Prolog

626 Words
Suasana canggung sekaligus tegang seperti ini biasa kulihat dalam adegan sebuah sinetron. Seorang gadis miskin diperkenalkan kepada keluarga laki-laki kaya. Aku meneguk ludah susah payah. Melihat tatapan Mama—ralat, calon Mama mertuaku membuat seluruh bulu-bulu halus di tanganku berdiri kompak.  Entah siapa namanya, tapi untuk sementara akan kupanggil wanita di depanku dengan sebutan Tante. Iya, Tante saja. Memang, dia sudi kupanggil Mama? "Kamu bawa siapa, Ri?" tanya Tante kepada Ringga. Pertanyaannya terdengar agak sinis di telingaku. "Calon istri. Apa lagi?" jawab Ringga, tidak kalah sinis. Tante memandangiku detil. Sepasang mata hitamnya memerhatikan penampilanku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki semua dia perhatikan sampai-sampai membuatku gugup.  Kutarik napas panjang tanpa kentara. Beruntung Ringga mendadaniku sebelum membawaku menemui mamanya. Baju, perhiasan, make up, semua Ringga yang menyiapkan, ah tidak, tidak, lebih tepatnya Ringga membayar orang untuk mendandaniku. Katanya, aku tidak boleh membuatnya malu. Aku tidak boleh kelihatan kampungan saat bersanding dengannya atau hanya sekadar berjalan beriringan. Memangnya ada apa dengan penampilanku sebelumnya? Kurasa pakaianku baik-baik saja. Aku juga memakai pakaian sopan dan tidak pernah mengumbar aurat sembarangan. Oh, baiklah, pakaian yang kukenakan memang murahan. Tapi setidaknya aku memakai baju! "Calon istri?" tawanya, lalu mendengus. Aku belum berakting, tapi Tante sudah tidak percaya lebih dulu. "Iya, calon istri. Ada apa?" Ringga terlihat santai, meskipun Tante meragukan diriku, tetapi laki-laki itu sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan mamanya. "Namanya Alanis," gumam Ringga melirikku, dari tatapan matanya seolah berkata bahwa kini giliranku yang harus berakting agar mamanya yakin. "Saya...," "Umur kamu berapa?" sela mamanya Ringga. "Dua puluh ta—" "Dua puluh empat tahun," sahut Ringga cepat, namun tidak terlihat panik sama sekali. Ringga memelototiku, seketika membuat kepalaku menunduk. Astaga, kemampuanku dalam mengingat benar-benar payah. Bukankah kemarin aku sudah sepakat akan berbohong soal usiaku, ya? Tante menghela napas, pandangannya tertuju lurus kepadaku. "Kamu tahu berapa usia Riri?" Aku mengangguk. "Tidak keberatan karena usia kalian sangat jauh?" Perbedaan usia kami terlampau jauh. Ringga telah berusia tiga puluh sembilan tahun, sedangkan diriku baru dua puluh tahun! Ah, tapi tunggu, wajah dan penampilan Ringga tidak seperti yang kalian bayangkan. Dia, sangat tampan. Tubuhnya tegap dan tinggi, penampilannya rapi. "Bagaimana, Alanis?" tanya Tante sekali lagi. Kuanggukkan kepalaku. "Saya tidak masalah, Tante, dari awal kami menjalin hubungan, saya menerima Mas Ringga apa adanya." "Riri cukup tua buat kamu, Alanis," sanggah Tante menghela napas kasar. "Panjang umur manusia tidak bisa ditebak. Siapa tahu setelah kalian menikah, Riri meninggal dan kamu menjadi janda." Ringga mendelik, "Ma!" "Kenapa? Mama bilang sesuai realita aja. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Oh, atau ini niat Alanis dari awal, ya?" Dahiku berkerut. Awalnya tidak memahami kalimat terakhir Tante. Namun, detik berikutnya aku berhasil menelaah semuanya. "Saya nggak punya niat jelek sama Mas Ringga. Saya mau menikah sama Mas Ringga, ya, karena saya menyayangi anak Tante." Kuulas senyum kecil agar tidak terlalu kelihatan gugup. Salah bicara sedikit saja, rencana Ringga akan gagal. "Dan, soal yang Tante bilang panjang umur seseorang tidak bisa ditebak, memang benar. Saya setuju, kalau pun itu terjadi suatu hari sama saya. Saya bisa apa? Saya nggak mau mendahului Tuhan, Tante. Saya sayang sama Mas Ringga, ketimbang memikirkan siapa yang lebih dulu pergi, saya lebih memikirkan apa yang kita jalani sekarang." Baik Ringga dan Tante sama-sama diam. Aku tidak tahu benar atau tidak kata-kataku barusan. Namun ketika kepalaku menunduk, Ringga mengacungkan ibu jarinya diam-diam padaku. "Ya udah, ya udah," sahut Tante setelah lama diam. "Kalian boleh menikah! Tapi ingat ya, Alanis, saya pegang kata-kata kamu. Kalau suatu hari nanti kamu meninggalkan Riri dengan alasan menemukan yang lebih muda, Tante akan cari kamu!" Kupaksakan senyum lebar. "Tante bisa pegang kata-kata saya." Sebenarnya, aku agak ngeri dengan ancaman Tante. Semisal pernikahan kontrakku dengan Ringga berakhir, aku harus membuat alasan macam apa? Menemukan yang lebih muda, atau yang lebih kaya? To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD