Harus Tidur Di Kamar Gita

1571 Kata
Estu melangkah mendekati Gita dengan canggung. Bagaimana tidak, istrinya itu tidak mau menoleh kepadanya meski Estu yakin kalau Gita menyadari kehadirannya karena seorang wanita muda yang mendampingi memberitahu kedatangannya. Tak apa, Estu sudah mengetahui seberapa besar angkuhnya Gita. Dan wanita itu memang layak angkuh karena kekayaan dan kecantikannya. "Hm, istriku...." Estu mulai memanggil. Tapi dia langsung terhenyak begitu mendapati Gita menoleh dengan tatapan marah. "Oh, maksudku Gita... eh Nona Gita." Dengan gelagapan Estu mengulang panggilannya. "Mau apa?!" balas Gita dengan menyolot dan mata yang melotot. Imut sih, namun berhasil membuat Estu keder juga hingga harus menelan saliva. Estu menunjuk ke belakang. "Hm... itu Non, saya diminta Pak Atmoko dan Pak Penghulu untuk panggil Nona. Kita harus segera tanda tangan buku nikah." Rahang Gita mengencang mendengar itu, seperti ada sesuatu yang ditahannya. Sorot mata istrinya itu juga menunjukkan kemarahan kepadanya. Oke, Estu langsung mengambil kesimpulan bahwa Gita tidak menghendaki pernikahan ini. Itu artinya pernikahan ini murni kehendak Atmoko. Tapi mengapa Pak Atmoko melakukan ini hingga dirinya pun dijebak agar menikahi Gita? Melihat dari tubuh, Gita tidak terlihat sedang hamil. Ah, sudahlah. Bukan waktunya bagi Estu memikirkan sesuatu yang tidak akan bisa dia jawab. Estu pun mengulurkan tangannya pada Gita. "Mari Non kita ke sana." Syut.... Tidak mau menerima uluran tangan Estu, Gita langsung berdiri dan kemudian melangkah menuju ruang tamu. Otomatis Estu merasa kecele dan menarik tangannya yang terulur tadi. Pria itu segera menyusul Gita ke ruang tamu. Tidak seperti pengantin kebanyakan yang berjalan berdampingan dengan bergandengan tangan, Estu dan Gita berjalan seperti Tuan Putri dan pengawal. Gita di depan dan Estu di belakang Gita. Apakah Estu merasa marah dengan sikap Gita? Tidak sama sekali. Hingga detik ini, meskipun sudah resmi menjadi menantu dari seorang presiden direktur dari PT. Surya Kencana, Estu tidak berubah hatinya. Dia tetap merasa bahwa dirinya adalah Estu yang selama ini hidup dengan berkekurangan dan seorang Office Boy. Baik Estu dan Gita keduanya lalu menandatangani buku nikah. Setelahnya mereka berfoto dengan buku nikah di tangan masing-masing. Terakhir mereka diminta berdiri dan berhadapan. Ini adalah momen yang harus diabadikan. Yaitu penyerahan mahar dari pengantin pria ke pengantin wanita. Itulah yang kemudian Estu lakukan. Di hadapan semua orang yang hadir, Estu menyerahkan mahar berupa mukena kepada Gita. Gita menerima itu dengan malas dan senyum yang merendahkan. Seumur-umur, dari lahir sampai sebesar ini, baru kali ini dia menerima barang murah. Karena terlahir dari Orangtua yang kaya raya, Gita selalu mendapatkan barang yang nomer satu, bermerk, dan yang asli. Bahan sendal rumahnya saja lebih mahal dari harga mukena yang diberikan oleh Estu. Pernikahan ini seperti lelucon bagi Gita. Usai mukena dari Estu diterima Gita dan para fotografer sudah mengabadikan momen itu, Gita diminta oleh penghulu untuk mencium tangan Estu. Tentu saja Gita langsung bergidik mendengarnya. Rasanya tangannya ini jijik bersentuhan kulit dengan tangan Estu yang coklat. Sayang sekali Gita tidak bisa mengelak perintah Pak Penghulu. Dengan berat hati tangan Estu dipegangnya juga dan dikecupnya. Saat itu juga, Estu merasa hidupnya sudah benar-benar berubah. Gita adalah tanggung jawabnya. Tanggung jawab terberat sepanjang hidup. Ijab Qabul sudah, penandatanganan surat nikah sudah, penyerahan mahar sudah, dan foto-foto pun sudah. Kini tinggal acara makan-makan bagi para undangan. Estu dan Gita duduk dipelaminan mungil bersandingan. Tapi tidak berdekatan karena Gita tidak sudi bersentuhan dengan Estu. Estu memang manis, namun kekasihnya jauh lebih tampan. *** Dua jam kemudian para tamu sudah pulang. Suci dan kedua adik Estu pun sudah kembali ke rumah bersama Pak Kades, meninggalkan Esti di rumah yang asing. Perasaan Estu tidak jauh berbeda seperti orang yang terbuang. Di rumah Atmoko ini dia tidak tahu harus kemana selain tetap duduk di ruang tamu bersama Bapak mertuanya. "Gita sudah menjadi istrimu, Estu. Dia sudah menjadi tanggung jawabmu dan bukan tanggung jawab bapak lagi sebagai papanya. Kamu bertanggung jawab penuh atas dirinya saat ini." Estu mengangguk. "Iya, pa. Aku tau sejak saat ini Gita adalah tanggung jawab aku." "Ya, Bapak yakin kamu sudah mengerti. Tapi selain kewajiban, kamu juga punya hak atas diri Gita. Bapak sudah ikhlaskan itu. Kamu sekarang punya hak penuh atas Gita." Estu menipiskan bibir mendengar ucapan Atmoko kali ini. Haknya atas Gita? Rasanya itu adalah sesuatu yang sulit. Dia hanya memberikan mahar sebuah mukena yang murah. Dengan mahar murah itu, apakah dia pantas untuk mendapatkan haknya? Masalah lain adalah, Gita pasti tidak mau disentuh olehnya. Gita terlalu cantik untuk pria miskin sepertinya. Dia dan Gita seperti langit dan bumi. "Oya, satu lagi," Atmoko menambahkan. "Kamu pasti mau tau tujuan Bapak menikahkan kamu dengan Gita bukan?" Estu mengangguk cepat kerena memang ini yang selalu dipertanyakan olehnya. Dia memang sudah menebak alasannya karena Gita bergaul dengan bebas tak terkendali. Tapi benarkah karena itu? "Iya pak, saya ingin tau," jawab Estu. "Karena Bapak sudah menyerah mengurusnya. Dinasehati berkali-kali, tapi tetap saja tidak sadar. Dia terlalu bebas dalam bergaul. Minuman keras sudah biasa. Bahkan mungkin dia sudah tidak perawan lagi. Karena itu, sebelum terjadi hal buruk dalam hidupnya, Bapak nikahkan dia padamu. Tolong bimbing dia agar menjadi lebih baik. Setidaknya dia tau apa yang dilarang. Memang tidak akan mudah, tapi Bapak yakin kamu bisa meskipun dengan waktu yang tidak sebentar." Fix, ini seperti apa yang dia pikirkan. Tapi dia tidak boleh menyesali takdirnya. Mau perawan atau tidak, Gita sekarang adalah istrinya. Dia hanya harus fokus mendidik Gita dan bertanggung jawab sebagai suami. Just it! "Ya sudah, ini sudah malam. Ada baiknya kamu ke kamar untuk beristirahat," tambah Pak Atmoko kemudian. Alis Estu terangkat ke atas. "Ka-mar? Kamar yang mana ya, Pak?" "Tentu saja kamarnya Gita. Memangnya kamu mau tidur di kamar yang mana?" "Ee... bagaimana kalau saya tidur di kamar tamu saja dulu, Pak? Soalnya saya masih tidak enak dengan Nona Gita. Dia pasti tidak suka saya masuk ke kamarnya." "Lha, ya tidak bisa. Tidak ada alasan untuk kamu tidak sekamar dengan Gita. Soal Gita suka atau tidak kamu masuk kamarnya, jangan perdulikan. Kamu itu sudah menjadi suaminya, jadi kamu berhak atas diri dia. Sudah! Pergilah ke kamarnya!" Estu menelan salivanya. Harusnya di malam pengantin yang takut istri bukan suami. Tapi ini kebalikannya. Mau ke kamar Gita rasanya seperti mau ke penjara. "Estu... apalagi yang kamu tunggu?" Atmoko mulai kesal. Sebelum mertuanya itu marah, Estu segera beranjak dari duduknya. "Iya, pak. Saya kesana sekarang." Tanpa memperhatikan lagi ekspresi Atmoko, Estu melangkah meninggalkan mertuanya itu. Dia menuju lantai 2 rumah mewah tersebut, tempat kamar Gita berada. Estu kemudian terdiam memandangi pintu kamar yang tertutup. Dia ragu untuk mengetuk. Bagaimana jika Gita marah melihatnya ada di depan pintu kamar ini? Batinnya. "Mudah-mudahan tidak," sambungnya sendiri. Estu lalu memberanikan diri mengetuk pintu di depannya. Tok! Tok! Tok! "Assalamu'alaikum...." Tak ada Jawaban. Estu mencoba mengetuk kembali. Masih tidak ada jawaban. Akhirnya setelah yang ketiga kali tidak ada jawaban juga, Estu memberanikan di menyentuh handel pintu. Matanya melebar begitu mendapati ternyata pintu tidak dikunci. Pelan-pelan, nyaris tanpa suara, Estu melangkah masuk ke dalam kamar. Namun dia langsung tersentak kaget begitu melihat keadaan kamar. Berantakan seperti kapal pecah. Dan Gita menangis di sudut kamar. Estu tertegun melihat pemandangan ini. Bisa ditebak bahwa Gita mengamuk karena pernikahan ini. Ya wajar saja. Gita sangat cantik dan kaya raya, masak dinikahkan dengan pria seperti dirinya yang kumel dan miskin. Tapi ini sudah terjadi. Apa mau dikata? "Per... misi...." ucap Estu lirih sembari mengarah pandang pada Gita. Wanita yang dipanggilnya perlahan menoleh. Rahangnya seketika mengencang begitu melihat Estu dengan sorot mata penuh kemarahan. Gita mengambil bantal yang ada di dekatnya dan langsung melemparnya ke arah Estu. "Dasar penjilat! Entah apa yang membuat papa menikahkanku kepada gembel sepertimu sehingga tega menghancurkan perasaan putrinya sendiri?! Sekarang kamu puas bukan bisa menghasut papa?! Kita memang sudah menikah, tapi jangan harap aku menganggapmu suami! Sedikit pun aku tidak sudi menjadi istri gembel seperti kamu! Jadi sekarang keluarlah dari kamarku! Tidur di pinggir jalan sana, tempat yang memang cocok untuk kamu!" Estu mengerjapkan mata dimarahi Gita. Ini seperti dugaannya. Gita pasti tidak akan mau menerimanya. Ini seperti sebuah takdir yang keliru. Tak mencoba untuk berkompromi dengan Gita, Estu berbalik dan keluar kamar. Setelah pintu kamar ditutupnya kembali, Estu menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu kamar Gita. "Sekarang aku harus kemana?" Estu bertanya pada diri sendiri. "Mau ke bawah, dimarah Pak Atmoko di suruh masuk kamar Nona Gita. Ke kamar Nona Gita, diusir disuruh keluar. " Tapi sedetik kemudian, dia melihat bayangan orang naik tangga. Estu menoleh dan mendapati Atmoko di tangga tersebut. Estu langsung gelagapan. Atmoko pasti tidak suka melihatnya disini. "Lho, Es, kenapa kamu berdiri di luar?" tanya Atmoko sembari melangkah mendekat. Estu tersenyum getir. "Ee... No... Nona Gita tidak suka aku masuk tuan. Mungkin besok malam saja aku tidur di kamar Nona." "Oh. Tidak bisa. Aku tidak mau melihat kalian tidur terpisah. Ayo, sekarang masuk lagi." Atmoko mendorong pelan bahu Estu. "Tapi tuan...." "Sudah, ayo masuk." Kali ini Atmoko mendorong Estu lebih kuat sehingga mau tidak mau menantunya itu masuk kembali ke dalam kamar Gita. Begitu Estu masuk, Atmoko Langsung menutup pintu dan menguncinya dari luar. Atmoko tersenyum penuh arti sebelum akhirnya melangkah pergi. Di dalan kamar, Estu menggerak-gerakan handel pintu. Tapi tidak bisa terbuka. Ketika berbalik jantungnya seperti mau melompat keluar rongganya begitu mendapati Gita sudah berdiri menatapnya dengan rambut acak-acakan dan sorot mata penuh amarah. Gita jadi tampak seperti seorang zombie. Estu melempar senyum getir. "Maaf Non, pintunya dikunci sama bapak dari luar. Bapak melarang aku tidur di kamar lain. Jadi... terpaksa malam ini aku tidur di kamar ini. Maaf ya, Non." Gita tak bereaksi. Wanita itu terus menatap Estu seolah suaminya itu adalah mangsa yang ingin dihabisi. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN