Little Story

901 Words
Pukul dua dini hari pria berjas hitam dengan rambut acak-acakan itu keluar dari lift. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju apartemen nomor 700. Dia menekan pin tidak sabaran, lalu bergegas masuk. Tak lupa dia menutup pintu dengan kaki yang tertutup sepatu fantofel hitamnya. Sepasang kakinya melangkah menuju sebuah kamar yang tertutup rapat. Dia membuka kamar itu pelan, takut membangunkan seseorang di dalam meski kedatangannya memang ingin membangunkan seseorang itu. Kedua tangannya bertolak pinggang menatap wanita yang sedang tidur tanpa selimut itu. “Untung gue yang masuk,” gumamnya kala melihat gaun tidur wanita itu terkesiap hingga menampilkan seluruh paha. Pria itu mendekat lalu berbaring di samping wanita itu tanpa melepas sepatu mahalnya. Kedua tangan kekarnya memeluk sang wanita dari belakang. Hidung dan bibirnya tidak mau tinggal diam, langsung menuju spot favoritnya, mencium pundak sang wanita. “Ugh! Gue tahu ini pasti kerjaan Verza!” gerutu wanita itu sebal karena tidur nyenyaknya terganggu. Verza menghentikan kegiatannya berganti mengeratkan pelukannya. Matanya menatap ke pintu balkon yang tertutup dengan pikiran menerawang. “Lo harus bantuin gue, Ren,” bisiknya. Wanita yang dipanggil Ren itu bergerak, hendak menoleh ke belakang. Namun, lengan kekar itu seolah enggan melepas pelukan itu. Pasrah, Rensha berbaring miring sambil berusaha melirik lawan bicaranya itu. “Bantu apa? Demi Tuhan gue tebak ini pasti tengah malem.” Mendengar gerutuan itu Verza terkekeh. Pelukannya mengerat, dagunya bertumpu di pundak Rensha membuat wanita itu bergerak karena dagunya yang lancip terasa menekan itu. “Minta tolong apa?” tanya Rensha berat hati. Verza melepas pelukannya,  sontak Rensha menoleh menatap wajah tampan dengan bulu halus di sekitar dagu itu. Tatapan mereka bertemu, Rensha menatap dengan seluas senyum, pun pria itu. “Usir teman kencan gue. Gue tebak beberapa menit lagi dia di apartemen,” jawab Verza. Mendengar penjelasan itu Rensha menghela napas berat. Dia mengubah posisi menjadi duduk menatap Verza yang berbaring nyaman di ranjangnya itu. “Sekarang siapa lagi yang harus gue usir?” Tangannya Verza terulur menyentuh lengan Rensha dan mengusapnya naik turun. “Yola. Temen kencan gue selama tiga hari.” “Dan gue tebak sekarang lo bosen ke dia?” “Lo emang tahu banget soal gue, Sayang.” Rensha menepis tangan Verza dari lengannya. Dia mendorong lengan itu, hingga pria itu hampir terjatuh dari ranjang. “Gue nggak mau nolongin lo!!” teriaknya. Verza turun dari ranjang, menatap Rensha memohon. “Ayolah. Cuma lo yang bisa ngusir teman kencan gue.” “Gak mau!!” “Ayolah tikus kecil. Bantu pangeran tampan ini.” Rensha melotot, hanya satu orang yang mengatainya saat butuh bantuan dan orang itu tentu saja Verza. Wanita itu mendekat mendorong d**a Verza. “Bukannya muji lo malah ngejek gue! Gue nggak mau nolongin!!” Verza terkekeh lalu menggenggam tangan Rensha yang terus berusaha mendorongnya itu. “Ayolah, Piggy,” pintanya lagi. Rensha melipat kedua tangan di depan d**a. Pria di depannya itu memang begitu, selalu memanggil dengan sebutan yang aneh-aneh. Bodohnya dia selalu membantu pria itu, meski sering dipanggil dengan berbagai macam. Mulai dari hewan, bunga, makanan atau apapun. “Sampai kapan, sih, lo mau kayak gini terus?” tanya Rensha membuat satu alis Verza terangkat. “Lo udah tahu jawabannya, kan?” “Sampai kapanpun,” jawab Rensha dengan senyum kecut. Verza mengangguk mantap lalu maju selangkah. Dia menunduk memberikan kecupan singkat untuk wanita di depannya, tak lupa dia mencium kening sebagai penutup. “Bantuin gue, Ren,” bisiknya lembut. Rensha menghela napas dengan bibir berkedut, selalu seperti ini ketika Verza meminta bantuannya, membuatnya bimbang sendiri. Dia lalu mendongak, menatap pria tampan yang terlihat memohon kepadanya itu. “Ya udah ayo,” putusnya. Sudut bibir Verza tertarik ke atas tahu kalau wanita di depannya itu akan selalu membantunya. Dia membantu Rensha turun dari ranjang, saat itulah dia ingat dengan apa yang dia lihat saat masuk kamar. “Ati-ati kalau pakai gaun tidur. Gue nggak pengen ada yang ngeliat.” Mendengar bisikan itu Rensha mendongak melihat Verza yang tersenyum penuh kemenangan itu. “Kalaupun orang lain liat tubuh gue lo juga nggak bakal peduli,” jawabnya lalu berjalan lebih dulu. “Pedulilah!” “Oh, ya?” tanya Renzha seolah tidak percaya. Verza mengangguk seolah ucapannya benar. Dia membuka pintu, menarik pundak Rensha agar ke apartemennya—di samping apartemen wanita itu lebih dulu. “Kalau berhasil ngusir, gue beliin tas,” bisik Verza tahu apa kesukaan Rensha. Rensha menghentikan langkah tak tertarik dengan bayaran dari pria itu. “Nggak perlu. Gue bisa minta dari teman kencan gue.” “Sejak kapan lo punya teman kencan?” “Lo nggak harus tahu tentang gue, kan?” selidik Rensha. Rensha berdiri membelakangi pintu apartemen. Kedua tangan wanita itu terlipat melihat bibir Verza yang tersenyum miring itu. Verza mendekat meneliti Rensha dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Emang kalau kencan lo biasanya ngapain?” “Check in,” jawab Rensha sekenanya. Jawaban itu membuat Verza tersentak, tidak percaya sahabatnya yang tidak banyak tingkah sudah berbuat semacam itu. “Lo nggak boleh kayak gitu. Kalau lo hamil gimana?” tanyanya dengan nada tinggi. “Apa peduli lo?” tanya Rensha menantang. Sebenarnya dia tidak pernah kencan, dia hanya ingin mengerjai pria di depannya. “Pedulilah. Lo sahabat gue.” Telinga Rensha seolah bosan mendengar kalimat itu. Namun, dia tidak bisa protes dan melakukan apapun, bertahun-tahun dia bertahan dengan Verza yang tidak memercayai cinta dan bergonta-ganti wanita. Sedangkan Rensha, hanya sebatas teman dan sebagian cerita di malam hari Verza, tidak lebih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD