Sekitar 15 menit, Delina sudah selesai dengan makanan malamnya, lalu berjalan gontai menuju wastafel dapur untuk mencuci piring sisa makan. Di sana masih teronggok cucian piring kotor dan alat bekas masak, sepertinya ibu sibuk di warung, sehingga belum sempat mencuci piring.
Setelah selesai mencuci semua piring, ia kembali ke kamar. Benda pertama yang diraihnya adalah HP. Sesudah menghidupkan tombol kunci layar, muncul notifikasi pesan dari 30 menit yang lalu. Delina membukanya.
“Gak ah males, barusan juga aku ke rumah, kaum nya sibuk,” kata isi pesan itu. Seketika mata Delina terbelalak. Nama yang muncul bukan Mimi tapi Ilham. Astaga, rupanya Delina salah kirim pesan saat buru-buru tadi, sehingga ia asal pencet saja.
“Aduh, A Ilham maaaafff, salah kirim! Jadi malu.” Delina membubuhkan emot sedih dan ekspresi pipi memerah.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, tidak ada balasan, bahkan pesannya belum terbaca. Delina menaruh HP di pinggir bantalnya, kemudian menutup muka dengan boneka Hello Kitty besar.
“Bodoh... bodoh... bodoh... kenapa bisa salah kirim, sih. Malu-maluin aja,” Delina menyesali dirinya dalam hati. Makin bertambah-tambah saja perasaan malu Delina kepada Ilham.
Antara mengantuk dan tersadar, ia mendengar bunyi notifikasi pesan di HP. Sebelum membukanya, Delina melihat jam di layar sudah hampir menunjukkan pukul 3 dini hari. Ternyata ia memang benar-benar ketiduran.
“Yaaaa, kirain beneran ngajakin main ke rumah nanti Sabtu, padahal jadwal aku lagi kosong lho,” balas Ilham.
“Iya, A, maaf ya, mau kirim ke teman, malah salah kirim,” kata Delina, mukanya memerah seolah-olah Ilham ada di depannya.
Sebetulnya Ilham juga sudah menduga sejak pertama, kalau pesan itu bukan ditujukan untuknya.
“Lho, kamu belum tidur, Lin? Besok emangnya gak sekolah?” balas Ilham merubah topik.
“Ini baru bangun, A. Ketiduran barusan,”
“Oh, nungguin balasan aku bisa apa nggak ya?” kata Ilham ditambah emot tertawa.
“Udah dong jangan di bahas lagi, A. Jangan bikin aku makin malu nih,”
“Biasa aja, Lin, malu kenapa emang? Apa perlu aku pura-pura gak baca aja ya?” canda Ilham.
“Tuh kan mulai lagi... “ menambahkan emot jengkel.
“Ya udah, maaf! Lho, kok jadi malah aku yang minta maaf ya?” balas Ilham. Dibalas emot senyum oleh Delina.
***
Ilham baru saja tiba di rumah, ketika membalas pesan Delina yang baru dibacanya. Sedari tadi HPnya disimpan di atas meja studio, saat latihan Band. Dan belum sempat dibuka-buka lagi, terakhir saat membaca pesan salah kirim dari Delina.
Selain pesan dari Delina ada beberapa pesan lainnya yang memenuhi bilah notifikasi, yang juga belum sempat dibaca. Beberapa pesan hanya dilihat saja, bahkan beberapa lagi malah dilewat.
Ilham masuk ke dapur dan membuka kulkas, baru saja ia berniat mengambil coklat, tiba-tiba teringat bahwa semua coklat sudah diberikannya pada Delina siang tadi. Teringat tentang Delina membuatnya tersenyum.
Kata-kata di pesan salah kirim Delina itu pun kembali menari-nari di pikiran Ilham.
“Hari Sabtu siapa yang diminta datang ke rumahnya ya?” tiba-tiba terbesit rasa penasaran di benak Ilham. Tapi kemudian ditepis.
“Hmm… apa urusannya denganku. Eh, tapi… tapi… “
Setelah Ilham mengambil minuman ringan dari dalam kulkas kemudian duduk di sebuah kursi tinggi di dapurnya, mirip kursi yang biasa berjajar di meja bar. Ia menyambar ponsel, kemudian membuka kunci layar, wajahnya terlihat sangat serius. Sedang membalas pesan.
“Sorry, baru bales. Baru beres latihan. Sorry juga, Sabtu gak bisa kayaknya, baru inget saya ada acara penting ternyata. Maaf banget ya!” pesan terkirim. Itu balasan untuk pesan dari seorang teman kuliahnya.
Hanya selang hitungan detik, Ilham kembali masuk ke aplikasi chatting, dan mencari-cari kontak Rico. Ada beberapa pesan yang sempat di kirim Rico sore tadi. Isinya gak penting, cuma menanyakan soal pesanan makanan, dan sisanya menanyakan harga stik drum.
“Ric, lu Sabtu ke studio gak? Gue ada perlu nih, tar Sabtu gue ke rumah ya!” tak lupa dibubuhkan tanda seru agar terkesan urgen.
Setelah itu ia masuk ke kamar, mematikan HP, dan berniat istirahat sebentar, barang sejam dua jam, sebelum bersiap-siap kuliah pagi.
***
Jam menunjukan pukul setengah enam pagi, saat Ilham sedang membuat telur mata sapi untuk sarapan di dapurnya yang berkonsep minimalis. Tiba-tiba terdengar notifikasi pesan dari HP. Ilham meraihnya, lalu membaca pesan yang masuk sambil memegang sutil di tangannya yang lain.
“Gue ada kerjaan sabtu, Bro. Tapi bentar kok. Emang lu perlu apaan? Datang aja, pintu rumah gue selalu terbuka buat lu,” balas Rico ditambah emot love.
“Jijik banget sih lu, pake tambah emot love segala, makanya cari gebetan, biar ada penyaluran,” Ilham tertawa membalas pesan Rico.
“Lha, lu sendiri emang punya?” balas Rico lagi.
“Kalaupun ada, kayaknya gak perlu pengumuman ke lu juga Ric.”
“Siapa… siapa… ??” Rico penasaran.
“Kepo lu,” balas Ilham sambil menyuapkan telur mata sapi ke mulutnya.
“Jangan bilang orang yang disamping kamar gue ya,” goda Rico.
Ilham langsung tersedak, kemudian buru-buru meraih gelas di hadapannya, menuangkan air mineral, dan meminumnya hingga habis. Pipi Ilham seketika memerah, dan hatinya menjadi berdebar membayangkan orang yang dimaksud Rico. orang yang kamarnya di sebelah kamar Rico siapa lagi kalau bukan dia.
“Berisik lu, pagi-pagi udah gosip. Jadi intinya sabtu gue boleh ke rumah lu ya,” Ilham memastikan.
“Lu tinggal datang aja, gak perlu bilang pun gak bakal gue usir, Ham,” diikuti emot love lagi hingga beberapa baris.
Ilham tak berkata apa-apa hanya membubuhkan emote love pada pesannya, diikuti emot tertawa lebar.
“Cie…akhirnya, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Eh, gak perlu gue forward chat yang ini ke dia kan?” Ilham tertawa. Ilham tahu maksud Rico.
"Forward aja kalau lu berani, abis itu lu dipecat jadi temen!" ancam Ilham, ia tertawa, dan ia tahu Rico pun pasti sedang tertawa membaca pesan ini.
"Ya elah, lagian ngapain juga, gue tahu emote love itu buat gue seorang kan..."
"Najis banget... ha... ha..." canda Ilham.
"Ya udah, intinya Sabtu lu tinggal ke rumah aja ya!"
Pesan Rico tak lagi di balas karena jam menunjukan hampir pukul setengah tujuh, waktunya pergi ke kampus. Dengan cepat, Ilham meraih kunci mobil, dengan teknologi canggih di dalamnya, pintu mobil terbuka secara otomatis, dia masuk dan duduk di dalamnya, merapikan rambut di depan kaca spion, pintu tertutup, mobil melaju cepat dengan efek suara decitan ban menyentuh aspal. Sangat keren.
Tepat di pertigaan Ilham mengurangi laju kecepatan, dengan teliti ia memperhatikan trotoar, terlihat ada beberapa anak berseragam sekolah sedang berdiri mencegat angkot. Ilham mencari Delina. Tapi hari ini tampaknya mereka tidak ditakdirkan berpapasan. Hingga ujung trotoar Ilham tidak menemukan orang yang ia cari, akhirnya mobil pun kembali digas dan melaju dengan kecepatan tinggi.
***
Hari Jumat adalah hari paling bahagia buat kebanyakan siswa sekolah, karena mereka bisa menikmati long weekend. Delina? Bisa bahagia bisa juga biasa-biasa, karena saat akhir pekan itu artinya waktu kerja lembur di lapak ayam potong.
Sepulang sekolah, sambil menyusuri gang sempit menuju rumahnya, yang hanya bisa dilalui satu motor, Delina tengah menyusun kata-kata untuk meminta izin kepada Linda agar diperbolehkan menghadiri ulang tahun temannya.
Sebetulnya Delina sudah tahu jawabanya, pasti ditolak. Tapi paling tidak ia sudah berusaha, kalaupun mendapat jawaban “tidak" ia tak akan menyesal. Sesampainya di rumah, ia sudah mempersiapkan kata-kata dengan mantap, namun kembali urung ketika melihat Linda yang tengah sibuk melayani pelanggan. Rasa kasihan melihat ibunya pun memenuhi hatinya.
Linda melihat Delina pulang, lantas memanggilnya,
“Lin, tar sudah salin baju, bantu Mama di warung ya!” teriak Linda.
“Siap, Boss!” balas Delina.
Tanpa pikir lama ia segera masuk kamar, dan bertukar pakaian, Delina pun sudah siap menjadi karyawan “Warung Ayam Potong Linda".
“Eh, Delina sudah pulang,” sapa salah satu ibu yang mengantre.
“Iya, Bu!” Delina tersenyum.
“Gak terasa sudah punya anak gadis lagi ya, Ceu,” komentar yang lain.
Delina kembali tersenyum.
“Bentar lagi dapet mantu dong ya?” ucapnya lagi.
“Ah, Bu, masih kecil Bu, sekolah dulu aja yang bener,” respon Linda sambil tertawa.