1

1178 Words
Tahun 2020 adalah tahun keterpurukan bagi seluruh manusia. Tidak satu atau dua negara yang merasakan dampaknya, hampir seluruh dunia merasakan. Merosotnya perekonomian yang tajam, angka pengangguran yang berjubel naik, kemiskinan yang tidak bisa di elakkan dan kasus-kasus lainnya yang ikut mendukung. Covid-19 menyapa Indonesia di bulan ketiga tahun ini—Maret. Bagi sebagian orang, mereka yang pegawai kantoran akan memanfatkan waktu work from home sebagai sarana mempererat tali keluarga atau mengganti waktu rodinya untuk bertukar cerita. Sedang bagi kaum bawahan, babu katakanlah begitu, akan menjerit tangis, legowo lan nerimo karena kehilangan pekerjaannya. Berusaha segigih apa pun, jika atasan sudah mencantumkan namanya masuk daftar di rumahkan, tetap saja say good bye. Pulung Narendra salah satunya. Perempuan berusia 26 tahun yang harus menghela napas berkali-kali. Ibu kota begitu kejam untuk dirinya yang hanya lulusan SMA. Sudah sangat beruntung baginya mengenyam pendidikan sampai SMA. Di kampungnya, Garut, sekolah tidaklah begitu penting. Asal sudah laku di pinang oleh lelaki, menikah dijadikan ajang balapan. Bekerja bagi kaum hawa di daerah pegunungan bukan sebuah keharusan. Sayangnya, Pulung tidak memiliki hak istimewa untuk berleha-leha seusai tamat sekolah. Bertahun-tahun sejak lulus sekolah, Jakarta menjadi sahabatnya. Pekerjaannya ia jadikan rumah di mana untuknya bisa makan nasi dua kali sehari—minimalnya. Dan mengirim sebagian gajinya untuk Ayah Ibunya di kampung. Dari situ, bisa Pulung angkatkan derajat keluarganya dengan si bungsu yang masuk ke tingkat Universitas. Naas, pandemi ini menghancurkan impian sebagian orang yang awalnya sudah hidup dengan adem ayem. Fakta itu diiringi dengan surat cerai yang suaminya kirimkan. Lelaki tampan yang Pulung nikahi dua tahun lalu ini ternyata memilih menyudahi hubungan keduanya. Katanya: “Tahun ini susah. Ekonomi juga turun drastis. Kalau harus menghidupi kamu, saya bisa mati berdiri.” Arga Brasta mengucapkan susunan kalimatnya dengan lancar. Pulung terima saja. Kalau harus bercerai, artinya sudah tidak jodoh. Yang hari itu juga Pulung bubuhkan tanda tangannya. Pertanda itu, usai sudah perjalanan kehidupan rumah tangganya. Kan, nikah cepat, nikah muda untuk akhirnya jadi janda. Lucu tidak, sih di permainkan sama kehidupan berkedok takdir? “Maaf. Jika selama melayani saya kurang memuaskan.” “Beruntung kamu tidak hamil.” Tidak Pulung dengarkan. Kedua kakinya melangkah mantap keluar dari rumah yang mengayomi tubuhnya dari panas dan hujan selama masa pernikahannya. Kopernya Pulung seret menuju taksi online yang sudah di pesan. Perkataan Arga cukup menyakiti hati Pulung meski tidak di gubrisnya. Setahun menikah dan hidup bersama lelaki tersebut, Pulung selalu di uber-uber oleh mertuanya untuk segera hamil. Tapi anaknya sendiri justru ingin menikmati masa kebersamaan dan sengaja menundanya. Pulung jadi serba salah dan merasa di bodohi. “Ke mana, Neng?” Bapak sopir sigap menaruh bawaan Pulung ke dalam bagasi dan bertanya tujuannya. “Fatmawati, Pak.” Ada saudara Pulung di sana. Mungkin bisa memberikan dirinya pekerjaan. Pasca di PHK dari pabrik yang menjadi pundi-pundi uangnya, Pulung harus lebih ekstra mencari. Tiga bulan di rumahkan, Pulung pikir suaminya—mantan—sudah pas menjadi lelaki idaman mengingat trackingnya yang penuh tanggung jawab. Mereka selalu bekerja sama dalam urusan keperluan rumah mulai dari air, listrik, belanja bulanan, sampai cicilan motor dan mobil. Yang bisa teratasi dengan mudah. Begitu Pulung menganggur, justru di campakkan lantaran tidak memiliki pemasukan. “Jakarta mah kejam, Neng.” Vokal Bapak sopir mengudara. Membelah sunyinya mobil dan terbawa keramaian di luarnya. “Corona bikin yang miskin makin miskin. Yang kaya keenakan.” Pulung benarkan dalam hati. “Cari gawe susah. Pemerintah kagak bisa kasih jaminan buat rakyatnya.” Ini salah satu contoh kesalahan di mana masyarakat getol menyalahkan pemerintah. Pemerintah sekali pun memiliki wewenang untuk bertindak, mereka tetap punya pertimbangan untuk menjalankan setiap kebijakan. Apakah peraturan yang mereka keluarkan berdampak pada kebaikan atau malah membuat suasana memanas. “Mungkin belum rejeki, Pak.” Pulung ulaskan senyum segarisnya. Hatinya teriris pilu. Bukan pada perceraian yang baru di awalinya. Namun pada bagaimana pandangan masyarakat akan dirinya yang janda terlebih tanpa adanya anak. Penilaian netizen pasti pada unsur keburukan. Seperti: “Mandul kali.” “Nggak pintar di ranjang.” “Namanya sudah punya suami ya mesti pandai merawat diri.” “Cantik saja nggak menjamin.” “Ibarat kucing di kasih rendang, mana nolak!” Mata Pulung terpejam. Ketakutan yang tidak pernah dirinya bayangkan mendadak membayangi. Status jandanya pasti buruk sekali citranya. “Sampai, Neng.” Pulung sodorkan uang kertas sesuai nominal di aplikasi. “Ambil saja kembaliannya, Pak. Jaga kesehatan. Masker dan hand sanitizernya jangan lupa.” “Nuhun, Neng. Sami-sami buat, Neng juga dan doa yang terbaik selalu menyertai ya, Neng.” Kost mewah yang ada di hadapan Pulung menggambarkan seberapa banyak penghasilan saudaranya. Dan menjelaskan seperti apa pekerjaannya. Akankah Pulung ikut sertakan? Demi kuliah Adiknya. Demi Ayah Ibunya. Demi keberlangsungan hidupnya. Toh, bukankah dirinya sudah rusak sejak beberapa jam yang lalu. Jadi, tidak akan menimbulkan masalah yang pelik selama bangkainya tersimpan rapat. Baik. Tidak masalah. Tapi Pulung gelengkan kepalanya sekali lagi. Mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda. Menjadi janda tidak seburuk yang orang lain lemparkan. Menjadi janda bukan berarti buruk. Tidak! Pulung harus bangkit dari keterpurukannya dan membenahi dirinya sendiri. Masih banyak yang Pulung bisa tanggung termasuk kedua orang tua dan Adiknya. Embusan napas Pulung terhela bersamaan dengan pandangan matanya yang mengedar. Kondisi kost milik Dante—Adik sepupunya cukup asri dengan tumbuhan yang berjejer rapi sebagai hiasan dan satu pohon rindang besar. Sepoi-sepoi angin malam membelai pipi Pulung. Tumben sekali Jakarta sesejuk ini di saat polusi sulit teratasi. “Nyari siapa, Teh?” Satpam jaga menyapa Pulung dengan ramahnya. “Biar saya bantu.” “Dante.” Pulung balas dengan senyuman yang sama ramahnya. “Oh Mbak Dante. Mari.” Pulung ikut ke mana arah satpam yang membawanya. Pulung wajib kagum dengan suasana kost yang sepi dan bersih. Tidak berisik pada umumnya atau memang seperti ini fasilitas memadai dengan harga yang sesuai menguras kantong? “Tapi kayaknya belum pulang, Teh.” Satpam hanya memberi informasi saja. “Ada kode akses masuknya nggak yang di kasih sama Mbak Dante? Biar saya bantu semisal belum di kasih.” Nah ini dia keunikan lain yang bikin Pulung terperangah. Dirinya yang terlalu ndeso atau memang kurangnya pergaulan sehingga hanya dunia kerja yang Pulung ketahui. Sekarang kost saja masuknya sudah pakai kode bak apartemen yang biasa ada di drama-drama. Bukan lagi kunci jadul. “Sudah sih, Pak. Tapi kalau Bapaknya mau bantu saya nggak keberatan.” Satpam itu mengangguk dan segera menekan nomor-nomor tombol sesuai instruksi yang beberapa jam lalu Dante titipkan. “Silakan, Teh. Kalau ada perlu apa-apa bisa telepon ke nomor pos satpam yang tercatat di sini.” Tunjuknya pada kertas yang tertera di dekat telepon. “Selamat beristirahat ya, Teh.” Pulung mengangguk dan tersenyum. Membiarkan Satpam itu undur diri dan kembali Pulung edarkan pandangannya ke dalam ruangan Dante. Mewah, itu kesan pertama yang Pulung decakkan. Tidak hanya bangunannya yang mewah dan fasilitas yang memadai. Isi kamar Dante benar-benar mewah bak orang kaya sungguhan. Ranjangnya king size, ada meja makan yang rangkap dengan dapur. Semuanya kelihatan rapi dan Pulung semakin kagum dengan keberhasilan Adik sepupunya itu. Pulung turut senang dan semoga setelah ujian yang menyapa dirinya akan hadir kebahagiaan lain yang tak Pulung duga kedatangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD