Bab 1

2007 Words
Malam itu, seorang lelaki tengah mempersiapkan segala sesuatu yang akan ia butuhkan di esok hari. Jonathan Ardilan, itulah nama dari lelaki itu, orang-orang memanggilnya Ardi. Esok hari adalah hari pertama ia masuk ke jenjang SMA, karena itu ia harus mempersiapkannya lebih dulu segala sesuatunya. "Bu...." Suara Ardi memanggil ibunya. Nampaknya tak ada jawaban dari sang ibu, ia kemudian mencari ibunya dari ruang ke ruang. Dan alhasil ia menemukan ibunya di kamarnya sendiri. Nampaknya sang ibu sedang bersedih sambil menatap foto seseorang. "Sudahlah Bu...," ucap Ardi sambil mengelus-elus punggung ibunya. "Aku janji akan menemukan Kak Lita, Bu," ucap Ardi menenangkan ibunya. "Tapi, kamu tak pernah melihat wajah kakakmu, Ardi, mana mungkin kamu bisa menemukannya," jawab sang ibu. "Biarpun tak pernah lihat, tapi ikatan sepasang saudara itu akan terasa kan, Bu? Aku juga melihat perjuangan ayah dan Kak Heri dalam mencari Kak Lita, apa mereka juga tau wajah Kak Lita? Kata ibu Kak Lita sudah hilang sejak ia masih balita," ucap Ardi panjang lebar yang hanya dibalas dengan senyuman ibunya. Ardi adalah anak terakhir dari 3 bersaudara, ia mempunyai seorang kakak laki-laki yang merupakan kakak tertua dan juga seorang kakak perempuan yang kini tak tau di mana keberadaannya. Kejadian hilangnya sang kakak terjadi ketika Ardi kira-kira baru berusia 4 tahun. Flashback Waktu itu sang ibu tengah bermain-main di taman dekat rumah bersama kakak perempuannya Ardi, namun sebuah kejadian tidak menyenangkan datang di kala datang 2 orang bertopeng yang mengendarai mobil jeep. Mereka memaksa ibunya Ardi untuk menyerahkan anaknya kepada mereka. Hingga akhirnya sang ibu pun tak mampu mempertahankan anaknya. Teriakan-teriakannya pun tak berguna dikarenakan sepinya tempat itu. Mengingat tak ada yang bisa menolongnya, ia pun berusaha sendiri untuk mendapatkan anaknya kembali. Namun tenaganya masih cukup lemah untuk melawan 2 orang bertubuh besar itu, ia pun terjatuh, kepalanya membentur batu hingga membuat ia pingsan. Di kala ia tak sadarkan diri, barulah para warga datang untuk membawanya ke rumah sakit. Ketika sang ibu sudah sadar, betapa paniknya ia, nama anaknya selalu dipanggil yang membuat para warga bertanya-tanya hingga kemudian ia menceritakan kejadian itu ke warga. Para warga pun seolah-olah tak percaya dengan kejadian itu. Mereka pun berjanji akan membantu sebisa mungkin. "Bu Ratih, kami janji akan bantu cari Lita sebisa kami bu, sekarang telpon Pak Ahmad, Bu!" perintah salah satu warga. Bu Ratih pun menelepon suaminya, Pak Ahmad. "Assalamualaikum, pak... Lita pak... Lita," ucap sang ibu dengan panik lewat telepon. "Waalaikum salam... Lita kenapa, Bu?" tanya bapak yang ikut panik. "Lita diculik Pak," jawab sang ibu. Kepanikan melanda mereka berdua hingga sang ibu pulang dari rumah sakit dan sang bapak pulang dari kantor tempatnya bekerja. Wajah cemas terlihat dari keduanya ketika berada dirumah. Kepanikan itu bertambah di kala sebuah batu dilemparkan kerumah mereka, suara keras pun terdengar akibat benturan batu dengan pintu rumahnya. Mereka mencari asal suara itu dan menemukan batu yang dibungkus dengan selembar kertas. Dan didalam kertas itu tertera sebuah kalimat yang berbunyi.... "KALAU INGIN ANAKMU SELAMAT, SIAPKAN UANG 100 JUTA!" Itulah kata-kata yang ditulis oleh penculik itu, dibawahnya juga tertera nomor telepon pelaku sekaligus sebuah ancaman bahwa kalau sampai berani melapor ke polisi, maka mereka akan melakukan hal yang buruk kepada Lita. "Sial, b******n itu mempermainkan aku," ucap Pak Ahmad dengan nada marah. Pria bertubuh kekar itu benar-benar sangat marah sekaligus takut akan keadaan anaknya. Lagipula ia hanyalah manusia yang hidupnya sederhana, mana mungkin sanggup menebus anaknya dengan uang yang teramat banyak. Melihat nomor telepon yang tertera di kertas ancaman itu, ia pun tanpa basa-basi langsung menelepon para penculik itu. "Kembalikan anak saya!" bentaknya di telepon. "Sabar-sabar, apa uangnya sudah ada?" tanya si penculik dengan santainya. "Udah," jawab Pak Ahmad berbohong. "Bagus, sore nanti temui saya di depan gudang yang tidak jauh dari rumah anda, dan ingat, jangan bawa siapapun apalagi sampai lapor polisi. Kalau anda berani melakukan hal itu, maka jangan salahkan saya kalau terjadi apa-apa dengan anak anda," ancamnya sambil menutup telepon. "Dasar bajingan...!" umpat Pak Ahmad dengan sangat kesalnya. Untung Pak Ahmad bukanlah orang yang bodoh, ia meminta bantuan polisi, tapi tidak datang langsung bersamanya. Sore itu ia datang sendirian ke tempat perjanjian. Dan alhasil nampak 2 orang penculik bertubuh besar yang sedang menunggu kedatangannya, namun anehnya tak ada Lita disana. "Di mana anak saya?" tanya Pak Ahmad dengan nada membentak. "Sabar-sabar, uangnya dulu dong," minta salah satu dari penculik. "Saya tanya di mana anak saya?" bentak Pak Ahmad dengan penuh emosi. Namun tanpa diduga, tiba-tiba mereka melakukan p*********n terhadap Pak Ahmad yang membuat koper dalam genggamannya berpindah tangan, sebetulnya koper itu cuma berisi uang mainan, namun yang dipikirkan Pak Ahmad adalah anaknya. Untung para polisi yang dimintai bantuan bertindak cepat, dengan sigap mereka meringkus 2 penculik itu dengan cara menembak kaki pelaku. "Di mana anak saya?" tanya Pak Ahmad ketika mereka teringkus. Namun apa yang terjadi? Mereka hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun. Tindakan itu tentu membuat Pak Ahmad sangat marah. "Saya tanya sekali lagi, di mana anak saya?" bentak Pak Ahmad yang sudah terlanjur emosi. "Dia... Dia kabur saat kami akan membawanya ke tempat itu," Jawab salah satu pelaku. Tak peduli dengan para pelaku itu, Pak Ahmad langsung berlari mencari anaknya, bagaimana tidak panik, seorang anak yang berusia 5 tahun setengah harus berada didalam kerasnya jalanan. Berbagai tempat ia datangi, namun hasilnya nihil. Tak ada petunjuk bahwa putrinya ada disana, ia pasrah pada sang pencipta, berdoa agar tak terjadi apa-apa dengan putrinya. Akhirnya ia pun pulang dengan perasaan yang sangat gelisah. Hari-hari berikutnya ia terus mencari keberadaan putrinya, dengan bantuan polisi dan para tetangga. Namun tetap saja tak ada yang berhasil menemukannya, hingga bulan demi bulan, tahun demi tahun pun berlalu. Tak ada tanda-tanda tentang keberadaan Lita, entah bagaimana nasibnya di dunia sana. Ayah, ibu, kakak dan adiknya terus-terusan mencari tanpa henti sampai saat ini. Meski banyak orang telah mengatakan bahwa Lita telah dibawa oleh orang jahat dan dijual ke suatu tempat. *** Ardi kembali memandang wajah ibunya yang terus-terusan melamun dan bersedih sambil memandang foto kakaknya. Melihat hal demikian, tekadnya semakin kuat untuk bisa menemukan kakaknya. "Bu, percayalah padaku, aku pasti akan menemukannya," ucap Ardi sambil tersenyum dengan tujuan menenangkan ibunya. Sang ibu hanya tersenyum sesaat, kemudian kembali menampakkan kesedihannya. Ia adalah manusia yang paling merasa bersalah atas hilangnya Lita. Terkadang Ardi juga sangat prihatin dengan keadaan ibunya yang terus-terusan begitu. Pagi hari yang cerah, ia pun menyambut hari pertama ia masuk sekolah di sekolah barunya. Pastinya ia akan bertemu dengan teman-teman baru. Sekolah barunya memang cukup jauh dari rumahnya, dalam perjalanannya menuju ke sana, ia pun harus naik kendaraan dan kendaraan yang dipilihnya adalah angkot. Hingga beberapa menit kemudian ia pun sampai ke tempat tujuan. "Woy, sampai juga lo," sambut seseorang yang berada di pintu gerbang sekolah itu. "Gila, jauh juga jarak rumah gue ke sekolahan ini," ucap Ardi pada seorang pria berambut kribo itu. "Ha ha ha ha ha, sudah, jangan ngeluh terus!" ucapnya. "Iya Wan, terus lo ngapain berdiri di situ?" tanya Ardi sambil menunjuk tempat teman kribonya itu berdiri. "Nunggu matahari jatuh," Candanya sambil tertawa. "Dasar lo, ayo kita masuk!" ajak Ardi. Lelaki kribo itu adalah teman SMP Ardi. Bukan hanya teman SMP, tapi mereka sudah berteman semenjak mereka masih kecil, namanya adalah Awan. Di saat mereka memasuki gerbang sekolah itu, mereka telah melihat wajah-wajah baru. Kumpulan wajah yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Sesekali Ardi memandangi ruang-ruang yang nantinya akan ia tempati. Ia takjub dengan megahnya sekolahan itu. "Wan, naik yuk!" ajak Ardi pada Awan yang ia belakangi. Namun aneh, tak ada jawaban dari Awan, ia kemudian menghadap ke belakang, dan benar saja, Awan sudah tak ada di belakangnya. Sorotan matanya terus-terusan berkeliaran mencari keberadaan teman kribonya itu, dan alhasil ia melihat Awan sedang menggoda seorang wanita yang cantik jelita. Itulah kebiasaan Awan, tidak salah kalau ia disebut pria penggoda. Kenapa bukan playboy? Karena selama ia menggoda para wanita, tak ada satupun dari mereka yang mau menerima cinta dari seorang Awan. "Rumahnya di mana?" tanya Awan pada cewek itu. "Nggak jauh sih dari sini, kenapa nanya gitu?" tanyanya balik. "Enggak, cuma pengen tau aja, nanti kan kalau aku mau melamar kamu udah tau rumahnya," ucap Awan dengan gombalan mautnya. Cewek itu tak menanggapinya, tapi ia belum beranjak pergi dari hadapan Awan. Di saat yang demikian Ardi mendekati mereka berdua. Namun ketika ia semakin dekat dengan sang gadis itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Bagaimana tidak, wajar saja bila seorang lelaki mengagumi seorang gadis yang cantik jelita. Tapi ia tak menampakkan kekagumannya itu, meski sang gadis terus menatapnya yang membuat ia sedikit salah tingkah. Demi menghilangkan salah tingkahnya, ia pun mengalihkan pandangannya ke Awan. "Lo Wan, kebiasaan banget sih lo," ucap Ardi. "Cerewet lo, udah sono, ganggu gue aja!" ujarnya. "Udah yuk, ikut gue!" ajak Ardi, namun Awan tak mau mengikutinya, hingga ia pun terpaksa menyeretnya. "Syila, sampai ketemu lagi," ucap Awan ketika ia terpaksa mengikuti Ardi. Di hati Ardi terdapat keanehan yang teramat sangat, ia seperti merasakan sesuatu yang benar-benar sangat mengganggu. Tak tau perasaan apa itu, cinta? Tapi adakah cinta pada pandangan pertama. Kata orang-orang sebuah cinta itu butuh waktu untuk tumbuh. Harus ia akui kalau gadis itu benar-benar cantik, namun tak bisa diakui bahwa ia terlalu cepat untuk mencintainya. Mungkin itu hanyalah sebuah rasa kagum terhadap gadis itu. "Kenapa lo?" tanya Awan kepada Ardi yang tiba-tiba memecah keheningan. "Kenapa apanya?" tanyanya balik. "Kenapa lo kayak ngelamun gitu?" tanya Awan lagi. "Nggak apa-apa, udah yuk masuk kelas!" ajak Ardi menuju kelas baru mereka. Di ruangan itulah semuanya akan dimulai, sebuah perjalanan panjang dari kisah hidup seorang anak SMA. Sebuah ikatan baru akan didapatnya, ikatan itu adalah pertemanan. Di dalam sana nampak 2 orang yang tengah bercanda dan tertawa bersama tanpa menghiraukan yang lain. Sesekali mata salah satu dari mereka melirik para gadis yang sedang berkumpul. Itulah mata si pria penggoda, mata yang tak kenal akan sebuah dosa. "Hufff...," keluh Ardi "Kebiasaan kok nggak hilang-hilang," sambung Ardi. "Ternyata cewek-cewek di sini banyak yang cantik, ya," bisiknya. "Nampaknya gue harus mencongkel mata lo nih," ucap Ardi dengan nada kesal. "Ha ha ha ha ha, biasa aja dong!" balasnya. Tak lama kemudian, para siswa-siswi baru pun satu persatu memasuki kelas itu dan kemudian seorang guru muda berhijab dengan paras yang cantik masuk ke kelas mereka. Nampaknya ia adalah wali kelasnya. Wanita itu mengucap sepatah demi sepatah kata yang kemudian terangkai menjadi kalimat panjang yang membosankan. Di pojok bangku sana terdapat 2 lelaki yang tidak lain adalah Ardi dan Awan, seolah tak peduli dengan setiap kata yang diucapkan guru wanita itu, mereka berdua malah malas-malasan dengan meletakkan kepalanya di atas meja. Dan pastinya sebagai murid baru, mereka pun tak mendapat amarah dari gurunya. Hanya teguran halus lah yang mereka dapat. "Kalian berdua, tolong didengarkan ya kalau saya ngomong!" pinta dari sang guru dengan suara lembut. "Iya Bu," jawab Ardi sambil menegakkan kepalanya kembali yang kemudian diikuti oleh Awan. Mata Ardi menatap sekeliling, pemandangan yang belum sempat ia perhatikan dari tadi. Di bangku depan sana nampak seseorang yang seperti ia kenal. Ya, benar saja, ia adalah gadis yang ia temui sedang ngobrol bersama Awan pagi tadi, Syila namanya. Ia terus memperhatikan gadis itu tanpa memperdulikan apapun, termasuk setiap perkataan gurunya "Hey, lihat apa lo?" tanya Awan dengan nada pelan, namun bisa membuat Ardi tersadar dari pandangannya yang seakan menghipnotisnya. "Nggak apa-apa," Jawabnya. Namun Awan tak percaya dengan hal itu, ia memandang ke arah pandang Ardi, dan alhasil matanya menangkap sesosok wanita yang ia temui tadi pagi. "Lo suka ya sama dia?" Pertanyaan Awan yang mengagetkan Ardi. "Maksudnya?" tanya Ardi dengan wajah bingung. "Udah, nggak usah pura-pura. Kalau memang suka, bilang aja, ha ha ha ha ha," ucap Awan yang nampaknya telah menyadari tentang perasaan Ardi kepada Syila sembari tertawa menggelikan. "Apaan sih, gak jelas lo!" jawab Ardi dengan nada sedikit tinggi. Hari itupun berlalu, dan di hari itu mereka berdua mendapat teman-teman baru. Meski belum begitu akrab, tapi tetap bisa dipanggil teman. Dan di hari itu pula, seorang anak manusia tengah mengenal apa itu cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD