Prolog

1304 Words
"Bawa koper kalian masuk!" Ucap tegas seorang pria ber kemeja putih dengan kasar membuka pintu rumah yang sebenarnya baru di beli satu minggu yang lalu, berhasil membuka pintu rumah dengan lebar, ia berdiri di samping pintu, membiarkan kedua perempuan yang datang bersamanya agar masuk terlebih dahulu. Setelah kedua perempuan itu masuk, dia mulai menyusul berjalan ke dalam sambil menutup pintu rumah. Wajahnya nampak tenang, namun sorot matanya menunjukkan ia tengah diselimuti amarah. "Sudah saya bilang, mau keluar kota pun saya akan menemukan kalian. Kalau kalian kabur lagi ... awas aja!" "Terutama kamu, jangan sekali-kali lagi mempengaruhi dia!" Pria itu menunjuk ke dua perempuan di depannya bergantian. Pria tersebut terlihat mengatur napasnya, "karena kalian, saya harus membeli banyak rumah dan meminta mutasi kerja! Mulai sekarang saya akan benar-benar mengawasi kalian di kota ini." Masih diselimuti amarah, pria itu berjalan menaiki anak tangga meninggalkan kedua perempuan yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu cukup luas di rumah tersebut. * * * * * * Gadis perawakan mungil berseragam putih biru dibalut cardigan toscanya keluar dari ruang guru, ia berjalan menunduk di koridor sekolah yang sangat sepi mengikuti seseorang. Gadis itu menarik lengan cardigannya sehingga menutupi jari-jari tangannya yang lentik, merasa agak tidak percaya diri datang ke sekolah barunya. Seorang wanita setengah baya yang berjalan di depannya pun menoleh. "Semoga Neng betah ya disini ... kalau ada perlu atau butuh bantuan apa-apa, ke ruangan Ibu saja." Ucap wanita itu, ia mengenakan kemeja batik bercorak dengan jilbab abu-abu membalut kepala dan lehernya. Gadis mungil berseragam putih biru itu mendongak, dia mengangguk sembari tersenyum. "Baik Bu." Matanya lalu sedikit demi sedikit memperhatikan ke sekelilingnya, mereka berjalan di tengah koridor dengan pintu-pintu kelas yang tertutup. Ia terus berjalan mengikuti wanita setengah baya yang tak lain sudah menjadi wali kelasnya saat ini. Mereka berbelok pada koridor kelas delapan dan berhenti di depan ruang kelas berplakat VIII B, ruang kelas yang cukup bising karena teriakkan-teriakkan siswa dari dalam kelasnya. Tok tok tok Ibu wali kelas gadis itu mengetuk pintu ruangan, beberapa detik kemudian pintu kelas terbuka lebar bersamaan dengan suara kebisingan yang hilang. Seluruh siswa yang menciptakan kebisingan itu teralihkan oleh dua perempuan yang berdiri di ambang pintu. " Wilujeung enjing Pak. Ieu Ega, murid anyar di kelas ieu. Dipiwarang pikeun enggal ngiring mata pelajaran Bapak." (Selamat pagi Pak, ini Ega. Siswi baru di kelas ini, mohon agar langsung masuk bimbingan mata pelajaran Bapak.) Ucap sang wali kelas tersebut pada seorang pria yang membukakan pintu dari dalam kelas. Pria muda yang berkisar diakhir 20 an itu mengangguk dan tersenyum. "Enjing oge Bu, mangga Ega kalebet." (Pagi Bu, Mari masuk Ega.) Jawabnya ramah, lalu mempersilakan gadis bercardigan tosca untuk masuk ke dalam kelas. Gadis itu mengangguk, sebelum melangkahkan kaki ke dalam, ia terlebih dulu berpamitan pada wali kelas yang sudah mengantarnya. Ega memasuki ruang kelas yang kondisi meja dan kursinya terlihat cukup berantakan, belum jauh melangkah dari bibir pintu, beberapa sorakan dari murid laki-laki terdengar gaduh. "Haduh maraneh nya ... ningal nu herang wae langsung heboh!" (Haduh kalian ini ... lihat yang bening aja langsung heboh!) "Leres atuh Pak!" (Jelas Pak!) "Saha eta, Pak?" (Siapa itu, Pak?) "Neng geulis, saha namina?" (Neng cantik, namanya siapa?) "Ekhm ... tos, tos, jempe heula, ulah kitu ai ka jelema anyar teh!" (Ekhm ... udah, udah, diem dulu, jangan begitu sama orang baru!" Guru tersebut terlihat serius mengambil alih kendali isi kelas. Beberapa murid memberikan reaksi kecewa mereka terhadap respon guru itu. "Mangga Ega ... nepangkeun heula nya." (silakan Ega ... perkenalan diri dulu ya.) Ucap guru tersebut to the point. Ega mengangguk, dia berjalan di tengah kelas dengan kikuk karena tatapan semua yang berada di sana tertuju padanya. Dia menatap teman-teman barunya, beberapa murid tersenyum ke arah nya. Ega mengambil napas mengusir rasa groginya. "Halo.. Nam--" "Haiii ...." Jawab yang lain dengan kompak, sampai menghentikan pembicaraan Ega. Ega menyunggingkan senyum, setelah kondisi cukup tenang, dia kemudian melanjutkan. "Nama saya Ega Camellia, asal dari Jakarta Timur. Saya kurang pandai berbahasa sunda tetapi semoga kita tetap bisa berteman. Terima kasih." Ucapnya dengan satu tarikan napas. Beberapa orang mengangkat tangannya, hendak mengajukan pertanyaan. "Tos kepo na ke wae nya, ayeuna mah urang lanjut heula diajar na." (Keponya nanti aja, sekarang kita lanjut belajar dulu.) "Yah ...." "Bapak kumaha sih!" (Bapak gimana sih!) Sorakan kecewa dari siswa yang mengangkat tangannya tadi membuat guru itu terkekeh. Ia kemudian menatap siswi baru yang masih terlihat bingung mematung di depan kelas. "Untuk Ega silakan duduk dimana pun yang dimau dan mengikuti pelajaran seni saya. Asal jangan di luar aja, nanti akan saya absen." Ega menyunggingkan senyum. "Iya. Terima kasih Pak..." Ega berjalan pelan mencari kursi kosong, ia berhenti sejenak di kursi kosong baris kedua, tidak ada orang tetapi ada tas hitam yang menempati kursi itu, dia melangkahkan lagi kakinya mencari tempat kosong yang benar-benar tidak berpenghuni, setelah hampir berada di ujung belakang kelas, dia endapatkan kursi di baris ke empat hampir di belakang. Di kelas itu mereka memiliki meja yang hanya dipakai untuk satu orang, jadi tidak ada istilah teman satu meja, hanya ada teman meja di sekitarnya. Setiap ruang kelas memiliki 30 meja dengan posisi meja 6x5. Ega menempati kursinya, ia mengeluarkan satu buku dan tempat pensil dari dalam tasnya. "Nah maneh, nu dinobatkeun jadi student king of the music tea, ulang deui cik maen na." (Nah kamu, yang dinobatkan jadi student king of the music, coba ulang lagi mainnya.)" Ucap Pak guru seni kepada siswa yang duduk di ujung kelas sambil memegang gitar akustiknya. Ega menaikkan kedua alis, dia menatap ke depan, ternyata ada orang lain di ujung depan sana, Ega tidak menyadari saat ia pertama kali masuk. Ega asyik memandang kosong ke arah siswa itu sampai tak di sangka siswa itu pun tengah menatap Ega membuat mereka berkontak mata cukup lama, Ega merasa dirinya tertarik masuk ke dalam tatapan sendu dari siswa itu, sampai kemudian siswa yang disebut sebagai student king of the music menunduk menatap senar gitarnya. Melodi gitar kemudian terdengar, disusul dengan suara riuh para siswa yang menyaksikan pertunjukan tunggal itu, tak sadar Ega pun terlarut dalam lagu yang dibawakan salah satu teman barunya. Ia tidak tahu banyak mengenai lagu, ia begitu tuli nada. namun alunan gitar tadi mampu membuat hatinya yang was-was menjadi lebih tenang. Waktu berlalu begitu cepat, Ega menyaksikan berbagai penampilan teman-temannya dengan alat musik yang berbeda. Beberapa kali juga Ega tersenyum karena interaksi sang guru dengan siswa yang sedikit nyeleneh. Bel pergantian pelajaran pun berdering. Para siswa bersorak riang karena ujian harian mata pelajaran seni baru saja berakhir, setelah guru seni menutup mata pelajarannya dan berlalu dari kelas, beberapa orang berhambur mengerubungi tempat duduk Ega. Mereka mulai mencecar pertanyaan padanya, namun begitu Ega menjawabnya dengan ramah dan tersenyum hangat. "Salam kenal. Gue Hani, ketua mata pelajaran disini. jadi kalau ada materi yang lo ga bisa, lo bisa tanya ke gue, nanti gue carikan materinya." Ucapnya tersenyum manis. Ega tersenyum. "Makasih ya ...." "Ketua kelas nya lagi ikut olimpiade, jadi nanti kalau lo mau keliling sekolah lo bisa minta bantuan gue atau teman-teman yang lain." Ucap laki-laki berkacamata yang ikut berkerumun mengelilinginya. "Oke, makasih ya .... " Ega tidak tahu lagi harus menjawab bagaimana, namun ia bersyukur karena teman-temannya sangat menyambut kedatangannya. "Halo, gue Vano." "Hai." "Lo sama sekali nggak bisa bahasa sunda?" Tanya laki-laki itu. Ega menggeleng pelan. "Tenang aja nanti gue ajarin pelan-pelan." Hani lebih dulu menimpali sambil tersenyum manis. "Iya, kalo lo butuh bantuan gue juga bisa bantu." Ucap Vano. Ega mengangguk-angguk. Beberapa orang sudah mulai duduk di tempat mereka, namun masih banyak juga yang ingin berbincang dengan siswi baru itu. Ega menjawab mereka dengan tenang, namun sekali lagi, mata Ega menangkap satu murid yang duduk dua baris di depannya, disaat yang lain mendekatinya laki-laki itu tetap fokus pada gitar di pangkuannya, letak tempat duduknya yang jauh di belakang membuat Ega hanya bisa menatap punggung siswa itu di sela-sela orang yang mengerumuninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD