"Bertemu Orang Dari Masa Lalu"

2146 Kata
Shavia tak menganggap perkataan mertuanya tempo hari itu serius. Dia tak mau ambil pusing. Yang ada di pikirannya kini ia harus jadi istri yang baik dan sukses. Soal anak dan periksa ke dokter, ia iyakan saja. Suaminya juga belum bekerja. Nanti kalau dia hamil, siapa yang akan mencari penghasilan? Shavia kadang termenung jika duduk di depan tokonya saat sepi pelanggan. Siapa yang tidak sedih jika tidak dianggap anak oleh ayah sendiri? Ayah Shavia kini sudah bahagia bersama ibu dan adik tirinya. Shavia melihat sendiri kebahagiaan mereka. Dulu ia yang dipuja dan dimanja, sekarang malah gadis lain yang ayahnya sayangi dan manjakan. Ada rasa iri dan sakit yang menghunjam hati Shavia. Pasalnya, ia mengira adik tirinya itu baik. Ternyata diam-diam malah menghanyutkan. Si adik tiri berusaha mengambil perhatian dari ayahnya. Harapan Shavia adalah memiliki kehidupan bagai di negeri dongeng. Sayang, harapan hidup itu menghilang setelah ibunya meninggal. Kisah hidupnya kini bagaikan bawang putih dan bawang merah. Roda kehidupan memang berputar. Ada kalanya kita berada di atas, tapi dengan sangat mudah kita terjun ke bawah. Semenjak berkunjung ke makam ibunya, Shavia berjanji akan jadi anak yang mandiri dan kuat, tidak lembek dan manja seperti dulu lagi. Shavia pulang bermandikan peluh. Ia sudah bau keringat dan bau jalanan, tidak wangi parfum mahal seperti dulu lagi. Rambutnya kini lepek dan berbau apek, tak bergelombang atau lurus halus seperti saat rajin ke salon untuk creambath. Kulit mulusnya kini sudah mulai kotor karena setiap hari terpapar polusi dan cahaya matahari. Debu dan kotoran jalanan terus saja menempel sehingga membuat kulit Shavia semakin hari semakin gelap dan kusam. Shavia kini sedih karena barang dagangannya tidak banyak yang terjual. Ia harus membawa barangnya kembali ke rumah tanpa bantuan siapa pun. Saat mengangkat barang dari angkot ke pekarangan rumah, samar-samar ia mendengar ibu mertuanya tengah membicarakannya dengan tetangga. “Mantu ibu mandul kali. Kalau Andri yang mandul nggak mungkin,” ujar wanita yang umurnya sudah kepala empat. Tampaknya wanita itu tinggal di rumah sebelah. “Iya. Jarang cowok yang mandul, Bu,” tambah ibu lain yang ikut berkumpul di ruang tamu tiga kali empat meter itu. Mereka tengah mengadakan arisan kecil-kecilan. “Mungkin pas sebelum kawin Shavia sudah pernah hamil dan digugurkan, jadi sekarang dia sulit punya anak lagi.” Ibu yang duduk paling pojok malah pikirannya paling buruk. Ibu mertua Shavia pun menoleh ke arahnya dan meminta penjelasan. “Tahu sendiri, kan, dia asalnya orang kaya. Orang kaya tuh banyak yang nakal dan masuk dunia hitam,” tambahnya lagi agar dugaannya semakin jelas dan membuat ibu mertua Shavia seperti mendapatkan petunjuk. “Mungkin saja. Nanti saya bawa dia periksa,” sahut ibu mertua Shavia. Wanita yang satu ini mudah percaya dengan omongan tetangga. Ia bahkan lebih percaya pada mereka dari pada menantunya sendiri. “Saya juga curiga dia sulit punya anak karena pernah aborsi.” Pikiran sang mertua juga buruk. Kapan menantunya akan terlihat baik? Sepertinya tidak akan pernah. “Mana tahu dulunya sering mabok dan ganti pasangan terus hamil, ya nggak?” Mereka langsung membayangkan Shavia tengah berpakaian seksi dan berada di kelab malam. “Bener juga, Bu.” Mereka semakin asyik menggosipkan Shavia hingga lupa tempat dan waktu. Tahu-tahu, orang yang menjadi topik pembicaraan telah datang dan membuka pintu. “Ehem!” Suara dehaman Shavia mengagetkan empat orang ibu tukang menggosip itu. “Eh, Nak Via. Baru datang, ya?” tanya ibu yang paling dekat dengan pintu. Ia menampilkan senyum dibuat-buat yang terkesan meremehkan Shavia. “Iya, Bu. Saya permisi.” Shavia hanya ingin mereka menyudahi acara menggosip, tanpa ingin memarahi. Percuma marah karena hanya akan membuatnya kalah. Diam adalah cara terbaik saat ini. Lagipula, untuk apa meladeni ibu-ibu tukang gosip? Lebih baik ia istirahat atau masak. Perutnya sudah keroncongan, minta diisi. ☆☆☆ “Aaaah, sialan!” teriak Andri di dalam kamar sambil merebahkan tubuhnya. Tangan sang pria menggenggam ponsel pintar yang mengeluarkan suara musik riuh. “Gue KO. Awas, ya. Kalau tanding lagi nanti gue kalahin!” teriak Andri lagi karena emosi. Ia telah kalah dalam sebuah permainan online. Permainan itu adalah sebuah pertandingan di sebuah ladang dan menyelesaikan misi, di mana saat misi itu berlangsung, akan banyak rintangan dan pemain lain yang memberikan serangan. “Pasti main game, ya?” tanya Shavia yang sudah hafal kalau suaminya di kamar marah-marah, pasti karena kalah main game. “Iya. Aku kalah, Sayang. Hehe!” Andri malah terkekeh. Ia tak tahu malu. Sang istri pulang kerja tanpa dijemput dan dibantu ambilkan barang. Ia sendiri malah enak-enakan berbaring sambil bermain game. Game online itu membutuhkan kuota. Uang siapa yang ia pakai untuk membeli kuota kalau bukan uang Shavia? “Mas nggak cari kerja?” tanya Shavia sambil menyimpan barangnya di dalam kamar. Ia sedikit kecewa karena suaminya seperti tak peduli dengan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Justru dirinya yang membanting tulang menghidupi seisi rumah. “Hari ini panas banget,” kilah Andri. Hanya karena alasan sepele, pria itu tak mau keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Shavia saja yang kepanasan di Tanah Abang tak pernah mengeluh. Haus, panas, lapar, dan rasa letih sudah biasa Shavia rasakan. “Terus gara-gara panas nggak cari kerja?” tanya Shavia sambil memandang sinis. Ia kecewa karena setelah menikah, keburukan-keburukan Andri semakin terlihat nyata. Benar kata orang, kejelekan pria akan terlihat saat sudah jadi suami. Saat sebelum menikah dan menginginkan seorang wanita, ia akan menutupnya dengan setumpuk kebaikan. Begitulah, perkataan orang-orang di Tanah Abang beberapa bulan yang lalu itu terbukti. “Iya.” Andri sama sekali tak iba melihat istrinya kelelahan. Sebagai suami yang baik seharusnya menjemput, membantu membawakan barang, dan menjadi tulang punggung keluarga. “Mas, di Tanah Abang ada kerjaan.” Shavia ingat ada pengumuman lowongan kerja saat ia pulang tadi. “Jadi apa?” tanya Andri antusias. “Jadi office boy.” Sayang, pekerjaan itu begitu rendah menurut Andri. Biarpun ia bisa dibilang tidak mampu, tapi sebagai lulusan perkuliahan, ia ingin pekerjaan di bagian perkantoran. “Yahhh, Mas kira jadi manager pengelolanya.” Andri pun mengerucutkan bibir. Ia tak mau mengambil pekerjaan rendahan. “Jangan yang tinggi-tinggi dulu, Mas. Cari kerjaan yang biasa aja. Yang penting nggak nganggur.” Shavia masih berharap suaminya mau ikut mencari nafkah. Sayang, harapan itu tak pernah menjadi kenyataan, kosong seperti isi kulkas mereka. “Aku malu kalau jadi OB, Sayang!” Andri tetap tak mau. Ia sampai membalikkan tubuh, menghadap ke arah lain demi menghindari Shavia. Shavia malas berdebat. Ia memilih pergi ke dapur untuk makan. Sayang, saat membuka tudung saji, ia tak ada apa-apa. Kalau begini, ia harus menahan lapar ini sampai selesai masak. Shavia membuka kulkas dan lemari, tapi tak menemukan persediaan sayur ataupun telur. Ia segera pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Uang di dompet Shavia tersisa beberapa lembar berwarna hijau dan dua yang berwarna biru. “Ya Tuhan. Dulu isi dompetku merah semua dan banyak.” Shavia berusaha tersenyum. Kini uang miliknya adalah hasil kerja keras sendiri. Dulu ia memang mempunyai banyak uang, tapi semua itu pemberian ayahnya. Shavia menatap isi dompetnya, lalu berjalan kembali. ☆☆☆ “Aduh, ban mobilnya kempes. Gimana, nih?” Seorang pria tengah berjongkok memandangi ban mobilnya yang kempes. Padahal ini adalah ban tubeless, tapi tetap saja gembos. Sepertinya ada paku yang besar dan menyerupai baut yang menusuk permukaan ban. Ban tubeless akan kempes jika tertusuk oleh paku yang ukurannya besar atau paku yang seperti baut ini. “Wilayah ini sepi. Mana ponselku juga mati. Sial! Gara-gara Pak Salim libur, nih.” Ia belum hafal Jakarta dan tengah terburu-buru. Kebetulan sopirnya sedang izin karena sakit. Ia menendang ban yang kempes dan melihat ada seorang wanita yang berjalan ke arah situ. Pria ini seakan melihat seseorang yang akan menjadi penolongnya. Saking antusias, ia pun melambaikan tangan sambil berteriak, “Hei ….!” Shavia sedikit panik melihat ada seorang pria memanggilnya. Itu cowok ngapain teriak, ya? Huy hay hei hei, cowok genit kali, yak? Yang suka ganggu cewek. Hemmm mau ke supermarket harus ke arah sana. Nggak bisa jalan situ, dong. Beberapa waktu yang lalu, Shavia sempat nyaris celaka karena diganggu oleh preman-preman di gang saat hendak pulang. Oleh karena itu, ia sedikit trauma jika dipanggil oleh kaum pria. “Hei kamu!” teriak pria itu lagi. Ia sudah diburu waktu, harus segera pergi karena ada meeting. Aduh! Dia manggil lagi. Takutnya cowok m***m atau yang suka palak kayak waktu itu. Shavia berpikiran buruk dan ingin kabur saja. Balik arah aja, ah. Shavia melangkahkan kaki untuk kembali ke arah rumahnya lagi. Shavia tak peduli perutnya lapar dan harus diisi. Yang penting ia selamat dari kaum pria yang suka mengganggu atau berbuat jahat. “Hei kamu! Kenapa malah pergi?” tanya sang pria sambil menekan pelipisnya. Acara bertemu klien bisa berantakan jika tak segera berangkat. “Sial! Tuh orang malah pergi. Kejar aja, ah!” Pria itu berlari untuk menyusul Shavia. Puk! Tangannya menepuk pundak Shavia. “Aduh!” Shavia terjingkat karena tepukan mendadak itu. “Mau kemana kamu?” tanya si pria, sedikit kasar. Maklum, ia terlalu lama tinggal di luar negeri sehingga terkesan dingin dan ketus. “Ampun! Abang jangan celakain saya, ya!” Shavia memohon dan tak mau menoleh. ‘Eh, celakain kamu? Mana mungkin?” Si pria menjadi bingung mengapa wanita ini malah ketakutan. “Terus ini nyusulin mau ngapain? Tadi juga manggil buat apa?” tanya Shavia sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pria ini pun memutar tubuh Shavia agar menghadapnya. Shavia pun membuka tangan perlahan dan melihat wajah pria yang ada di hadapannya ini. Tampan juga. Tapi orang tampan juga sekarang banyak yang jadi penjahat, gumamnya dalam hati. Pria ini melebarkan mata dan tak berkedip untuk beberapa detik. Ia kaget melihat sosok di depannya. Rasanya seperti melihat orang dari masa lalu. Seseorang yang sangat ia rindukan. Setelah pundaknya ditepuk, barulah ia menjawab, “Sa-saya mau minta tolong. Ban mobil saya kempes.” “Ban mobil? Oh, gampang!” Shavia langsung menghampiri mobil yang sedang terparkir di pinggir jalan. “Hei, sini! Katanya butuh bantuan.” Shavia memanggil karena yang punya mobil malah sangat tertinggal dan diam saja. “Eh, iya!” Pria itu pun berlari mengejar Shavia. “Buka bagasi mobilnya!” pinta Shavia. Ia bisa mengganti ban mobil. Saat masih anak dari orang kaya, Shavia terkadang mengalami ban kempes dan belajar sendiri untuk menggantinya. Shavia tak suka meminta bantuan sopir atau merepotkan orang lain. Pria bertubuh atletis dan mengenakan kemeja perlente ini pun mengamati Shavia yang sedang mengambil dongkrak. Ia membantu mengambil ban cadangan. Kayaknya ini Shavia yang anak SMANDA itu, deh. Tapi yang ini hitam dan kucel. Mana mungkin Shavia berpenampilan biasa aja kayak gini? Dia kan kaya princes. “Tolong pegang!” Shavia menyuruhnya memegang alat. Cewek ini bisa ganti ban mobil. Gue aja nggak tahu, apalagi Shavia. Pria itu semakin penasaran dan menatap Shavia lekat-lekat. “Kenapa Anda lihat saya dari tadi?” tanya Shavia sambil melirik ke arah pria yang ada di sebelahnya. Shavia terkesan ketus karena ia risih diperhatikan oleh seorang pria yang sepertinya masih lajang. Pria yang berpostur tinggi ini pun ikut berdiri dan menjawab, “Oh tidak. Saya kira Anda tidak bisa melakukan hal seperti ini.” Ia tidak berikan alasan mencurigai orang ini adalah Shavia. Ia takut salah. “Kalau boleh tahu nama Anda siapa?” tanyanya sambil memancing. Jika wanita ini menyebut nama Shavia, berarti dugaannya benar. Tapi jika bukan, berarti ia salah orang. “Nama saya S … eh … Julaeha!” Hampir saja Shavia keceplosan menyebutkan nama asli. Shavia tak mau lagi menyebutkan nama pemberian dari ayahnya itu. Biarlah orang mengenalnya dengan nama Julaeha saja. “Saya Boy,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan sekaligus ucapan terima kasih. Diam-diam ia kecewa karena wanita ini bukan Shavia. “Terima kasih atas bantuannya, ya.” Boy tersenyum santun. “Sama-sama. Saya permisi!” Via pun mengangguk, lalu pergi. Karena rambut Via diikat ekor kuda, saat ia menoleh, tanda lahir berwarna cokelat di belakang telinga gadis itu terlihat dengan jelas. Boy tersentak saat melihatnya. Eh, kok ada tanda lahir di belakang telinganya? Boy mengerutkan dahi dan berusaha mengingat. Perasaan aku kenal dengan tanda lahir itu. Ah iya, itu tanda lahir Shavia! Mana mungkin ada dua orang memiliki tanda lahir yang sama, bukan? Rasa ingin tahu Boy tergelitik. Sejumlah tanda tanya merebak di kepala. Mengapa Shavia menyebut namanya Julaeha? Apakah ia salah orang atau memang benar itu Shavia yang menyamar menjadi orang lain? “Via! Tunggu!" teriak Boy. Shavia sudah berjalan cukup jauh. "Via … eh … Julehaaa, tungguuuu!" teriak Boy lagi, berusaha mengejar namun langkahnya terhalang kendaraan yang lewat. Tiinnn …! Tiinnnn …! Kendaraan lain membunyikan klakson karena mobil Boy menghalangi arus lalu lintas yang cukup ramai sehingga terjadi kemacetan. “Woi, mobilnya ngalangin jalan!” Seorang pengemudi mobil meneriaki Boy. “Eh iya, sebentar!” Boy segera memasuki mobilnya dan menjalankan mobil ke bahu jalan yang lebih sepi. Saat Boy menoleh, ia sosok Shavia telah lenyap dari pandangan. “Duhh! Kok malah ngilang. Ke mana dia?”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN