Bagian 1

564 Kata
PLEASE VOTE, COMMENTS AND SHARE CERITA INI Happy reading ♡´・ᴗ・`♡ "Aestela Nigaluh Ergayudhi" Seorang gadis bermata bulat itu langsung tersenyum manis sambil berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan elegant menuju sebuah panggung diringi tepukan yang begitu meriah. Melambai pelan pada penonton lalu tangannya terulur mengambil piala kemengannya. "Selamat, kau sudah memenangkan ajang Olimpiade ini selama 6 tahun berturut-turut, semoga tahun depan kau bisa menang lagi, haha," Estel tertawa pelan mendengar ucapan si pembawa acara, membuat beberapa penonton terkagum. Ah, betapa sempurnanya dia. Aestela atau lebih dikenal dengan Estel, siapa yang tidak kenal dengan dia? Gadis cantik juga cerdas yang sudah memenangkan lomba - lomba bergengsi selama 6 tahun terakhir. Ia juga merupakan seorang putri pengusaha terkenal yang memiliki cabang hampir di semua belahan dunia. Di usianya ke 17 tahun ini, Ia sudah berhasil mendapatkan lebih dari 20 piala kejuaraan mulai dari tingkat sekolah hingga nasional. "Saya ucapkan terimakasih pada Ayah saya yang sudah mensupport saya dalam ajang Olimpiade Matematika ini." Suara Estel yang merdu seakan menghipnotis para penonton. Suasana hening seketika. Estel tersenyum manis lalu melanjutkan, "Dia satu satunya penyemangat yang saya punya sekarang. Tanpa dia mungkin saya sudah kalah di babak awal kemarin, Thank you dad, love you," Kini suasana kembali riuh oleh tepuk tangan. Estel tertawa manis lalu turun dari panggung sambil melambai pelan. *** "Bagus. Tahun depan kau harus memenangkannya lagi." "Kau ingin hadiah apa? ayah akan membelikannya sekarang juga. Katakan saja." Ucap Andreas sambil memandang anak semata wayangnya. Estel tersenyum manis "Estel mau ayah besok nemenin Estel belanja ke mol, terus kita pergi ke taman bareng - bareng, kayak yang kita lakuin dulu waktu bunda masih ada," "Tidak bisa Estel. Bukankah kau tau sesibuk apa ayah sekarang? Besok ayah ada meeting penting. Ayah tidak mau membuang buang waktu untuk hal yang sangat tidak penting seperti itu." Tegas Pria paruh baya tersebut. Senyum Estel luntur seketika. "G - gak penting yah?" Estel mengusap air matanya yang tiba tiba turun. "Jadi menurut ayah Estel ga penting?! Kenapa sih ayah selalu mentingin kerjaan ayah daripada Estel?! Estel kesepian di rumah! Ayah juga ga biarin Estel main sama temen temen Estel di sekolah kan? Estel pengin punya temen!" Tangis gadis itu pecah seketika. Andreas tersenyum sinis "Teman temanmu itu sampah semua. Kasta kalian berbeda. Kenapa kau tidak pernah mengerti?! Tugas mu sekarang cukup belajar! BE-LA-JAR! PAHAM?!" Estel tersenyum miris, lalu berlari menuju kamarnya. Sungguh. Ia lelah. Ia kesepian. Ia merindukan Ibunya. *** “Hallo? Baby? Hei? Kenapa menangis? Kau baik baik saja?!" Estel tersenyum tipis. Ia tidak sendirian. Ia masih punya Vena. Alvena Atmaja, sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri. "Gua kangen sama lo ven, makannya gua nangis." Sedetik kemudian Estel merdengar suara tawa nyaring di seberang sana. s**l, kenapa ia harus mengucapkan hal bodoh seperti itu. Estel menampar bibirnya sendiri. Lalu meringis. Sakit ternyata. "Kemarin sore kan kita baru ketemu baby, besok pagi juga bakal ketemu lagi kok disekolah. Lebaii. Eh tapi gua emang ngangenin sih, ahahaha" Estel mencibir, pasti Vena sekarang lagi ketawa ketiwi monyet. "Udah ah, gua matiin ye? mau tidur, cape woy jadi juara terusss," "sombong ya lu sekarang, yaudah sana semoga mimpiin gua ahahaha," Estel tersenyum tipis, tidak masalah jika ia harus memimpikan Alvena, daripada ia harus memimpikan ayahnya? itu benar benar mimpi buruk yang sangat Estel benci. *** Segitu dulu yaa, untuk visualisasi tokoh lainnya bakal aku kasih di next chapter owkeii ; jangan lupa vote yaw?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN