Part 1 MABA

1708 Words
Setelah lulus SMU kami mendaftar di universitas negeri di kota sebelah. Ini karena kami berdua mendapat beasiswa atas prestasi kami. Tidak hanya aku dan kak Arden saja, tetapi Radit, Kiki, Doni, Danu dan Dedi juga akan kuliah di kampus yg sama nanti nya. Hanya Ari saja yang kuliah di kampus yang berada di kota kami, katanya dia juga harus mengurus usaha keluarganya. Sehingga tidak bisa merantau jauh dari rumah. Kak Arden pun jadi berjauhan dengan mbak Alya. Tapi itu tidak menjadi masalah besar, karena kami setiap seminggu sekali akan pulang ke rumah. Lagipula masih banyak cara berkomunikasi di jaman modern seperti sekarang bukan? ====== Aku dan Kiki sedang ada di sebuah rumah kos yang tidak jauh dari kampus kami. Ada sekitar 20 kamar kos di sini dan kos ini khusus kos perempuan saja. Kami sudah membayar untuk satu bulan ke depan, dan kebetulan kamar kami bersebelahan. Kak Arden, Radit, Doni, Danu dan Dedi kos tak jauh dari tempat kami. Tetapi bersebelahan persis. Karena daerah ini merupakan tempat terdekat kampus. Sehingga banyak tempat yang dijadikan tempat kost oleh pemiliknya. "Gimana, Tha? Oke, kan?" tanya Kiki saat kami membuka pintu kamar kos ku. Kuedarkan pandanganku ke dalam. Kamar kos nya tidak terlalu besar. Hanya seukuran kurang lebih nya 4x 4 meter dengan kamar mandi di dalam dan ada TV, lemari pakaian, dan meja belajar lesehan. "Oke sih. " "Ya udah. Aku ke kamarku ya. Beres - beres juga nih," katanya lalu ngeloyor begitu saja pergi keluar dari kamar kos ku. Tempat kost ini berbentuk U, di tengahnya ada taman dengan tanaman hias yang berbunga warna warni. Tiap kamar akan bersebelahan, alias bertetangga. Bukan model kamar kost yang berupa rumah besar dengan banyak kamar di dalamnya. Setelah Kiki pergi, aku juga membereskan barang - barang bawaanku. Mulai dari beberapa potong pakaian yang kumasukan ke dalam lemari yang ada di bawah TV. Di saat berbenah, ide lain muncul, sepertinya aku harus membeli kompor kecil dan magic com untuk memasak nasi. Aku memang suka memasak karena seringnya melihat bunda berkutat di dapur selama ini. Yah, walaupun masakan ku tidak seenak bunda. Tapi ya, lumayan lah. Tok tok tok... "Ya? Masuk aja." Pintu kamarku dibuka, muncul seorang pria yang sangat ku kenal, memakai setelah kaus lengan pendek berwarna putih, dan celana jeans belel. "Sayang... Gimana?" "Nih. Masih beres- beres. Kamu kok ke sini? Udah selesai beres-beres di kos?" tanyaku. Radit masuk lalu langsung merebahkan diri di kasur milikku. "Huh. Nanti aja deh. Males," gumamnya sambil meraih guling dan terus memperhatikanku. "Dit." "Hm?" "Nanti temenin beli kipas angin ya sama magic com, terus beli kompor juga. " "Kamu mau masak?" "Ya kalau lagi pengen aja sih. Persiapan dulu kan nggak apa-apa. Lagian aku kan suka lapar kalau tengah malem. Repot kan, kalau harus keluar nyari makan." "Mmm.. Iya juga sih.. Oke deh. Nanti kita beli. Kulkas nggak sekalian, sayang?" Entah dia ini serius atau bercanda aku tidak tau. "Nggak usahlah. Bayar listriknya mahal." Dia malah cengengesan. Radit terus di kos ku sampai azan maghrib berkumandang. Suasana kos ku agak lenggang. Karena memang masih banyak kamar kos yg kosong. "Dit. Kamu salat dulu sana. " "Kamu sekalian, kan?" "Aku lagi nggak salat. Buruan gih. Ambil wudhu," suruhku. " Oke, sayang " Dia lantas masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Selama ada Radit, pintu kamar kos ku memang sengaja ku buka. Untuk menghindari fitnah. Suara aneh mulai samar terdengar di telingaku. Aku menajamkan pendengaran. Seperti ada suara daun yang terseret. Semakin lama semakin jelas saja kudengar. Akhirnya aku berdiri dan berjalan keluar dengan langkah pelan. Sampai di pintu, aku menengok ke kanan dan ke kiri. Suasana nampak sunyi. Hanya semilir angin yg kurasakan hampir menusuk tulang. Sekarang ini sedang musim kemarau dan cuaca memang terasa lebih dingin dari biasanya. Kurapatkan cardigen yang ku kenakan. Kok sepi, ya? Mungkin cuma suara daun jatuh yg tersapu angin. Mungkin saja. Setelah memastikan tidak ada sesuatu di luar. Aku masuk kembali ke dalam. Deg!! Saat aku berpaling, sekilas aku melihat bayangan ada di lantai 2 di depan deretan kamar kos ku. Kos ku ini selain membentuk huruf U, juga berlantai 2. Jadi di depan kamarku ini deretan kamar kos lain nya juga. Aku memicingkan mataku untuk dapat melihat bayangan di lantai dua itu. Karena suasana sudah hampir malam, dan lampu di lantai atas juga agak sedikit temaram, aku tidak begitu jelas melihatnya. Yang ada di atas seperti bayangan hitam, menyerupai manusia. Yang jelas, dia wanita. Karena rambutnya terlihat panjang terurai, dengan posisi yg terus menunduk melihat ke bawah. Aku makin maju selangkah, agar dapat lebih jelas melihat siapa yg ada di sana. Perlahan dia mendongak kan kepalanya. Astaga!!! Baru kulihat dengan jelas, seperti apa wajahnya. Yang pasti, dia bukan manusia. Awalnya wajahnya putih pucat. Bola matanya juga hampir putih semuanya. Tapi lama kelamaan, kulitnya mengelupas dan jatuh ke bawah. Meninggalkan daging yg bercampur darah segar di wajahnya. Sangat jelas terlihat dari tempatku berdiri sekarang. Beberapa benda jatuh dari wajahnya. Yah, itu kulitnya. Aku mundur selangkah sambil bergidik ngeri. Seseorang menepuk bahuku. "Masya Allah!!!" aku terlonjak sampai sampai menekan dadaku, deru degup jantungku makin cepat karena dirinya. "Kenapa sih, Ai?" tanya Radit sambil melihatku bingung. Aku tidak langsung menjawab, sambil mengatur nafas. Aku menunjuk ke arah sosok tadi berdiri. "Apaan?" tanya Radit bingung. "Itu.. Ada itu...." "Itu? Apaan? Ada apa sih?" Radit melihat ke arah yang ku tunjuk. Saat aku melihat kembali ke atas. Sosok itu sudah tidak ada. Hm.. Rupanya dia mau bermain - main denganku. "Itu.. Udah malem ternyata, ya," jawabku sambil cengar cengir. "Ya ampun.. Aku pikir apaan, Tha. " Radit mengacak acak rambutku gemas. Dia lalu mengajakku masuk kembali ke dalam. "Kita cari makan yuk," ajak nya. "Mm.. Iya deh. Aku juga udah mulai lapar." "Arden lagi pergi sama Dedi katanya. " "Doni nggak ke sini? Nyamperin Kiki?" tanyaku sambil meraih tas milikku. "Mmm.. Tau nih," ucap Radit sambil menatap ponselnya ,"nanti samperin aja deh Kiki. Ajak aja sekalian. Takutnya dia udah kelaparan. Kasihan anak orang." Aku mengangguk. Kami berdua lantas ke kamar Kiki. "Ki! Kiki!! Mau ikut cari makan nggak?" teriakku dari luar kamar nya. Hening. "Tidur dia?" tanya Radit. "Mm.. Gak tau juga sih. Mungkin. Habis sepi gini. Ya udah. Tinggal aja deh. Nanti kita beliin Kiki makan aja," saranku. "Ya udah deh." Saat kami baru beberapa langkah berjalan menjauhi kamar Kiki, tiba tiba, terdengar teriakan yang cukup keras dari arah kamar Kiki. Aku dan Radit melotot, lalu berlari ke kamar nya. Pintu ku pukul-pukul, aku pun meneriakkan namanya. "Ki? Kiki!? Kamu kenapa? Buka, Ki!? Kiki!" Aku panik. Takut hal buruk terjadi pada dirinya. Radit berjalan ke arah jendela kamar Kiki dan mengintip dari sana. Dia lalu menatapku bingung. "Kenapa sih, Dit? Kiki kenapa?" cecarku. "Kiki... Lagi tidur, sayang. Coba deh lihat." Aku pun mengintip ke jendela kamar Kiki dengan berjinjit karena letaknya agak tinggi. Memang benar. Kiki sedang tidur dengan kondisi kamar yg masih berantakan. Aku beralih ke Radit. "Terus yang tadi teriak siapa, ya?" tanyaku ke Radit. Aku yakin dia juga mendengar jeritan tadi. Radit hanya mengangkat kedua bahu, lalu mengamati sekitar. Dia berjalan beberapa langkah sambil tengak tengok. Entah kenapa kos - kostan ku ini sepi sekali. Bahkan sedari aku datang tadi, belum juga aku melihat penghuni kos lain selain aku dan Kiki. Kata pemilik kos, memang masih banyak kamar kos yg kosong, dan mungkin penghuni kos yg lain sedang tidak ada di kamar mereka. "Terus gimana? Kiki mau ditinggal?" tanya Radit. "Jangan deh. Perasaanku nggak enak kalau ninggalin Kiki sendirian di sini. Kamu kabarin Doni coba. Suruh ke sini," pintaku. Radit meraih ponsel nya dan menghubungi Doni agar segera datang kemari. Setelah menunggu 15 menit, Doni muncul juga dengan membawa kantung plastik. Yang sepertinya itu makanan. "Kiki mana? Kok kalian di luar?"tanya Doni begitu sampai. "Tuh.. Ngebo.." gerutu Radit. "Kenapa gak dibangunin?" "Kamu aja deh, Don. Mm.. Kita pergi dulu ya. Kamu temenin kiki pokoknya. Jangan dibiarin sendirian," suruhku. "Iya udah.. Sana. Aku udah beli makan kok ini. Sorry, beli 2 bungkus doang. hehe" "Santai, Bro, " Sahut Radit. Aku dan Radit pun berpamitan ke Doni. ===== Kami berdua makan di tenda lamongan pinggir jalan. Setelah makan, kami langsung pergi ke toko elektronik, dan membeli kipas angin, magic com dan kompor satu sumbu. Aku memang tidak bisa kepanasan. Jadi harus sedia kipas angin di kamar kos. Sementara penggunaan AC akan menambah biaya sewa untuk listrik. Saat kembali ke kos, sudah pukul 21.00. Pintu kamar kos Kiki terbuka. Pasti Doni masih ada di sana. Radit membantuku merangkai kipas angin dan kompor sekalian. Agar besok sudah bisa kupakai. "Belanja, Bu? " celetuk Kiki sambil masuk ke kamarku bersama Doni. "Iya nih. Sekalian. Takut nya besok udah mulai sibuk. Nanti malah nggak sempet," sahutku sambil tiduran di kasur. Kiki pun ikut tiduran bersama ku. Sementara Doni hanya melihat Radit yg sibuk utak-atik kipas angin. "Eh ... Tha. Tadi ada yg nyariin kamu. Mba kamar atas katanya," cetus Kiki tiba - tiba. Aku sontak menoleh diiringi tajam ke Kiki. "Siapa sih?" "Gak tau. Tadi dia berdiri di depan kamar kamu. Terus pas aku tanya malah pergi gitu aja. Naik ke kos depan, lantai dua." Degg!! Aku yg awalnya sedang tiduran santai, mendadak langsung duduk. "Eh... Kenapa, Tha?" tanya Kiki bingung. "Orang nya kayak gimana?" "Yg jelas cewek. Rambutnya panjang sebahu. Cuma mukanya nggak jelas gitu. Dia noleh aja enggak, waktu aku panggil. Kamu udah punya temen di sini? Cepet banget. Kita kan baru berapa jam di sini?" tanya Kiki menyelidik. Aku tidak menjawab, malah berdiri dan berjalan ke depan. Saat aku ada di pintu, sosok itu kembali terlihat di sana. Dia melambaikan tangan padaku. Dengan cepat ku tutup pintu kamar, dan melotot ke teman temanku. Mereka menatapku bingung. Radit lalu mendekat. "Kenapa? Ada apa, Tha?" tanya nya serius. "Ada setan di sini." "Hah?!!" pekik Doni dan Kiki bersamaan. "Kamu udah lihat? Kamu udah ketemu juga?" tanya Radit yang seolah tidak kaget seperti Doni dan Kiki. "Kenapa? Kamu juga udah ketemu?" tanyaku balik. Dia hanya menarik nafas panjang, lalu mengisyaratkan ku agar tidak melanjutkan obrolan ini karena ada Kiki dan Doni . Mungkin Radit takut, Kiki akan panik nantinya. Aku mengangguk paham. "Eh.. Udah malem. Kalian balik deh," pintaku ke Radit dan Doni. "Tapi, sayang...." "Aku gak papa. Aku bisa jaga diri kok. Kamu jangan khawatir." "Bener juga sih. Udah hampir jam 10, Dit. Bakal dikunci itu pagar bentar lagi. Yuk balik," ajak Doni. =======
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD