1. Sang Kupu Kupu

1657 Words
Enam belas tahun umurku saat ayah yang kusayangi pergi selamanya, meninggalkanku. Enam belas  tahun umurku saat aku memutuskan untuk kabur dari rumah karena ibu tiriku berniat menjualku kepada rentenir untuk membayar hutang hutang yang dimilikinya. Namaku Kyra, dan dongeng ini adalah kisah hidupku. *** Kubuka laptop bekas yang kubeli beberapa tahun yang lalu dan memencet tombol untuk menyalakannya. Karena usianya yang sudah uzur, perlu waktu sekitar 15 menit untuk laptop itu menyala dan siap dipakai. Sementara menunggu, aku berjalan ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Aku sedang mengaduk larutan kecoklatan di dalam gelasku ketika handphoneku bergetar di atas meja dapur. Ku lirik sekilas nama yang muncul di layar, Bobby. Tanganku menyambar handphone dan menekan tombol yang berkedip hijau sebelum menyahut. “Hei Bob!” “Kyra!” Sebuah suara memanggil namaku. “Aku ada jadwal buatmu malam ini. Bisa nggak?” “Siapa? Jam berapa?” “Langg*anan mu, Ken Norman. Ditempat biasa jam 6.” Kulirik jam di dinding yang masih menunjukkan pukul 2 siang. Masih ada waktu bagiku paling tidak 2 jam sebelum aku harus bersiap siap. “Ok. Akan ku terima.” jawabku. “Bagus! Akan kuberitahu padanya. Ku Jemput kamu jam 5:30.” jawab Bobby sebelum mematikan sambungan. Aku letakkan kembali handphone ke atas meja dapur sebelum mengangkat gelas kopi yang barusan kuseduh dan membawanya ke meja makan, meletakkannya ke sebelah laptop ku yang sudah menyala. Kubuka program Ms word dengan dua kali klik sambil memikirkan kehidupan apa yang akan dialami oleh tokoh dalam ceritaku hari ini. Kehidupan yang menarik dan penuh petualangan tentunya. Kehidupan dengan orang orang yang mencintainya. Sesuatu yang kini tidak lagi kumiliki. Aku selalu teringat cerita pertama yang kutulis mungkin saat aku masih kelas 5 atau 6 SD. Sebuah fanfiction dari film anime jepang yang menjadi serian favoritku kala itu. Kutambahkan seorang karakter di cerita. Seorang ksatria wanita yang kekuatannya tidak kalah tanggung dari sang tokoh utama yang menjadi idolaku. Aku menghabiskan waktu berminggu minggu, berkutat dengan cerita yang kutulis menggunakan pensil di dalam buku tulis garis garis bersampul snoopy itu. Setelah karyaku selesai, dengan bangganya kutunjukkan ceritaku ke pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahku. Entah karena tertarik oleh ceritaku atau hanya tidak ingin menyakiti hati anak majikannya, wanita itu tampak terkesan dan memuji muji hasil tulisanku yang katanya bagus sekali. Respons dari wanita yang aku tidak ingat namanya itu jugalah yang menjadi salah satu alasanku masih meneruskan hobi menulisku. Lagipula bukankah ada pepatah mengatakan: “A reader lives a thousand lives before he dies, the man who never reads lives only one.” Yang artinya, orang yang suka membaca akan melewati ribuan kehidupan sebelum dia meninggal, tapi orang yang tidak pernah membaca, hanya melewati satu kehidupan. Sekarang, bayangkan bila kau adalah penulis ceritanya. Bukan hanya melewati ribuan kehidupan, tapi kau jugalah yang mengontrol segalanya. Perjalanan hidup tokohmu, orang orang yang ada di sekeliling mereka, bahkan akhir perjalanan mereka. Setidaknya menulis membuatku menemukan pelarian dari kehidupanku yang terasa lepas kendali dan menyedihkan, walau hanya sejenak. Apalagi beberapa saat yang lalu aku menemukan sebuah platform online yang bisa kupakai untuk membagikan ceritaku ke dunia maya untuk siapapun yang berniat membacanya. Walau tidak menghasilkan uang, aku lumayan puas bisa berbagi selingan kehidupan kepada siapapun yang mencarinya. Karena menulis adalah sesuatu yang kulakukan untuk menghibur diriku sendiri. Tanganku masih mengetik di atas laptop yang mulai terasa panas.  Sebaiknya buru buru kusimpan cerita ini sebelum perangkat ini tiba tiba mati, pikirku sambil memencet tombol save. Sinar matahari sudah mulai terlihat oranye memasuki sisi jendela apartemenku yang kotor. Kulirik lagi jam yang menempel ke dinding. Sialan sudah jam 5?! Buru buru aku mematikan laptopku dan berlari ke kamar mandi. Usai mandi aku berdiri di depan cermin memoleskan lipstik ke bibirku yang agak pucat mungkin karena kurang tidur. Ku tatap sekali lagi penampilanku yang memakai lingerie tipis sexy dan celana dalam berwarna pink senada yang sebenarnya tidak mampu menutupi lekuk tubuhku sama sekali. Sosok seksi perempuan berumur 22 tahun menatap balik dari cermin. Tubuhku tidak terlalu tinggi tapi langsing. Kurus tapi bukan berarti tidak memiliki lekukan tubuh. Wajah mungilku terlihat sedikit tidak proporsional dengan mata ku yang lebar.  Tapi untung lah bibirku yang tebal menyeimbangkan rasio wajahku agar terlihat tidak berat diatas. Tidak bermaksud sombong, tapi aku mengerti kenapa banyak pria yang menginginkanku. Dan dengan harga yang cocok, mereka bisa menghabiskan beberapa jam meniduriku. Aku selalu memuaskan fantasi apapun yang diinginkan tamu-tamuku. Seperti malam ini, Mr Norman selalu suka dengan Sugar baby- Daddy fantasinya. Dan itulah yang akan aku perankan malam ini. Kuraih jaket panjang dari dalam laci sebelum memakaikannya ke tubuhku menutupi lingerie pink yang kupakai. Handphone Ku bergetar ketika kuraih stiletto hak tinggi dari bawah ranjang. Kujinjing sepatu bertali itu di satu tangan sementara tanganku yang satunya meraih handphone dari atas meja. “Sebentar, Bob. Aku segera turun.” jawabku kemudian memasukkan handphone ke dalam tas dan memakai sepatu bertali sebelum berlari keluar menjinjing tas kecil di bahuku. “Apakah kamu sudah sisiran?” tanya Bobby menatap wajahku ketika aku menghempaskan tubuhku ke dalam mobilnya. Aku melirik pantulan rambutku yang dicat warna ash grey  ke cermin yang ada di balik pelindung matahari mobil sambil menyisirnya dengan jemariku. “Hah..? Inikan model sexy beach waves yang kekinian.” ujarku membela diri tanpa mengakui kalau aku terlalu asik dengan hobyku sehingga lupa waktu. Bobby hanya memutar bola matanya mendengar jawabanku. Pria bertubuh gempal itu sudah kukenal sejak aku kabur dari rumah 6 tahun yang lalu. Entah karena alasan apa, pria itu selalu bersikap baik padaku. Bobby yang saat itu bekerja sebagai tukang pukul atau ‘bouncer’  di sebuah karoke plus-plus, membantuku mendapatkan pekerjaan pertamaku sebagai penerima tamu. Mungkin karena umurku yang masih muda atau kepolosan wajahku, banyak dari para tamu karoke yang menggoda dan bahkan memaksa ku untuk menemani mereka di dalam bilik. Untung saja Bobby selalu ada, siap mengintimidasi siapapun yang berani mengganggu. Tak lama, karena koneksi dan sifatnya yang bisa dipercaya, beberapa wanita memintanya untuk menjadi ger*mo bagi mereka. Bobby pun setuju dan memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai bouncer dan menjadi seorang ger*mo. Aku berumur hampir 19 tahun waktu  Bobby menawarkan jika aku berminat untuk bekerja untuknya sebagai tukang buku. Aku bersedia. Setiap hari kucatat penghasilan 8 wanita yang saat itu bekerja untuknya dan jumlah uang yang mereka hasilkan membuatku iri. Sudah beberapa kali mengalami percobaan perkosaan, aku memutuskan jika ada orang yang akan mengambil keuntungan dari tubuhku. Paling tidak aku mendapatkan bayaran sebagai gantinya. Ditambah permintaan dari rumah untuk kebutuhan adikku yang hendak masuk SMA, membuatku harus menghasilkan biaya tambahan secepatnya. Aku masih ingat percakapan kami waktu itu. Aku meminta Bobby untuk mencarikan pelang*gan yang bersedia membayar tinggi untuk keperawananku. Mungkin karena sudah menganggapku seperti adik sendiri, pria itu awalnya menolak. Setelah mengancam akan melakukannya sendiri, barulah dengan berat hati dia setuju. Bekerja sebagai tukang pukul plus ger*moku, Bobby selalu menemaniku ke setiap pertemuanku dengan langganan dan memberiku nasehat cara menjaga diri agar tetap aman ketika bekerja. Seperti yang di lakukannya hari ini. Pria itu mengemudikan mobil menyusuri deretan gedung gedung tinggi perkotaan. Sebuah mobil menyalip dari sisi kanan dengan jendela terbuka menampakkan seorang gadis seumuranku di belakang kemudi. Bibirnya bergerak gerak berbicara dengan senyum mengembang sambil melirik ke arah pria yang ada di kursi penumpang. Tangan sang pria bersandar pada dudukan kepala kursi gadis itu mengelus rambutnya dengan jempolnya sambil tertawa. Pikiranku kembali berlayar ke dalam alam buatanku dimana diriku berpindah tempat dengan gadis itu dan tersenyum kecil merasakan belaian yang dirasakannya. “Melamun lagi, Ky? “Shh.. Jangan merusak cerita yang sedang terjadi di kepalaku.” sahutku gusar. “Seharusnya kau coba untuk menjual cerita ceritamu itu. Daripada kau bagikan cuma cuma di website itu.” “Ah..mana ada sih yang mau membayar bacaan yang ditulis anak yang bahkan tidak lulus SMA? Lagian kan aku sudah mempunyai pekerjaan tetap bergaji tinggi dengan jam fleksibel. Kurang apa coba?” candaku. Bobby merengut mendengar perkataanku yang tidak lucu menurutnya. “Sebagai ger*mo mu aku tentu saja tidak menganjurkan mu untuk  berhenti dari profesi ini karena jujur saja kamu adalah satu satunya wanita dalam naunganku yang laku. Raina sudah tua, dan Mimi semakin lama semakin gendut. Tapi sebagai teman, aku tentu saja menginginkan kehidupan yang lebih baik dari ini untukmu.” Aku tertawa kecil mendengar ceramahnya membuat pria itu semakin merengut. “Kau tidak pernah serius kalau di kasih nasehat. Terserahlah..” jawabnya ketus. “Ayolah.. Jangan ngambek. Aku akan memikirkan ucapanmu. Hei .. siapa tahu suatu hari nanti salah satu langga*nanku ternyata seorang penerbit.” ucapku yang hanya dijawab oleh geraman dari pria itu. Mobil berbelok memasuki pintu depan hotel yang menjadi salah satu lang*ganan yang sering dipakai oleh para p*ria hidung bel*ang ketika mereka ingin mendapatkan privasi ketika menyelingkuhi istri mereka dengan simpanannya, atau menyewa pel*acur sepertiku. “Aku tunggu di lobby, kabari aku terus.” pesannya sebelum aku turun dari mobil. Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam lift sementara Bobby mengemudikan mobilnya ke basement mencari tempat parkir. Seorang satpam menahan pintu terbuka sambil mengembangkan sebuah senyuman genit ke arahku ketika aku berjalan masuk ke lobby,mungkin mengenaliku karena ini bukan pertama kalinya aku berkeliaran di hotel ini. Aku tersenyum balik ke arah pria itu sebelum menghampiri meja resepsionis dan menanyakan kamar atas nama Ken Norman. Wanita di balik meja resepsionis mengetikkan komputernya sebelum mengangkat telepon menekan ke nomor kamar Ken Norman. “Ada seorang mencari bapak, atas nama…” Wanita itu menatapku dengan alis terangkat. “Krystal” jawabku menyebutkan nama alias yang kupakai untuk langganan lang*gananku. “Krystal, pak. Oh..baik..baik pak.” jawabnya kemudian menutup telepon dan memberikan sebuah kartu kunci masuk kamar 206. Kusambar kartu itu dari atas counter resepsionis dan berjalan menuju lift sambil mengetikkan pesan ke Bobby memberitahukan no kamar yang kutuju. *** Note: Yang mau lanjut baca silahkan tekan tanda HATI ungu yang ada di dekat sampul ya. Ketik juga pen name author D.F.E di kolom pencarian untuk melihat cerita lain yang dikeluarkan author. Mohon dukungan HATI nya untuk cerita dengan judul TITANIUM milik author yang akan dilombakan. Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD