung dan diikat dengan jepit perak. Jadi, semua yang diperoleh asisten ayahnya benar adanya. Marinka, wanita di hadapannya, jauh dari seleranya. Dia bahkan tak berlari menyambutnya seperti Sirley, Dana, atau Mimi. Wanita-wanita yang tak pernah berhenti berorbit padanya. Belum lagi Yu Wee dan Lusie di negeri seberang yang kerap menyita waktunya kala menghadiri rapat perusahaan dengan telepon-telepon manja mereka. Walau dari semua wanita itu, tak pernah ada yang berhasil berada di sisinya lebih dari dua bulan. “Ehm …” Langkah kaki Bujana tepat di belakang Marinka. Dia berharap dehemannya membuat gadis dengan blus putih dan rok biru menoleh. Bujana tak akan terkejut bila dia berbalik. Bujana sudah sangat hafal wajahnya dari foto-foto dan video dari netbook yang disodorkan Pratama di sirkuit tadi. Lumayan lumayan jelita, walau masih jauh dibandingkan Lusie, seorang model di negeri Kanguru. Bujana juga sudah menghafal beberapa wajah lelaki dan wanita di mobil tadi. Profesi mereka dan hubungannya dengan Marinka. Semuanya sama sekali tidak ada yang bisa mendukungnya dalam menjalankan bisnis ayahnya kelak. Mungkin hanya Karran, seorang fotografer backpacker. “Siapa?” tanya Marinka tanpa menoleh dan tanpa menghentikan kegiatannya, mengoles-oles kuas di atas kanvas. Bujana merasa sedikit tertohok. Tak pernah ada wanita yang memperlakukannya seolah lelaki tak laku seperti ini. Bujana melangkah dan berdiri di samping Marinka dan menangkupkan kedua lengannya. Dia yakin posisi berdirinya, dengan kostum balapnya, sudah membuat banyak wanita tergila-gila padanya. Dan Marinka, dia hanya menoleh padanya sekilas lalu melanjutkan lukisannya. “Ada perlu apa? Acaranya masih tiga puluh hari lagi.” Jawaban pendek tanpa nada membutuhkan sama sekali itu membuat kepala Bujana gatal. Ternyata gadis itu sudah mengetahui siapa dirinya. Dan, yang menjengkelkan adalah kesombongannya wanita cantik di hadapannya itu. Sejenak Bujana mengevaluasi kalimat terakhirnya. Wanita di hadapannya itu membuatnya gemas. Kulit putih bersih, rambut legam yang hanya dijepit begitu saja, hidung lancip dan tulang pipi yang menonjol. Walau tanpa make up, darah Yunani ibunya tak bisa disangkal. Dan tangan yang gemulai menggerak-gerakkan kuas di atas kanvas, sejenak mendetak jantung Bujana. Dia kerap merasakan ini pada beberapa wanita, tapi tak ada yang lebih menjengkelkan hatinya selain tingkah cuek Marinka. “Aku hanya ingin bicara sebentar saja. Aku banyak urusan dengan teman-teman gadisku sebelum aku menikahimu. Aku juga ada pertandingan taekwondo pekan depan dan akan mencoba mobil baru di sirkuit …” “Apa maumu sekarang?” Bujana menelan ludah. Tak ada gadis yang berani memotong kalimatnya. Gadis di hadapannya benar-benar menguji adrenalinnya yang mulai naik. Ini lebih menjengkelkan dari seorang lawan taekwondo  yang tidak tumbang-tumbang meski sudah ditendangnya berkali-kali. “Ka… kau … mau bulan madu ke mana?” Bujana merasa mukanya memerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD