CHAPTER SATU

2130 Words
            Fabian mengerang di atas ranjangnya saat mendengar ponselnya berdering nyaring. Tanpa membuka mata, ia meraba nakas dan mencari benda pipih itu. Setelah mendapatkannya, ia menslide layar lalu menaruh benda itu ke sebelah telinganya.              "Assalamualaikum." Suara di seberang menyapanya. Fabian bergumam pelan.              "Kamu taruh mana sepatu ku yang motif batik itu." suara di seberang terdengar jengkel. Fabian bangun dari tidurnya lalu melirik meja kecil di kamarnya. Sepatu yang di cari gadis itu ada di sana.              "Kenapa nanya sama aku?" tanya balik laki- laki itu              "Kamu pasti yang ngumpetin kan? Ndak mungkin sepatu itu hilang sendiri. Sama kayak waktu kamu ngumpetin kunci mobil pak Wiryo dan centong nasi mbok Asih. Ayo ngaku."              Fabian menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tertawa, membuat orang di seberang kebingungan.              "Ndak usah ketawa, aku ndak lagi ngelawak." Omel gadis itu. "Pokoknya kalau dalam lima belas menit kamu ndak sampai di sini dan bawa sepatu itu. Aku akan ngadu sama Budhe kalau kamu biang keladi kerusuhan di rumah ini." Tanpa mengucapkan salam, gadis itu menutup panggilan. Fabian menatap layar ponselnya lalu bergegas menuruti permintaan gadis itu.  ***              Elisa menumpu satu kakinya ke kaki lainnya, tangannya mengetuk- ngetuk meja kaca di sebelahnya dan matanya berkali- kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.  "Lho, ndhuk, belum berangkat?" tanya Widya yang baru saja keluar dari rumah.  "Dereng, budhe." Jawab gadis itu.  "Memangnya ndak telat? Udah siang gini." Elisa menatap Widya yang sudah berpakaian rapi lalu menggeleng sambil tersenyum.  "Ya sudah, budhe berangkat dulu ya. Ada janji mau ambil barang." Kata wanita itu saat melihat mobilnya sudah ada di depan.  "Nggih, hati-hati budhe." Kata Elisa sambil menatap mobil hitam itu hingga menghilang di balik gerbang.  Ia melirik jam tangannya lagi, sudah sepuluh menit dan batang hidung laki- laki itu belum juga terlihat. Ia tahu bahwa rumah laki- laki itu mungkin jauh dari rumahnya, tapi laki- laki itu sudah keterlaluan dan harus diberi sedikit pelajaran.  Dua menit sebelum waktu yang diberikannya habis, ia melihat motor besar Fabian memasuki gerbang dan memekik di depannya.  "Pagi, Ajeng." Sapa Fabian sambil membuka helmnya. Elisa menghampiri Fabian lalu menampakkan raut wajah jengkel.  "Mana sepatuku?" Tanya Elisa tanpa basa- basi.   Fabian memberikan plastik berisi sepatu ke arah Elisa yang langsung menatapnya garang.  "Kamu tuh sejak kapan sih jadi klepto. Hobi kok ngambil- ngambil barang orang lain." Keluh gadis itu sambil memakai sepatunya.  "Enak aja, aku tuh nggak ngambil, nanti juga di balikin lagi."  "Terserah, yang jelas, kamu sudah bikin aku pusing pagi- pagi " Katanya, "Pak Wiryo, ayo berangkat pak." Gadis itu sedikit berteriak pada supirnya yang sedang duduk tak jauh dari beranda rumahnya.  "Aku yang antar aja." Tawar Fabian sambil menepuk jok belakang motornya.  "Ndak mau, terakhir aku naik motor sama kamu, aku hampir kejengkang. Aku masih sayang sama nyawaku." Gadis itu melirik sinis pada Fabian lalu menatap Fabian dari atas sampai bawah. Laki- laki itu terlihat berantakan lebih dari biasanya. Hanya memakai kaos dan celana pendek dengan rambut acak- acakan, ia bahkan bisa melihat garis- garis bekas bantal di pipi sebelah kanan laki- laki itu. Fix, laki-laki itu belum mandi.  "Kalau mau keluar rumah itu mbok yo mandi dulu. Udah wajah pas- pasan, jorok lagi." Kata Elisa.  "Lah, siapa yang nyuruh buru- buru ke sini?"  "Siapa suruh sudah siang begini masih tidur. Kamu tahu ndak pepatah kalau bangun siang, rejekimu bisa di patok ayam."  "Rejeki udah ada yang ngatur."  "Gimana gusti Allah mau ngatur rejekimu kalau kamunya aja ndak mau diatur." Jawab gadis itu telak. Ia masuk ke mobilnya dan meninggalkan Fabian yang masih termangu.  Fabian menatap mobil legam itu keluar dari gerbang besar itu. "Kebanyakan gaul sama Lala sama Wina tuh anak. Makin hari omongannya makin pedas aja."    ***              Elisa tidak habis pikir bagaimana mungkin ada makhluk seperti Fabian. Laki- laki itu semakin hari semakin menjengkelkan. Ada saja tingkahnya yang diluar nalar manusia. Kalau saja ia tidak punya belas kasihan, ia pasti sudah membujuk Widya untuk memecat Fabian sebagai guru les Ervan dan membeberkan segala macam kelakuan Fabian yang membuat kesal semua orang.              Turun dari mobil, langkah kaki Elisa membawanya ke kantin, di mana ketiga temannya sudah berkumpul. Dan bertapa terkejutnya ia saat melihat Fabian tersenyum diantara teman- temannya, menunjukkan lesung pipi yang sama sekali tak menarik buatnya.              "Ngapain kamu di sini?" tanya Elisa yang langsung lalu duduk di samping Made.              "Masih pagi, El. Lo abis sarapan mercon ya? Galak amat." Kata Lala sambil mengigit bakwan jagung.              "Dia ini makin hari makin hobi bikin masalah." Kata Elisa sambil melirik Fabian dengan sinis. Fabian tersenyum sementara ketiga temannya terkikik geli.              "Itu usaha namanya, El." Timpa Wina.              "Usaha itu yang menghasilkan uang. Bukan malah ngumpetin barang- barang orang." Gadis itu melipat kedua tangannya di depan d**a sementara yang lainnya tertawa. "lagian kamu tuh apa ndak ketemu satpam di depan? Bisa- bisanya dia biarin orang kayak kamu masuk ke kampus."              Lala, Wina dan Made menatap Fabian lalu mengangguk. Setuju pada pendapat Elisa.              "Bener juga, Fa. Lo jadi cowok kok ya kebangetan jorok. Masih kayak gembel kok sudah keluar rumah." Kata Wina yang langsung mendapat pelototan tajam dari Fabian.              "Gue kayak gembel juga gantengnya sudah maksimal." Jawabnya bangga. Membuat yang lainnya langsung menunjukkan raut wajah jijik. "Nih, gue cuma mau ngantar ini." Laki- laki itu mengeluarkan buku dari kantong plastik yang dibawanya.              Elisa menatap buku itu lalu melirik Fabian. Itu buku pajak miliknya.              "Apa? Mau bilang kalau aku ngambil barang kamu lagi? Ini kamu tinggalin di meja di halaman rumah tadi." Jelas Fabian sebelum Elisa kembali menuduhnya yang tidak- tidak. Elisa tersenyum lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mengambil buku materi pajak itu lalu memasukkannya ke dalam tas.              "Minta maaf lo, El." Suruh Lala.              "Iya maaf." Katanya lirih.              "Maaf doang? Cium kek gitu?" kata Fabian sambil mengerling genit.    ***                Selepas dari kampus Elisa, Fabian kembali ke rumahnya. Laki- laki itu menempati sebuah kontrakan tiga petak diantara dua puluh tempat yang dibagi menjadi dua lantai tersebut. Laki- laki itu tidak punya kegiatan saat siang selain mengajar Ervan, anak dari Budhe Elisa. Makanya, kalau tidak ada jadwal mengajar, ia akan menghabiskan harinya di dalam rumah. Tidur sepanjang hari sebelum akhirnya pergi bekerja saat malam.              Belum sempat ia tertidur pulas, ia mendengar pintu rumahnya di ketuk dengan keras. Matanya langsung menyalang dan mulutnya menyerukkan sumpah serapah. Dia tahu siapa yang mengetuk pitu rumahnya dengan sangat- sangat tidak sopan itu. Hanya Loreng yang punya sifat kurang ajar seperti itu.              Dengan langkah gontai, ia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Seulas senyum yang benar- benar tidak manis menyapanya.              "Loreng, berapa kali sih gue bilang, jangan ganggu gue di jam- jam segini." Keluh laki- laki itu sambil kembali ke dalam rumah dan menjatuhkan tubuhnya di sofa.              "Berapa kali sih gue bilang, jangan panggil gue Loreng." Kata laki- laki itu dengan nada tak kalah jengkel.              Loreng, bukan nama sebenarnya, dia bartender di klub yang sama di mana Fabian menjadi DJ. Dia lebih beken di panggil Tiger, tapi, Fabian lebih suka memanggilnya Loreng. Baginya, nama Tiger sama sekali tidak cocok untuk wajahnya yang cenderung pas- pasan. Laki- laki itu menghuni kamar atas dan selalu menjadi mimpi buruk buat Fabian saat pagi- pagi seperti ini.              "Nih, gue mau kasih kerupuk, makanan kesukaan lo." Kata laki- laki itu sambil menaruh kantong pastik di meja. Fabian bangun lalu membuka bungkusannya. Kerupuk dari Palembang.              "Siapa yang dari Palembang?"              "Tetangga baru gue yang kemarin gue ceritain. Dia Pilot dan abis terbang ke Palembang."              "Dia pasti nggak cuma ngasih kerupuk kan? Kenapa yang lo kasih ke gue kerupuknya doang?" Fabian menatap Loreng yang tertawa.              "Kan lo sukanya kerupuk." Jawabnya. Dia tahu salah satu cemilan favorit Fabian, segala jenis kerupuk. Laki- laki itu punya dua kaleng krupuk yang harus selalu terisi penuh. Pokoknya kalau makan, harus ada kerupuk. Kalau orang biasa bisa sariawan kalau terus menerus makan kerupuk, ini tidak berlaku pada Fabian. Makanya, Loreng sering menyebutnya 'Si lidah seng'.              "Tadi pagi gue sudah mau turun, tapi ngelihat lo sudah keluar gerbang. Kemana lo tadi pagi?"              "Dapet panggilan dari Nyi Roro Kidul." Jawabnya sambil menutup kepalanya dengan bantal dan mulai tertidur.              "Wah... dia pesugihan nggak ngajak- ngajak."    ***                Fabian mematut dirinya di cermin. Menatap penampilannya dengan sepotong kaos yang dilapisi jaket kulit dan celana jeans robek. Ia tersenyum lalu mengambil gel rambut di atas meja dan mengaplikasikannya ke rambutnya. Matanya menatap sebuah poster yang tertempel di kamarnya. Satu- satunya poster aktor India yang ia tempel di kamarnya.              "Kalau kulit gue agak iteman dikit, gue pasti udah mirip sama Shahrukh Khan." Katanya sambil menatap kaca dan merapikan rambutnya. Sebenarnya, ia tidak terlalu suka dengan kulitnya yang cenderung putih, ia lebih suka kulit sawo matang atau hitam karena baginya terlihat lebih 'laki'. Ia sudah sering berusaha menghitamkan kulitnya, mulai dari berenang siang bolong, berjemur di pantai sampai bermain layang- layang yang berpotensi membuat kulitnya yang putih menjadi hitam. Tapi perubahan kulit itu hanya bertahan seminggu, setelahnya kulitnya akan kembali memutih tanpa disuruh.              Setelah merasa ketampanannya bertambah berkali- kali lipat, ia mengambil kunci motor di atas meja lalu keluar dari rumahnya.              Sebelum bergegas ke tempat kerjanya, laki- laki itu mampir ke sebuah rumah yang sudah tak asing lagi buatnya. Kegiatan yang akhir- akhir ini dilakukannya sebelum berangkat bekerja. Ia menghentikan motornya di gerbang samping sebuah rumah. Setelah melirik sekeliling dan meyakinkan diri bahwa keadaannya aman, ia memanjat gerbang dan mengendap- endap untuk mencari tangga dan naik menuju kamar Elisa.              Setelah mengetuk jendela kamar gadis itu beberapa kali, jendela besar atau pintu balkon itu terbuka setengah.              "Kamu lagi? Ngapain toh? Ganggu orang lagi belajar aja." Keluh gadis itu.              "Aku mau lapor. Mau kerja dulu." Jawab Fabian. Elisa menatap penampilan laki- laki itu dari atas sampai bawah lalu menggeleng pelan.              "Aku bukan pak RT. Jadi ndak usah lapor- lapor segala. Ndak penting juga buatku."              Laki- laki itu terkekeh ringan lalu menyisir rambut dengan jari tangannya. Ia tersenyum pada Elisa yang justru mengenyit.              "Kamu abis keramas pakai minyak jelantah ya? Rambut sampai klimis gitu. Jadi wong kok kebangetan jorok."              "Yasalam. Kamu bisa nggak sih sedikit aja lihat kegantengan aku."              Elisa menatap Fabian baik- baik lalu menggeleng pelan.              "Kamu mau ikut nggak?" tanya Fabian.              "Ndak mau. Kamu ndak lihat berita, lagi banyak gangster. Bahaya."              "Jangan takut. Kan ada aku."              "Oh iya, lupa. Kamu kan ketua gangsternya, ya." Kata Elisa sambil menutup pintu dan melambai pada Fabian yang mengerucutkan bibirnya.    ***                Wina menatap malas ke laki- laki yang ada di depannya. Ia melipat kedua tangannya di depan dad4 sambil melirik jam dinding di ruang tamu. Dia pikir, perjodohannya gugur karena laki- laki itu tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Tapi malam ini, ia terkejut melihat laki- laki itu berdiri di depan pintu rumahnya dengan seulas senyum tanpa dosa.              Laki- laki itu datang tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa tiga kotak martabak telur kesukaannya. Dua boks sudah adiknya bawa ke dalam sedangkan satu boksnya masih teronggok di depannya. Menggodanya dengan aromanya. Tapi, sudah hampir setengah jam dan Wina masih bergeming. Ia menahan dirinya untuk tak mengulurkan tangannya untuk mengambil satu potong martabak itu demi harga diri. Dia tidak ingin menerima suap apapun dari laki- laki itu karena sudah sejak awal ia memutuskan untuk menentang perjodohan mereka.              "Assalamualaikum." Mereka berdua menoleh ke asal suara. Seorang laki- laki sudah berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kearah keduanya.              "Eh, Made, masuk, Mad." Kata Wina sambil menepuk sisi sebelahnya yang kosong.              Laki- laki itu duduk dan melirik Ibnu yang terdiam. "Kok lo nggak bilang kalau lagi ada tamu?" kata Made.              "Ibnu sudah mau pulang kok, iya kan, Nu." Kata Wina seraya mengusir dengan halus. Laki- laki di depannya tampak menghela napas lalu berujar.              "Yaudah, gue pulang dulu. Salam buat tante Dara, ya." Kata laki- laki itu sambil berdiri lalu keluar dari ruang tamu.              Wina menghela napas lalu menyandarkan punggungnya di kursi.              “Sudah gini doang? Lo panggil gue ke sini cuma buat ngusir dia?" Made melotot pada wina sambil menarik ujung rambut gadis itu.              "Awww... sakit, Mad." Keluh gadis itu sambil mencubit lengan laki- laki di sebelahnya.              "Lo lagian aneh banget. Kenapa nggak dicoba dulu sih, lo lagi jomblo ini." Kata Made sambil mengambil satu potong martabak yang tersaji di atas meja.              "Gue akuin sih, dia memang ganteng. Tapi gue gengsi ah, masa hari gini di jodohin, kayak gue nggak laku aja." Keluhnya.              "Nyatanya memang belum laku, kan?" terang Made, membuat Wina langsung memukul pundak laki- laki itu.              "Lo pikir lo sudah laku? Lo juga jokar."              "Apaan tuh jokar?"              "Jomblo karatan." Jawabnya sambil tertawa.              "Sial4n."              Perhatian mereka berdua teralihkan saat mendengar suara ponsel keduanya berdenting.              Lala : Made, lo jadi ke rumah Wina? Mampir ke rumah pak Haji dong.              Made : Ngapain?              Wina : Ada apa dengan pak Haji, La?              "Perasaan gue nggak enak nih." Kata Made.              Lala : Haji Ardhana galau, burungnya hilang.              Wina tertawa keras sementara Made merengut.              Made : Terus gue suruh ngapain?              Lala : Hiburin pak Haji.              Made melirik sinis Wina yang masih tertawa di sebelahnya.              Made : Gue bukan laki- laki penghibur!!!  To Be Continue LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD