Restu Ibu

1066 Kata
Mendengar jawaban Estu, Atmoko tersenyum penuh arti. Tapi hanya sekilas karena kemudian dia kembali menatap Estu lekat untuk menegaskan sesuatu. “Kamu sudah tau bukan tentang Gita? Sifatnya? Kelakuannya?” Estu mengangguk. “Ya, pak. Aku sudah tau.” “Dan kamu tidak keberatan?” “Ibu dan adik-adikku memerlukan diriku. Nama baik keluargaku juga menjadi taruhannya. Jadi hal-hal itu lebih penting bagiku.” Estu menjawabnya dengan cukup tegas meskipun da*anya terasa sesak dengan jawabannya sendiri. Atmoko kembali angguk-angguk. Rencananya berhasil sesuai dengan yang dia harapkan. Keadaan Estu memaksa pria muda itu untuk mengikuti alur permainannya. Akhir yang sesuai dengan yang diharapkan. “Kalau begitu, siapkan dirimu dari sekarang. Pernikahan akan dilaksanakan seminggu dari sekarang dan dilakukan secara diam-diam. Hanya ada tiga orang di perusahaan yang akan mengetahui pernikahan itu. Yaitu kami bertiga.” Mendengar kapan pelaksanaan pernikahan itu, Estu mengeratkan genggaman pada ujung nampan yang dipegangnya. Ini bukan lagi masalah kesiapan mental, tapi lain lagi. Dalam waktu seminggu, darimana dia mendapatkan biaya pernikahan yang biasanya lebih besar dibebankan kepada calon pengantin pria? Estu mengangkat wajahnya sedikit, memberanikan diri menatap wajah Atmoko yang tampak sangat serius membahas hal ini. Meskipun dia tahu bahwa dirinya adalah OB kesayangan Atmoko, dia juga tahu bagaimana Atmoko jika sudah marah. Bahkan Gilang yang jarak usianya hanya beda lima tahun dari Atmoko, sangat takut dengan kemurkaan kakaknya tersebut. Intinya, jika Atmoko sudah marah maka tidak ada yang berani menatap wajah pria itu apalagi melawan. Konon, hanya Gita putri sulungnya yang agak berani melawan sang papa. “Ee…maaf sebelumnya pak. Jika pernikahan itu akan dilaksanakan seminggu dari sekarang, aku akan kesulitan mencari biayanya. Sekarang saja aku tidak mempunyai uang pegangan.” Ini bukan protes. Estu hanya menyuarakan keadaan dirinya yang memang serba sulit. Terkhusus masalah keuangan. Dia tidak pernah punya uang tabungan karena gajinya habis untuk biaya sekolah adiknya dan kebutuhan sehari-hari. Kurang sebenarnya, tapi ibunya mengolah sisa gaji setelah biaya sekolah terbayarkan dengan jualan nasi uduk di depan rumah setiap habis subuh hingga jam 11 pagi. Atmoko menggoyang-goyangkan telapak tangannya ke arah Estu. “No no no. Jangan kamu pikirkan masalah biaya pernikahan karena pernikahan itu akan dilakukan dengan sangat sederhana dan tidak mengundang orang. Yang perlu kamu siapkan hanya mahar saja. Siapkan mahar sesuai dengan kemampuan kamu saja. Mengerti, Estu?” Yang menyesakkan da*anya menguar seketika. Meskipun dia tidak tahu pernikahan seperti apa yang akan dijalani di depan, pernyataan Atmoko cukup membuatnya lega. Mempersiapkan mahar mungkin tak akan memerlukan uang terlalu banyak. Dan yang terbersit dalam benaknya adalah sebuah mukena. Estu mengangguk. “Iya, pak. Aku mengerti.” *** “Assalamu’alaikum.” Estu mengucapkan salam sembari melangkah masuk ke dalam rumah. Kemudian dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi butut yang ada di ruang tamu itu. Sebuah balasan salam terdengar dari arah dalam yang bergerak menghampiri. “Wa’alaikumsalam. Estu. Sudah pulang nak?” Estu mengangguk lesu. Wajahnya terlihat sangat tidak bersemangat. Beban tentang pernikahan yang akan terjadi seminggu lagi membuatnya gelisah. “Iya, bu.” Estu menarik sedikit punggungnya dari sandaran kursi dan menyalami tangan ibunya. Dalam keadaan apapun, ibu adalah manusia yang harus paling dia hormati. Bukan seorang ibu jika tidak bisa membaca sesuatu yang sedang terjadi pada anaknya. Suci pun menyentuh lengan Estu lembut. “Kamu kenapa? Ada masalah di tempat kerja?” Estu menundukkan wajahnya. Dia tidak akan menunda untuk mengatakan apa yang terjadi pada ibunya tersebut. “Iya, bu. Ada masalah yang berat di tempat kerja?” Kening Suci mengerut. Perasaan takut langsung menyergap seketika. Estu sangat mencintai pekerjaannya dan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Bahkan Estu tidak pernah datang terlambat ke tempat kerja hanya agar dirinya tidak terkena masalah. Tapi barusan… “Masalah apa? Ceritakan semua pada ibu, jangan ada yang kamu tutupi.” Terdengar sekali Suci tidak sabar untuk mendengar cerita dari putra sulungnya tersebut. Estu menoleh pada Suci dengan mata yang berkaca-kaca dan sebongkah harapan. Dia berharap hati ibunya tak hancur lebur mendengar apa yang akan dia kisahkan. Kalaupun ibunya merasa sakit, semoga saja tidak parah. Estu balas menggenggam tangan Suci. Dia menarik nafas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Yaitu tentang dokumen yang hilang dan syarat agar dirinya terbebas dari jerat hukum. Tak ada yang dia sembunyikan karena kesepakatan dengan Atmoko sudah dibuat. Bahkan terhitung tujuh hari dari sekarang, dia harus menyiapkan diri untuk pernikahan itu. Suci mendengarkan cerita Estu dengan penuh perhatian dan tanpa keinginan untuk menyela. Dia terkejut dengan cerita Estu namun menyembunyikan keterkejutan itu dalam diamnya. Apa yang dialami Estu tentu sudah menjadi tekanan bagi sang putra, maka dia tidak ingin menambah lagi tekanan yang lain dengan apa yang dirasakannya. “Jadi begitu ceritanya, bu. Kita hanya orang kecil yang tak akan sanggup menghadapi kuasa mereka. Maka dari itu aku langsung menyetujui syarat dari Pak Atmoko.” Estu mengakhiri ceritanya. Dia menatap Suci takut-takut untuk memastikan reaksi apa yang tergambar di wajah sang ibu yang meskipun sudah paruh baya tapi masih terlihat cantik. Tapi Suci menampakkan wajah datar yang membuat kedua alis tebal Estu terangkat ke atas. Suci yang beberapa saat lalu hanya diam saja, tiba-tiba melengkungkan senyum. Dia lalu menyentuh wajah Estu lembut. “Ya sudah. Jalani saja ini. Kalau memang harus begini, ibu tidak apa-apa. Ibu tau kamu tidak bersalah dan tidak berdaya. Dipikir-pikir ini tidak terlalu buruk untukmu. Gadis itu mungkin memang sudah menjadi jodohmu.” Estu menarik tangan Suci yang ada di pipi dan menggenggamnya erat seolah memberi kekuatan atas apa yang akan dikatakannya sekarang. “Ibu memang benar, mungkin dia memang jodohku. Tapi Gita bukan gadis baik-baik, bu. Dia terkenal liar dan terjerumus pada pergaulan bebas. Pak Atmoko menjebakku seperti ini mungkin karena dia sudah tidak perawan atau bahkan sudah hamil. Dia juga gadis yang manja yang tidak akan bisa membantuku merawat ibu jika ibu sudah tua nanti.” Suci menggelengkan kepala beberapa kali. “Sudah, sudah. Kamu jangan mempersulit dirimu dengan memikirkan ibu. Dari dulu ibu dan adik-adikmu selalu menjadi prioritas utama kamu. Jika kamu terus seperti ini, maka akan lelah karena terus menjejali otak di luar kapasitas. Bagaimana pun gadis itu, jika kamu sudah memutuskan untuk menikahi dia, maka ibu akan menerimanya menjadi menantu. Jika dia memiliki sifat dan kebiasaan yang buruk, maka tugasmulah sebagai suami untuk membimbingnya hingga dia menjadi baik.” Estu tertegun mendengar jawaban Suci. Ibunya ini memang sangat bijaksana setiap kali menyikapi sesuatu. Itu sebabnya dia semakin menghormati Suci. “Terima kasih ya, bu. Terima kasih untuk pengertian ibu.” Suci tersenyum sembari mengusap pundak Estu. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN