Prolog

1111 Words
Seorang lelaki berbalut kemeja putih lengan panjang dengan celana pendek hitam nampak tengah terduduk di tepian ranjang. Matanya menatap kosong ke arah 6 kelopak lily berwarna putih yang terkumpul di atas lantai. Perlahan ia bangkit dari duduknya, melangkah menuju ke arah kelopak lily itu. Pun ia merendahkan tubuh, mengulurkan kedua tangan agar telapaknya bisa menampung kelopak tersebut. Kemudian ia kembali ke tempatnya semula, duduk di tepian ranjang sembari menatap 6 kelopak lily yang kini berada di telapaknya. Cairan bening mulai menetes membasahi pipi, pertanda kalau pelupuknya sudah tak kuat lagi membendung. Pada detik berikutnya ia mendapati secercah cahaya menyorot wajah, berasal dari pintu yang ada di hadapannya itu dibuka, menampilkan sosok berjubah hitam yang berdiri di ambang menatap lurus ke arah lelaki itu. Sementara si lelaki menyipitkan mata, mencoba melihat wajah yang ada di balik jubah itu. "Ini akan menjadi momen paling indah dalam hidup mereka." Ujarnya, sebelum pintu kembali ditutup, memenjarakan lelaki itu dalam gelap. Air matanya malah mengalir semakin deras, 6 kelopak yang semula berada di telapaknya pun berhasil lolos, mendarat berserakan di atas lantai. Lantas ia beringsut ke atas ranjang, meringkuk merasakan sekujur tubuh juga hatinya ditikam rasa sakit yang luar biasa. *** "Kita mesti kembali ke sana!" Seru Brian. Lelaki berwibawa yang memiliki jiwa pemimpin di antara ke-6 rekannya yang lain. "Tapi bagaimana kalau mereka tahu?" Tanya Deon, lelaki yang lebih dulu lahir di antara para rekannya. Kini ia berada di kamar Brian, tengah mendiskusikan hal yang amat penting ini secara 4 mata. "Memang semestinya mereka tahu, kecuali… anak itu. Anak itu tak boleh tahu!" Ujar Brian, matanya melirik ke arah buku tebal berwarna merah dengan tulisan "Omelas" pada sampul depannya. Deon menghela napas, "baiklah... Aku serahkan padamu!" Kata Deon, yang kemudian segera beranjak meninggalkan Brian yang masih bergelut dengan pikirannya. Brian mengusap wajah dengan kedua tangannya sendiri, "arghh! Kenapa ini semua bisa terjadi?!" "Apa ada masalah?" Sebuah suara dari ambang pintu berhasil membuat Brian sedikit terlonjak, lantas ia menoleh, didapatinya Aksa tengah berdiri menatap ke arahnya dengan lengan yang disembunyikan di balik saku. Entah sejak kapan lelaki berwajah datar itu berdiri di sana. "Oh, Kau?" "Aku baru saja melihat Kak Deon keluar dari sini dengan raut yang sedikit cemas, apa ada sesuatu yang terjadi?" Dilempar pertanyaan seperti itu oleh Aksa, Brian hanya mampu mengusap tengkuknya sendiri. "Ah, itu bukan hal penting!" Kata Brian beralibi. Namun, Aksa tentu menyadari kalau ada yang disembunyikan dari rekannya ini. Aksa memicingkan mata, menelisik jauh ke dalam tatapan Brian, sebelum akhirnya pandangan Aksa teralih pada sebuah buku yang tergeletak di meja kamar Brian. "Buku apa itu? Nampak sudah sangat usang." Ujar Aksa. Pun arah pandang Brian seketika tertuju pada buku yang Aksa maksud. "I-itu…" Belum sempat Brian menjawab, tangan Aksa sudah lebih dulu berhasil meraih buku tersebut, hingga kini berada dalam genggamannya. "Omelas," ujarnya kala membaca tulisan di sampul bagian depan buku. "Apa kau mendapatkan ini dari liburan kemarin?" Tanyanya lagi. "Aku akan membawanya dulu," Aksa membolak-balikkan buku yang berada dalam genggamannya itu. "Buku ini sangat tebal, nanti kalau sudah selesai membacanya akan segera kukembalikan!" Ujar Aksa. Tak ada yang bisa Brian lakukan untuk mencegah Aksa membawa buku itu. Entah kenapa lidahnya terasa begitu kelu, sehingga ia hanya diam membisu meratapi kepergian Aksa dari kamarnya dengan membawa serta buku itu. Helaan napas Brian terdengar sangat berat, lelaki itu beranjak ke atas ranjangnya, merebahkan diri kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. *** Sepintas tak ada yang berbeda dengan aktifitas keseharian dalam rumah 3 lantai yang dihuni oleh 7 orang lelaki itu. 7 orang lelaki yang sudah bersahabat sejak mereka tinggal di panti asuhan, yang mana ayah Deon menjadi salah satu donatur tetap di sana. Ya, Deon memang tidak ikut tinggal di panti, tapi ia rutin berkunjung bersama sang ayah sehingga akhirnya menjadi akrab dengan Brian dan ke-5 rekannya yang lain. Tiba di akhir pekan, mereka biasa menghabiskan waktu bersama-sama di rumah. Entah sekadar menonton film, bermain video game atau kadang juga memainkan permainan yang mereka buat sendiri. "Apa kau sudah bicara dengan mereka?" Tanya Deon, kepada Brian yang baru saja mengisi gelas kosongnya dengan minuman dari lemari pendingin. Brian menghela napas, "ini tidak mudah…." "Tapi kita juga tidak punya waktu banyak!" Seru Deon. Lagi-lagi helaan napas terdengar dari Brian, setelah sempat beradu tatap dengan Deon selama beberapa detik, Brian mengalihkan pandangannya. Dan tepat ketika ia menoleh, matanya bertemu tatap dengan Aksa yang entah sejak kapan berdiri dengan jarak 1 meter dari tempatnya berada. Menatap tajam ke arah Brian, kemudian tangan kanannya terangkat, menunjukkan buku yang dua hari lalu di ambilnya dari kamar Brian. "Kau bilang ini tidak penting, Brian?" Ucap Aksa yang memang nada bicaranya selalu terkesan dingin, tapi kali ini rasanya lebih menusuk. Brian kikuk, pun ia kembali beradu tatap dengan Deon, sebelum akhirnya mereka berdua menoleh serentak ke arah Aksa. "Ikut aku!" Seru Deon, yang kemudian melangkah menuju tangga dan menapakinya satu persatu, meninggalkan rekan-rekannya yang lain di lantai bawah yang sedari tadi terdengar heboh. Namun, satu di antara mereka ternyata menyadarinya, Mirza, si pemilik senyuman kotak itu sedari tadi memerhatikan gerak-gerik ketiga rekannya yang terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang tentunya tidak ia ketahui. Lantas Mirza pun membuntuti ketiganya yang telah hilang di balik pintu menuju atap rumah. Perlahan Mirza menapaki anak tangga, dan memindik-mindik mendekatkan telinganya pada pintu itu. Namun, ketika sedang berkonsentrasi berusaha mendengarkan pembicaraan ketiga rekannya, tiba-tiba saja sebuah telapak tangan berhasil mendarat di pundaknya, membuat Mirza tersentak akibat terkejut. "Kau sedang apa?" "Ssstt!" Mirza membekap mulut lelaki bertubuh mungil yang mengejutkannya itu. "Pelankan suaramu, Nevan! Aku baru saja melihat Kak Brian, Kak Deon, dan Kak Aksa seperti tengah membicarakan hal yang sangat serius, kemudian mereka bertiga menuju ke atap!" Tutur Mirza dengan suara beratnya yang berbisik. "Begitukah? Ah sudahlah biarkan saja! Aku dan Darel akan bermain video game apa kau mau ikut?" Ajak lelaki bernama Nevan itu. Lantas raut Mirza berubah menjadi sumringah seketika, kemudian mengangguk dengan sangat antusias dan pergi mengikuti langkah Nevan untuk bermain video game seperti yang ia katakan sebelumnya. "Kenapa kau tidak memberitahu sejak awal?" Tanya Aksa, menatap kedua rekannya secara bergantian. Deon menunduk, lelaki itu menjilat bibir bagian bawahnya yang agak tebal untuk menyembunyikan rasa gugupnya. "Lalu apa rencanamu sekarang?" Tanya Aksa lagi. "Kita akan kembali ke sana!" Sahut Brian. "Tidak! Kita tidak mesti kembali ke sana!" Sebuah suara dari balik pintu berhasil membuat ketiganya menoleh secara bersamaan. Kemudian seorang lelaki dengan senyuman yang seindah mentari itu muncul dari sana. Lelaki yang jiwanya biasa memancarkan aura positif, tapi tidak untuk sekarang. Tentunya Deon dan Brian terbelalak melihat kemunculan lelaki itu. Brian melempar tatap pada Deon yang menyiratkan sebuah tanya "apa dia juga mengetahuinya?" Seakan mengerti, Deon pun mengangkat kedua bahunya. "Untuk melakukannya kita tidak perlu kembali ke sana." Kata lelaki itu, setelah ia bergabung dengan ketiga rekannya yang masih menatap bingung ke arahnya. "Arvin kau…." "Aku sudah tahu akan hal ini, sejak kita masih berada di sana." Ujar lelaki bernama Arvin, menjawab pertanyaan yang hendak dilempar oleh Deon padahal kalimatnya belum terselesaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD