Part 1. The Adikusumos

2766 Kata
Hai, kenalkan, namaku Reina Adikusumo, sebagian dari kalian mungkin sudah tahu aku di cerita yang berjudul ‘Bos vs Sang Asisten’. Peranku di situ tidak banyak, yaah hanya sebagai cameo. Tapi ada banyak permintaan tentang kisah hidupku karena seorang lelaki tampan bernama Abdi, yang sering mengangguku. Di kantor Abdi memang bawahan kakakku tercinta, Reino Adikusumo, eeum lebih tepatnya bukan hanya sebagai bawahan sih, tapi merangkap sahabat, supir dadakan yang harus standby tiap kali dibutuhkan juga tempat curhat. Nah, kali ini aku akan ceritakan kisah hidupku di lapak pribadi ini ya. Siapkan tisu karena akan ada banyak kebaperan di cerita ini.. Saat ini aku sedang menunggu sulungku berenang. Walau baru berumur tiga tahun tapi dia sudah cukup jago berenang loh. Mungkin karena pakdenya, kakakku - Mas Reino, yang rajin mengajari si kakak. Mas Reino sangat sayang pada kedua jagoanku, mungkin karena tahu bahwa mereka diabaikan oleh papa mereka sehingga Mas Reino menggantikan tugasnya. Seperti kali ini juga si kakak berenang bersama Mas Reino di rumah mama. Kebetulan Mas Reino sedang berada di sini karena kangen pada mama dan dua keponakannya. Melihat keakraban keduanya, membuat hatiku terenyuh. Seharusnya si kakak diajari berenang oleh papa kandungnya, Mas Alan, bukan oleh pakdenya yang ngotot dipanggil Om Reino agar tetap muda. Seandainya saja kami masih bersama, pasti aku akan sangat bahagia melihat kebersamaan dua jagoanku bersama papanya. Mungkin aku sekarang akan tersenyum bahagia sambil menyuapi si adik, bisa jadi aku hamil anak ketiga juga kan? Huuuufft… Yaa sudahlah, bagaimanapun juga itu masa lalu yang harus aku terima. Kisah kami berdua tidak mungkin bisa terulang lagi. Hatiku terlalu sakit mengingat semua derita dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Mas Alan. Andai saja aku tahu bahwa pernikahanku hanya akan seumur jagung, mungkin aku akan menimbang saran Mas Reino dulu, yang keberatan aku menikahi Mas Alan. Tapi jika sudah cinta, tentu saja semua logika menjadi tumpul. Otakku berkelana ke masa empat tahun lalu, saat kebahagiaan masih berpihak padaku. Seharusnya sejak awal aku sudah merasa kejanggalan pada sikap Mas Alan yang jika dipikir sekarang ini, memang tidak pernah membanggakanku sebagai istrinya, setidaknya mengakuiku sebagai istrinya. Aku ingat sekali, waktu itu adalah jadwal pengepasan baju pengantin. Sekarang aku bisa tersenyum mengingat hal bodoh itu, walau senyumku miris, bukanlah senyum bahagia. Sudah banyak tanda-tanda dari Mas Alan yang menunjukkan bahwa dia tidak pernah mencintaiku, hanya saja mata dan hatiku saat itu dibutakan oleh cinta, sayangnya itu adalah cinta semu. *** Empat tahun lalu, saat umurku 24 tahun Nanti malam ada pesta yang diadakan di rumah untuk menyambut kehadiran Mas Alan, calon suamiku, dan keluarga besarnya. Aku sungguh panik, dari tadi malah bengong saja karena Mas Alan sama sekali tidak memberikan info akan sampai rumah jam berapa. Padahal aku sudah bersiap dari subuh tadi. Meni, pedi, lulur, waxing, creambat dan lainnya. Semua aku lakukan demi bisa tampil paripurna di depan Mas Alan dan keluarganya. Aku dengar ada kehebohan di depan. Kuputuskan untuk mengintip sedikit, semoga saja tidak terjadi keributan yang malah akan membatalkan acara ini. Huwaa, aku sangat malu jika acara ini akan gagal. Tapi mataku membola saat melihat kakak lelakiku, Mas Reino, sedang bertengkar hebat dengan papa yang datang bersama istri mudanya. Mas Reino masih sangat membenci istri muda papa, istri muda yang benar-benar muda karena lebih pantas menjadi anaknya! Istri muda papa seumuran denganku! “Aku tidak mau hidup Reina menderita karena perjodohan ini. Jika Reina menikah, itu harus dengan lelaki yang dicintainya dan juga mencintai dia. Bukan karena dipaksa menikah seperti ini!” Gelegar suara Mas Reino membuat orang-orang yang ada di sekita situ menjadi ketakutan. Mas Reino orang yang introvert, jadi tertutup sejak papa dengan seenak jidatnya meninggalkan mama dan berpetualang dari satu perempuan ke perempuan lain. “Aku juga tidak mau lihat wajah culas perempuan murahan ini. Jika Anda, Tuan Adikusumo yang terhormat, mau tetap hadir di acara ini, silakan hadir tapi hanya Andar pribadi. Kami tidak mengundang perempuan ini. Kalau Anda tidak mau, silakan sekalian Anda pulang!” Aku menepuk keningku saat melihat Mas Reino menunjuk ke arah pintu rumah, artinya secara tidak langsung dia mengusir papa dan istri mudanya itu. “Reino, kamu tidak boleh berbuat seperti itu. Istighfar nak, duduk sini dekat mama. Sebentar lagi keluarga Alan akan segera sampai. Jangan bikin malu mama deh, kita harus melakukan persiapan untuk nanti malam bukan malah bertengkar.” Beruntung mama melembutkan hati Mas Reino. Bagai kerbau dicocok hidung, Mas Reino menuruti perintah mama. Hanya pada mama saja, Mas Reino jadi penurut. Dan hanya pada papa saja Mas Reino jadi seorang pembenci! Sebuah dua sisi mata uang yang membuat Mas Reino jadi kuat tapi juga lembut di saat bersamaan. “Jika Reina menderita dalam kehidupan rumah tangganya, aku akan pastikan hidup Anda juga akan menderita!” Ancam Mas Reino pada papa. Entah sejak kapan Mas Reino memanggil papa dengan sebutan Anda. Itu pasti karena rasa benci dan dendam yang meluap dari Mas Reino pada papa. “Menderita bagaimana sih? Kenapa kamu tidak tanya pada Reina saja? Dia juga menyukai Alan. Itulah kenapa aku mempercepat pernikahan mereka. Alan itu lelaki yang baik dan bertanggung jawab, dia cocok menjadi suami Reina. Tanya saja kau ke Reina!” Jawab papa tak kalah keras. “Tapi….” Mas Reino masih berusaha membantah. “Reino Adikusumo! Berhenti dan duduk sini di sebelah mama! Tidak usah bertengkar lagi! Kita mulai pertemuan ini, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau! Ingat, saya tuan rumah di sini, jadi semua harus menurut pada apa yang saya katakan." Suara tegas mama semakin membuat istri muda papa ketakutan, mengkeret, tidak mampu berkata apapun. Dia malah semakin merapatkan tubuhnya ke papa, membuat Mas Reino semakin mual.  “Kamu yakin dengan hal ini Reina? Kamu kan gak kenal lelaki itu! Jangan sampai kamu menggadaikan kebahagiaanmu karena keinginan tidak jelas seorang lelaki yang sama sekali tidak mau bertanggung jawab pada kita! Aku tidak mau kalau kamu hidup menderita karenanya. Kamu cantik, pintar, mapan. Tidak kurang suatu apapun padamu. Ada banyak lelaki baik lainnya yang aku tahu mencintaimu dengan tulus.” Sekali lagi aku mendengar penolakan dari Mas Reino. Saat ini sedang ada pertemuan makan malam keluarga. Ada aku, mama, Mas Reino, papa dan istri barunya yang masih kinyis-kinyis, mungkin lebih muda dariku. “Apa maksudmu Reino? Jangan bersikap kurang ajar padaku, aku papamu!” Bentak papa, membuatku kaget. “Tuan Adikusumo yang terhormat, jangan berkata kurang ajar di sini. Cobalah bercermin, lihat, siapa di dalam cermin itu ada siapa, itulah orang yang tidak bertanggung jawab pada keluarganya, pada anak istrinya!” “Jaga mulutmu, dasar kamu bocah!” Papa menggebrak meja dan berdiri berhadapan Mas Reino, beruntung ada meja sebagai pemisah, karena kalau tidak pasti akan terjadi baku hantam di sini. “Tidak usah berdiri Tuan Adikusumo yang terhormat, hormati kami sebagai tuan rumah. Kami tuan rumah di sini dan Anda berdua, bersama perempuan murahan ini, adalah tamu di rumah kami. Jadi, silakan kembali duduk atau angkat kaki dari rumah ini!” Bukannya mendingin, suasana malah semakin panas. Aku melirik ke arah mama yang duduk bersandar, bersedekap, seperti menikmati apa yang sedang terjadi. Kenapa aku bilang menikmati? Karena bibir mama tersenyum tipis, mata mama yang biasanya teduh sekarang menatap tajam ke arah istri muda papa, yang benar-benar masih muda. “Kamu…!!!” “Ma…. bantuin dong ma, jangan bikin acara ini jadi adu jotos antara Mas Reino dan papa.” Pintaku pada mama. Aku menggoyang tangan mama agar segera bertindak. Mama tersenyum dan mengangguk, akhirnya aku bisa bernafas lega karena aku tahu, yang bisa mengendalikan Mas Reino hanyalah mama. “Kalian berdua sama-sama lelaki dan berbagi darah yang sama. Malam ini adalah acara makan malam yang sengaja aku buat agar kita enak berbicara. Jadi, tolong, jaga sikap kalian, behave. Reino, jangan berkomentar lagi. Mama tahu kamu dendam, tapi sudahlah, kasian adikmu ini malah kebingungan gini.” Kata mama dengan penuh wibawa. Kenalkan mamaku, beliau adalah Prabawati Adiwangsa, seorang perempuan super tangguh, cantik, pintar, kuat. Dengan darah biru yang mengalir di tubuhnya, membuat mama selalu tampil anggun di depan orang lain, tapi sangat penyanyang dan tidak mau berpura-pura pada kami, kedua anaknya. Walaupun dikhianati oleh papa, tapi mama tidak pernah mengeluh. Mama malah menunjukkan bahwa beliau mampu untuk menjadi seorang ibu sekaligus bapak bagi kami, aku dan Mas Reino. “Iya mah, tapi aku tetap tidak rela kalau Reina terpaksa menerima perjodohan ini karena perjanjian konyol seseorang di masa lalu pada temannya.” Tetap saja, Mas Reino berkata iya tapi tidak ikhlas. “Dari tadi Reina diam saja, kita belum mendengar sama sekali apapun keputusan Reina. Yang akan menjalani pernikahan adalah Reina, bukan kamu Reino. Jadi kita dengarkan dulu apa pendapat adikmu ini.” Sebagai seorang perempuan Jawa yang penuh tata krama, sekali mama berkata dengan tegas, akan membuat Mas Reino dan papa terdiam. Mungkin ini yang membuat papa meninggalkan mama karena mama terlalu sempurna untuknya. “Jadi gimana Reina? Kamu menerima ini?” Tanya papa padaku dengan suara yang melembut, tidak sekeras jika berbicara pada Mas Reino. “Waktu melihat foto Mas Alan yang diberi papa, aku lihat lelaki itu adalah seorang lelaki baik-baik, kupikir jika kami bisa mendapatkan kesempatan untuk berkenalan lebih dekat, kami bisa tahu kepribadian masing-masing pah.” Jawabku. Mas Reino mendelik ke arahku, masih saja tidak rela karena aku menerima ide papa menikah dengan anak kenalannya. “Baiklah, kalau begitu papa akan atur jadwal agar kalian bisa bertemu. Alan lelaki baik dan sopan, terutama pada orang tua, tidak seperti kakakmu ini.” Sindir papa pada Mas Reino. “Mungkin itu karena Alan diajari sopan santun oleh bapaknya yang tidak pernah berkhianat pada keluarganya kan? Beda dengan kakaknya Reina yang harus menjadi kepala keluarga sejak sang bapak berkhianat dan memilih pergi dari keluarganya!” Jangan salah sangka, Mas Reino ini sebenarnya lelaki pendiam tapi jika sudah berhadapan dengan papa maka dia akan menjadi seorang lelaki nyinyir, entah kenapa. Mungkin mama benar, Mas Reino masih menyimpan dendam karena papa meninggalkan kami demi perempuan lain. “Iya pah.” Jawabku, sambil menendang kaki Mas Reino agar diam, tidak memperpanjang masalah lagi. Andai aku tahu siapa sebenarnya Mas Alan, aku pasti akan menuruti apa kata Mas Reino. Tapi aku hanya bisa berandai-andai, karena ini memang jalan hidup yang harus aku jalani. *** Papa dan istrinya sudah pulang, usai pertemuan kami yang tidak berjalan lancar seratus persen. Kali ini tinggal aku, mama dan Mas Reino yang masih melanjutkan mengobrol santai. Terlihat jelas di wajah Mas Reino yang masih gusar. “Mama kenapa sih gak usir itu perempuan yang tadi dibawa ke sini? Kita kan tidak undang dia!” Benar kan, Mas Reino masih saja mengomel tidak jelas. “Ya ampuuun No, dia lihat mama aja udah kicep gitu, buat apa mama usir? Yang ada ntar dia bikin status nyinyir. Bertemu dengan Mantan Istri si Papa, dan aku diusir! Dih, malas mama. Udah deh, mendingan kita fokus ke Reina dulu nih jadinya gimana.” Mama dan Mas Reino ini memang cocok dalam hal seperti ini, protektif! “Iya Na, kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu tadi? Emang kenapa kamu mau dijodohin sama Alan itu sih? Kalau kamu mau, aku bisa cari calon suami yang paling pas buatmu, yang gak berani macam-macam ke kamu!” Tanya Mas Reino padaku dengan nada tajam. “Kamu ini kalau ngomong yaa, gak usah jauh-jauh cariin jodoh buat adikmu, kamu sendiri gimana coba?” Tanya mama sambil mengeplak lengan Mas Reino memakai serbet. “Aduuuh, apa sih mah? Emang aku kenapa?” Tanya Mas Reino dengan wajah sok polos. “Reina itu adikmu, kamu yang seharusnya mencari istri lebih dulu. Mana itu calon istri yang mau dikenalin ke mama?” “Hehehe… “ Mas Reino meringis, mengelak pertanyaan mama, tidak mau menjawabnya dan mengalihkan perhatian. “Na, aku akan cari info dulu tentang si Alan ini. Sampai aku mendapatkan info yang valid tolong kamu tidak bilang ya dengan perjodohan ini. Feelingku gak enak nih sama si Alan ini.” Mas Reino memintaku berhati-hati pada Mas Alan. Aku tersenyum, membayangkan dua orang ini yang sangat menyayangiku sehingga bersifat overprotective. “Iya Mas. Tapi kalau cuma bertemu dulu boleh kan ya?” Tanyaku. “Boleh, tapi aku ikut.” “Aku kan bukan anak SMA lagi, kenapa masih diikuti sih? Ma… itu Mas Reino dong…” Rengekku pada mama. Mama hanya melihatku dengan malas. “Gak papa, kakakmu kan harus tanggung jawab pada dirimu juga. Tapi ntar harus dari jauh ya No, jangan satu meja sama mereka.” Titah mama membuatku bisa mendesah lega. “Reina, emang apa sih yang membuatmu bisa suka sama tuh si Alan? By the way, kalau dia membuat masalah denganmu, aku gak akan segan ganti namanya jadi s****n!” Lagi-lagi Mas Reino masih saja menuntut jawaban dariku. “Euum apa ya Mas? Kalau ditanya gitu aku ya gak bisa jawab, tapi Mas Reino kan tahu sendiri, aku susah dapat teman yang beneran tulus, gak melihat status keluarga kita. Palingan kan cuma satu dua orang aja yang aku bisa bersahabat.” “Terus menurutmu, Si Alan ini bisa tulus gitu?” “Dari wajahnya sih sepertinya orang baik-baik deh Mas, semoga dia bisa menjadi suami dan imam yang bertanggung jawab.” “Oke. Tapi ingat ya Na, kalau dia macem-macem sama kamu, aku akan buat dia menyesal dilahirkan di dunia ini!” Kata Mas Reino dengan geram. Pletaaak!!! Sekali lagi mama memukul Mas Reino dengan serbet. “Mama apa sih? Dari tadi aku dikasih serbet mulu dah.” “Jangan sok-sokan jadi psikopat, pakai mengancam menyesal dilahirkan di dunia ini. Mana itu calon istri yang solehah?” Bentak mama. “Iyaaa mamakuuu, ntar juga nemu kok.” Jawab Mas Reino, jenaka. “Di tempat penitipan barang ya?” *** Hari ini aku akan bertemu dengan Mas Alan. Semalam papa menelponku, memberitahu bahwa besok kami bisa bertemu di sebuah restoran khas Sunda. Kata papa mumpung Mas Reino sedang ke luar kota jadi aku bisa bertemu Mas Alan dengan bebas tanpa dikuntiti. Hmmm… benar juga sih. Aku mengiyakan dan di sinilah aku sekarang. Duduk manis menunggu Mas Alan datang. Karena gugup dan tidak ingin terlambat, aku malah sudah datang dari sejam dari jam pertemuan seharusnya. Ini aku sudah minum lemon tea di gelas kedua. Lima menit lagi jam dua belas siang, semoga Mas Alan gak telat datang karena aku lapar. Euum apa aku makan dulu aja ya? Tapiii kok gak sopan sih? Aku duduk dengan gelisah, sudah jam dua belas lewat sepuluh, artinya Mas Alan sudah telat sepuluh menit. Aku melirik jam tanganku, memastikan bahwa jarumnya tetap berdetak, tidak berhenti. Tepat di menit ke sebelas, Mas Alan datang dengan tergopoh-gopoh. Aku menghembuskan nafas penuh kelegaan. Bersyukur dia bukan ingkar janji tapi mungkin karena macet, maklum saat ini rintik gerimis sedang turun membasahi bumi. Aku lihat Mas Alan bertanya kepada salah satu pelayan, mungkin dia bertanya posisi saungku, padahal aku sengaja memilih saung yang tidak jauh dari pintu masuk.. Aku bingung apakah harus melambaikan tangan agar dia bisa segera kemari atau diam saja? Keduanya serba salah. Jika aku melambai, akan nampak layaknya aku kegirangan bertemu dia, padahal memang iya sih. Jika aku diam saja, akan nampak aku jual mahal. Huuuft, akhirnya sebgai jalan tengah aku memilih berdiri, memberi senyum terbaikku dan menunggu Mas Alan datang menghampiri. “Hai… sudah lama ya? Maaf telat, tadi di kantor hujan cukup deras, aku tunggu reda eeh gak reda-reda. Akhirnya pakai ojek online saja karena aku tidak mau membatalkan pertemuan ini. Nanti takut kamu berpikir yang buruk tentangku.” Mas Alan menyambut uluran tanganku dan memberi tahu alasan dia datang terlambat. Benar kan dugaanku, karena hujan. Eeh sebentar, kenapa kemejanya basah kuyup begitu? Mungkin karena nekat menerobos hujan demi bisa bertemu denganku ya? Uuugh so sweeeeet. Mas Alan mengibaskan rambutnya yang basah, ya Tuhaaaan…. kakiku terasa lemas bagai tak bertulang melihat itu. Bagai melihat iklan shampoo khusus lelaki. Duh duh aku harus segera duduk! “Eeum Mas, itu kemejanya basah kuyup gitu. Apa gak papa? Duuh nanti kalau masuk angin gimana dong?” Tanyaku, bukan sok perhatian sih, tapi karena merasa kasihan melihatnya yang menggigil kedinginan. “Aaah iya, aku buka kemeja gak papa? Syukur kamu milih di saung yaa, jadi aku bisa buka kemeja dengan bebas. Sebentar yaa…” Mas Alan kemudian langsung membuka kancing kemejanya. Sebentar, apakah dia serius ingin membuka kemejanya? Terus gak pakai baju dong? Uugh jadi penasaran apakah perutnya kotak-kotak?  Aku bisa lihat perutnya gak ya? Eeh eeh duh kenapa wajahku terasa panas? Apakah ini sungguh nyata akan bisa melihat perut kotak-kotaknya itu? *** Hmm... kalau dari part awal ini terlihat bahwa pernikahanku sepertinya akan berjalan bahagia yaa. Tapi bagaimana kehidupan pernikahanku selanjutnya? Apakah akan tetap bahagia atau penuh air mata? Doakan bisa disetujui secepatnya jadi aku bisa daily update di November yaa, atau kalau molor ya daily update di Desember hehe... maaf 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN