03 : New Family

2996 Kata
Aku menyingkirkan sesuatu yang memukul-mukul dahiku perlahan. Terganggu dalam tidurku. Benar-benar hal yang menyebalkan! Siapa juga yang berani masuk ke dalam kamarku sepagi ini? Dengan berat kubuka mataku dan kulihat ada sesuatu berbulu di atas wajahku. Berwarna putih dan kecil.. Seperti.. Kaki kucing?!!  Reflek aku langsung terduduk, dan aku menoleh ke benda yang sudah terjatuh ke lantai.  "Apaan tuh?" ujarku pelan.  Kemudian benda itu merangkak keluar dari kolong kasurku, dan menatapku dengan tatapan yang sangat menggemaskan. Anak kucing! Ya ampun lucu banget..  Dia mengeong dengan pelan, membuatku tersenyum. Aku mengangkat tubuhnya dan mengelus lehernya sehingga dia merasa nyaman dengan kehadiranku. Aduh, manis banget anak kucing ini. Punya siapa? Sepertinya aku tidak pelihara apapun deh.  "Suka kucingnya?" ujar suara yang sangat kukenal.  Severus.  "Punya siapa nih?" kataku sambil menunjuk kucing yang sudah mengeong dengan manja di pelukanku. Kueratkan pelukannya padanya.  "Punya kamulah. Siapa lagi?" ujar Sev sambil masuk ke dalam kamarku.  Setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata dia sudah siap dengan seragam sekolahnya.  Aku menaikkan alis. Kenapa dia suka datang ke rumahku sih? Aku mengacak rambut frustasi.  "Punyaku?" tanyaku ulang, mungkin salah dengar.  "Yap!" dia berjalan dan duduk di sofa empuk kesayanganku. "Laper nih By. Makan dong.."  Aku mendengus kesal. Kutolehkan pandanganku ke arah jam dinding. Sudah pukul enam ternyata. Ya ampun! Aku belum siap-siap sama sekali. Pantesan Sev udah rapi begitu.  Tanpa kupedulikan Sev yang memasang tampang kelaparan, aku langsung menyambar handuk dan berlari menuju kamar mandi.  "Aku siapin makanan ya By! Cepetan loh, ntar telat!"  Teriakan Sev dari kamarku sungguh mengganggu aktivitasku yang sedang fokus di kamar mandi. Sudah beberapa hari ini Sev selalu mengunjungiku. Menemaniku kemanapun aku pergi. Mungkin lebih tepatnya mengikutiku? Yah, pokoknya aku tidak pernah meminta dia untuk datang atau menemaniku, apalagi menyuruhnya makan di rumahku.  Dan ya, dia sudah bertemu dengan Ayah. Aku ingat kejadian dimana Sev baru keluar dari kamar mandi. Kami kehujanan waktu itu, dan Sev memakai kamar mandi untuk berganti pakaian. Ayah yang melihat pria tidak dikenal ada di rumahnya dalam keadaan bertelanjang d**a sama sekali tidak mempermasalahkannya. Ah, biarlah.  Sekarang ayah tugas di luar kota lagi, dan dia sama sekali tidak memberikan kabar, sehingga aku tidak tahu kapan dia akan pulang. Yah, lagipula aku juga tidak peduli dengan kegiatannya. Yang membuatku takjub adalah, ayah dengan baik menerima Sev.  Harusnya ayah mengusirnya! Tidak tau apa kalau putrinya ini merasa terganggu dengan kehadirannya?!  Setelah siap aku langsung berangkat menuju sekolah dengan Sev. Dan tentunya, anak kucing yang diberikan Sev itu aku tinggalkan di kamarku dan membiarkannya bebas. Semoga dia tidak bosan aku tinggal sendirian.  "Hei, kau dapat kucing itu darimana?" tanyaku pada Sev.  Dia meletakkan tasnya di kursinya, dan menoleh. "Oh itu, aku menemukannya pagi tadi di dekat rumahmu. Karena kasihan, aku membawakannya untukmu. Kau tidak benci kucing kan?"  Aku menggeleng. "Engga kok, makasih ya."  "Ruby~ Pinjem tugas kimia dong.." rengek Bella yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi sebelahku.  Kurogoh tasku dan memberikan tugas kimia yang tadi diminta oleh Bella. Dengan cekatan dia menyalin tugas kimia yang banyaknya minta ampun.  "Kamu bukannya kemarin gada jadwal ya? Kenapa ga ngerjain tugas aja?" tanyaku sambil bertopang dagu.  "Hmm, Robba rese. Ngajakin berantem mulu. Jadi aku ga konsen deh mau ngerjain tugas." dia terkekeh pelan.  "Elah. Gara-gara cowok?" aku memutar bola mataku, malas.  Bella menunjuk-nunjukku dengan pensil mekanik miliknya. "Makanya cepetan pacaran sama Sev, biar tau rasanya berantem sama pacar."  Aku mendengus. "Hah? Sama Sev? Ga salah?"  "Mangnya kamu gamau By sama aku? Aku kan ganteng.." ujar Sev dengan narsisinya.  Aku mendelik. "Ish Geli! Ganteng darimana?"  Bella yang mendengar perkataanku hanya tertawa dengan keras, membuat Severus mengerucutkan bibirnya. Jadi lucu. Eh? -___-  "Sev! Ada yang nyariin nih!" pandanganku langsung mengarah ke asal suara, Andy. Dia seperti berbicara dengan dua orang junior.  Ada apa ya? Kulihat Sev berdiri dan berjalan perlahan ke arah dua orang junior itu dan tersenyum hangat. Kuperhatikan, salah seorang junior berbicara dengan wajah merona merah dan kemudian memberikan surat yang berwarna pink.  Bella berdehem, membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menoleh ke arah Bella yang penuh dengan senyuman menggoda iman.  "Ciee.. Cemburu nih.." ujarnya sambil menyenggol pundakku.  Cemburu? Sama Sev? Oh my..  Aku memutar kedua bola mataku. "Ngapain juga Bells aku cemburu sama dia.." *** "By! Jangan pulang dulu ya setelah piket! Tungguin aku!" Sev berkata sambil melambaikan tangannya padaku yang sedang membereskan buku pelajaran.  Aku menyerit bingung. Kutolehkan pandanganku, dan mendapati tas Sev masih berada di dalam kelas. Anak itu mau kemana? Ah, biarin aja. Bukan urusan aku.  "By, tadi aku ketemu sama seseorang di gerbang sekolah." Bella berjalan menghampiriku yang sudah siap dengan sapu di tangan.  "Huh? Siapa?" tanyaku tanpa melepaskan pandanganku dari sampah kelas. Aduh, anak-anak bisanya cuma nyampah di kelas nih. Rese.  "Entahlah, aku tidak kenal. Ada beberapa orang laki-laki, dan mereka mencarimu." Bella berkata sambil duduk di kursi guru.  Kuhentikan aktivitasku dan melayangkan pandangan ke arah Bella.  "Aku tidak kenal mereka, By." katanya sambil berdiri dari duduknya.  "Aku duluan ya, Robba udah nunggu aku." ujarnya sambil memelukku sebentar dan pergi meninggalkanku sendirian di kelas.  Siapa yang mencariku? Ah, biarlah. Nanti juga ketemu.  Setelah selesai menyapu dan membersihkan ruangan kelas, aku mengangkut plastik yang berisi sampah kelas. Hari ini aku tugas piket dengan Maggie. Namun sialnya, Maggie sedang sakit dan akhirnya aku hanya sendirian membersihkan kelas ini. Biasanya walaupun ada teman sepiket, Sev dengan senang hati akan membantuku.  Namun entahlah, dia punya kesibukan jadi aku tidak bisa membantu. Mungkin ada hubungannya dengan surat yang diberikan oleh junior tadi?  "Bagaimana kak?" kudengar suara seorang gadis.  Wah, sepertinya ada 'penembakan' nih. Aku merapatkan diriku di dinding, dan menaruh plastik sampah di sebelahku.  "Maaf, aku sudah menyukai cewek lain."  Hah? Itu suara Sev kan?  Kuberanikan diri untuk mengintip kejadian bersejarah itu. Taman belakang sekolah memang punya banyak sejarah. Baik menyenangkan maupun menyedihkan. Ada yang jadian disini, dan tidak sedikit juga orang yang patah hati disini. Seperti sekarang.  Ups, Sev berjalan ke arahku. Aku harus bagaimana?  Dengan tampang datar, aku berjalan menuju tong sampah besar yang biasanya diangkut setiap jam enam sore.  Sev tampak terkejut dengan kehadiranku.  "By? Ngapain disini?" tanyanya sambil memandangku.  Aku hanya menunjuk plastik sampah yang kubawa, dan melewatinya. "Piket kelas." ujarku.  Kulirik gadis yang tadi menyatakan perasaannya pada Sev. Dia lumayan cantik, dengan rambut ikal dan matanya yang bulat. Kenapa Sev menolaknya? Dan siapa gadis yang disukai Sev?  Kulihat gadis itu menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia menangis.  Apa aku harus menghiburnya? Agak ragu aku berjalan mendekatinya, namun gagal karena seseorang sudah mengalungkan lengannya di leherku.  Siapa lagi yang berani melakukannya? Pasti Severus.  "Sev, kenapa kamu nolak dia? Dia kan cantik." tanyaku ketika dia sudah melepaskan lengannya.  Dia merenggangkan ototnya. "Aku gasuka dia."   "Udah beres kan? Pulang yuk." ujarnya sambil menarik tanganku ke kelas. *** Ketika sampai di gerbang sekolah, aku menoleh ke kanan dan kiri. Kulihat suasana sekolah sudah sepi, dan sepertinya tidak ada orang yang mencariku. Dengan santai akupun berjalan beriringan dengan Sev.  Sudah menjadi kebiasaan sepertinya aku pulang dan berangkat dengan Sev. Kami sempat mampir di pet shop, membeli beberapa keperluan untuk kucing kecilku.  "By, kenapa sih? Kayanya resah amat.." tanya Sev ketika kami sudah sampai di perempatan jalan yang dekat dengan rumahku.  "Mmh, engga kok Sev."  Entah kenapa aku merasakan hal yang tidak enak. Selama perjalanan pulang, tidak hentinya aku menoleh ke kanan dan kiri. Aku merasa seperti ada yang mengikutiku. Padahal aku yakin dengan sangat, kalau hanya ada aku dan Sev.  Aku mengambil kunci rumahku dan mencoba untuk membuka pintu. Tidak bisa diputar. Kenapa nih? Dan ketika kuputar kenop pintu, ternyata pintu sudah terbuka. Apa tadi aku lupa mengunci pintu ya? Aku menyerit bingung dan langsung masuk ke dalam rumah. Diikuti dengan Sev tentunya.  "Spinel~" teriakku ketika sampai di dalam kamar. Spinel, nama kucing kecilku.  Kudengar langkah berat Sev menuju ruang keluarga dan dia menyalakan televisi. Kebiasaan dia setelah sampai rumah, pasti menyalakan televisi.  "Sev! Cuci tangan dan kaki dulu!" teriakku dari dalam kamar, sambil menyiapkan makanan untuk Spinel.  "Iyaaa!" jawabnya dengan malas. Kuyakin dia pasti sedang berjalan dengan kesal ke arah kamar mandi.  Spinel yang sedaritadi tidur nyaman di bantalku terbangun ketika mendengar suara teriakanku dan dia merenggangkan ototnya.  Ketika melihatku dia langsung mengeong dan menghampiriku. Aku mengelus kepalanya dengan sayang, dan berdiri untuk mengganti pakaian. Kemudian berjalan perlahan untuk membuka lebar pintu kacaku.  Pandanganku terpaku ketika ada sesuatu yang bergerak ketika aku mau menutup pintu kamarku.  Aku memicingkan mataku dan seketika aku membeku.  "Severus.." dengan nada tercekat aku berusaha memanggil namanya. Dan pasti dia tidak akan mendengar suaraku yang sangat kecil itu.  "Hei.. Kenapa kamu memanggil dia? Kan ada aku disini.." ujar orang itu, Kenzo.  Bagaimana dia bisa ada disini? Aku mundur selangkah, berusaha kabur ke pintu kaca yang sialnya sudah ditutup oleh kedua temannya.  Aku terkepung?! Ya Tuhan!  "Hei, sayang.. Kenapa kamu menghindar dariku?" ujarnya sambil mendorongku, sehingga aku terjatuh ke ranjang dan dia berada tepat di atasku.  "Ka-kamu mau apa?" cicitku ketika sadar dia sudah mendorong sebelah kakiku dengan kakinya. Membuat kakiku terbuka lebar.  Kenzo memainkan jari telunjuknya di wajahku, dan dia tersenyum. Senyum yang belum mampu sepenuhnya aku lupakan. Tanpa sadar aku mengeluarkan air mataku.  "Oh sayang, jangan menangis.." katanya sambil mengusap air mata yang terjatuh di pipiku.  Dengan kasar dia membuka kancing kemejaku dan mulai menggerayangi tubuhku. Aku berusaha untuk menendang apapun yang bisa kucapai. Dengan kekuatan yang tersisa dan diantara isakanku, aku mengangkat kakiku yang berada di sela kakinya. Berhasil! Dia terkena tendanganku tepat di organ vitalnya.  Kulihat dia meringis kesakitan dan menunjukku. "Kau.."  Kedua temannya yang sedaritadi diam menjambakku dengan keras.  "Sakit!" aku berteriak dengan air mata yang masih bercucuran di pipiku.  "Beraninya kau!!" ujar salah satu temannya yang bernama Alvo itu.  Sedangkan Taylor masih menarik rambutku dengan keras. Ya, mereka bertigalah yang telah menghancurkan masa depanku.  "By? Ngapain sih di dalem? Lama banget.."  Kulihat Kenzo tersenyum penuh kemenangan menatapku. "Sudahlah, lain kali saja. Kita masih banyak waktu untuk bermain-main dengannya."  "Severuus!!" aku berteriak memanggil Sev dengan kekuatan penuh.  "Apaan sih By? Berisik." Sev yang sepertinya sudah tidak sabar memutar kenop pintu kamarku.  Namun sayang, ketika Sev masuk Kenzo dan kedua temannya itu sudah pergi melalui pintu kaca, setelah sebelumnya melemparkan ciuman good bye yang membuatku merinding.  "By? Kamu.. Ngapain?" Sev mematung melihatku yang tampak sangat kacau. Air mata yang masih basah, rambut berantakan, kancing seragam yang sudah hilang entah kemana. Aku masih diam, terduduk di ranjang dengan merapatkan kemeja yang masih melekat di tubuhku.  Tanpa kuduga, Sev berlari menuju pintu kaca dan menoleh ke kanan dan kiri. Dari gelagatnya, aku bisa melihat dia akan lari untuk mengejar mereka.  "Sev, jangan kemana-mana.. Temani aku.." ujarku pelan, membuatnya menoleh dan langsung menutup pintu kaca kamarku.  "Siapa yang melakukannya?" kulihat Sev menggeram, mengepalkan tangannya dan duduk di sampingku.  Aku hanya menunduk, terdiam seribu bahasa.  Seakan tau kalau aku tidak ingin berbicara, dia menghembuskan napas dan mengeluarkan suara.  "Mulai saat ini kamu tinggal di rumahku." *** Aku sedang duduk diam sambil menyesap hot chocolate yang dibuatkan Sev. Kulirik Sev yang sedang duduk di sofa depanku dengan tangan yang mengait di dadanya.  "Jadi.. Jelaskan padaku?" tanyanya dengan alis yang dinaikkan.  Aku menghela napas dan meletakkan gelasku di atas meja. Tanpa sadar aku meremas ujung kaosku.  "By?" panggilnya sambil merangkul pundakku. Entah kapan dia sudah berada di sampingku.  "Aku.. Belum siap untuk cerita, Sev.." kataku dengan lirih.  Benar, aku belum siap untuk menceritakannya. Itu adalah memory yang ingin kuhapus. Bahkan beberapa kali aku berharap untuk amnesia.  "Baiklah.." ujarnya sambil menepuk pelan kepalaku.  Diapun berdiri, dan mengambil telepon yang berada tak jauh dari kulkas.  "Kau mau apa?" tanyaku padanya.  "Menelpon ayahmu.."  "Hah? Untuk apa?" ujarku sambil bergerak maju mendekatinya.  "Meminta izin untuk membiarkanmu tinggal denganku."  Aku melongo mendengarnya. Dia serius?  "Halo, om.. Begini, ada masalah yang sangat serius. Dan itu berhubungan dengan keselamatan Ruby.. Nanti akan aku jelaskan ketika om sudah pulang.. Iya, baiklah.." Sev melirikku yang sedang menatapnya dengan tatapan tak percaya.  "Aku akan menjaganya om.. Tidak apa om.. Saat ini Ruby akan aku bawa ke rumahku agar dia bisa kuawasi setiap waktu.. Benarkah? Baiklah om.." dia menepuk kepalaku dan tersenyum.  "Terimakasih om.. Selamat bekerja.." dan Sev pun menutup pembicaraannya di telpon.  Dia menatapku, sedangkan aku melihatnya dengan tatapan penasaran.  "Cepat siap-siap. Mulai sekarang kamu tinggal di rumahku. Dan boleh pulang ketika ayahmu sudah pulang dari tugasnya." ujarnya sambil berjalan ke kamarku.  Aku menatapnya tak percaya.  Dia meminta izin kepada ayah, dan ayah mengizinkan begitu saja? Apa-apaan? Masa ayah mengizinkanku tinggal bersama Sev?!  "Aku tak mau!" kuhentakkan kakiku tepat saat aku berdiri di depan pintu kamarku.  Sev yang sedang mengambil koper besar milikku menoleh kepadaku dan menaikkan sebelah alisnya.  "Kenapa?" tanyanya sambil mendekat kepadaku.  Aku menatapnya dengan lantang. "Kau kan laki-laki. Bisa saja kau melakukan hal yang aneh padaku!"  Dia menatapku dengan tatapan tak percaya. Sedetik kemudian yang kudengar adalah tawanya yang membahana di seluruh kamarku.  "Apaan sih? Kok malah ketawa?" tanyaku ketika melihat dia memegang perutnya. Apa pernyataanku begitu lucu?  "Kamu mikirnya aneh banget sih By. Aku kan temen kamu. Mangnya aku pernah macem-macem sama kamu, huh?" tanyanya sambil bersandar di pintu kamarku.  Aku berpikir sebentar. Iya sih, dia mah ga pernah macem-macem walaupun sering ngikutin aku kemana juga. Yah, lumayan deh ada temennya kemana-mana.  "Hoi! Bengong aja!" ujarnya sambil memukul pelan keningku dengan jarinya, membuatku meringis sakit.  "Buruan beresin barang-barang yang mau dibawa!" *** Dan, disinilah aku. Di depan pagar rumah minimalis milik Sev.  "By, beneran kamu mau tinggal sama Sev?" tanya Bella.  Aku tak sengaja memberitahu Bella kalau aku akan tinggal bersama dengan Sev. Bella tadi meneleponku, dia ingin menginap di rumahku.  Dan akhirnya, beginilah. Aku, Bella, dan Robba berdiri mematung melihat Sev yang melenggang masuk ke rumahnya.  "Permisi.." ujar kami berbarengan.  "Bi Yura.. Kamarnya sudah siap?" dia berteriak sambil berjalan ke belakang, aku yakin kalau itu adalah pembantunya yang sedang memasak.  Hei. Dia punya pembantu, kenapa kalau makan selalu di rumahku?  "Yauda deh Bells, aku pulang dulu ya. Lagi rame disana." Robba mencium sekilas kening Bella.  Bella mengangguk dan memeluknya sebentar.  "Aku nemenin Ruby dulu ya." ujarnya sambil tersenyum.  Robba mengangguk dan dia berteriak "Sev! Pulang duluan ya!"  "Iyaaa!" kudengar suara Sev yang lantang dari arah dapur.  Di rumah sekecil ini tidak perlu berteriak bukan?  Tak lama kemudian, keluarlah wanita separuh baya yang menggunakan celemek.  "Non, sini bibi bantu bawa. Sekalian bibi tunjukkin kamar non." Bi Yura mengambil tasku yang agak berat. Sedangkan koper sedaritadi sudah ditenteng oleh Sev.  Dan anak itu, entah menghilang kemana.  Aku berjalan mengikuti Bi Yura yang memanduku dan Bella ke lantai dua. Kuperhatikan, disini hanya ada empat pintu.  "Non, kamar non yang ini.." ujar Bi Yura sambil membuka pintu yang dekat dengan tangga.  "Disini, kamarnya den Sev.." kata Bi Yura menunjuk pintu tepat di depan kamarku.  "Pintu yang paling ujung itu kamar mandi. Kalo yang ini ruang baca Den Sev.." ujar Bi Yura sambil menunjuk pintu di sebelah kamar Sev.  Aku mengangguk mengerti. "Kalo Bi Yura kamarnya dimana?"  Bi Yura menggeleng pelan. "Bi Yura ga tinggal disini, non. Rumah bibi ada di halaman belakang. Kalo non butuh apa-apa tinggal telpon bibi aja ya."  "Halaman belakang?" kata-kata Bella mewakili pertanyaanku.  "Iya non, jadi Den Sev sengaja bangun rumah di halaman belakang, biar bibi ga perlu jauh-jauh pulang kampung. Anak bibi juga tinggal disana, bibi tidak tega meninggalkan sendirian di kampung." jawab Bi Yura.  "Oh begitu.. Yauda makasi ya bi. Nanti kalo ada keperluan apa-apa aku tinggal nyari Bi Yura di belakang ya." kataku sambil memeluk Bi Yura. Entah kenapa membuatku teringat dengan Ibu.  Sepeninggal Bi Yura, aku dan Bella langsung masuk ke dalam kamar. Kamar ini tidak terlalu besar, namun sangat nyaman. Bella berjalan mendekati jendela, dan mencondongkan tubuhnya.  "Kenapa Bells?" tanyaku sambil mendekati Bella.  "Tuh, Sev lagi main sama anak kecil.." Bella menunjuk ke suatu arah.  Kulihat Sev sedang mengangkat gadis kecil berambut hitam yang sangat manis. Dia tertawa ketika Sev mengangkat tinggi dan menurunkannya lagi.  "Calon ayah yang baik tuh.." celetuk Bella sambil membongkar barangku.  "Iya kali.." ujarku tak peduli.  Tidak sampai setengah jam, barangku sudah tertata rapi di kamar ini.  "Dikit banget By?" tanya Bella sambil memandang sekeliling.  Aku menepuk pelan keningku. "Barangku kan dibawa sama Sev tadi."  Saat aku beranjak ingin memanggil Sev, dia sudah berdiri di depan pintu kamarku. Tangan kanannya menggandeng gadis kecil yang bermain dengannya tadi. Tangan kiri pria itu mendorong koperku. Dan di pelukan gadis kecil itu, Spinel tertidur.  "Hai, namamu siapa?" sapaku kepada gadis kecil yang sudah berlindung di belakang Sev.  "Airi, kenalan dulu dong sama Kak Ruby. Kan dia mau tinggal disini.." kulihat gadis yang dipanggil Airi itu memunculkan wajahnya yang imut-imut itu.  Dia berjalan mendekat padaku, dan mengulurkan tangannya padaku.  "Airi.." dia berkata dengan pelan dan sangat manis.  Aku menyambut uluran tangannya dan mengelus kepalanya lembut.  "Aku kak Ruby. Salam kenal ya sayang." ucapku pada gadis manis yang sudah mengembangkan senyumnya padaku.  Tanpa disangka Spinel bangun dan langsung melompat ke pelukanku dan mengeong. Sedetik kemudian dia turun dan berjalan menjauhiku. Spinel lucu.  "Spinel.." dia berusaha mengejar Spinel yang sudah berputar-putar di kamar barunya ini.   "Airi lucu, ya By.." ujar Bella sambil tetawa cekikikan.  Aku mengangguk dan masih memandang Airi yang berusaha menggapai Spinel yang sudah berada di atas lemari kecil.  "Airi ajak Spinel main di kamar belakang ya, kak Ruby mau membereskan barangnya.." Sev berkata dengan lembut, diikuti anggukan mantap dari Airi yang sudah menangkap Spinel.  Severuspun melangkah mendekatiku dan memberikan koperku.  "Semoga kamu betah ya disini." ujarnya sambil menepuk kepalaku pelan dan melenggang pergi, menyusul Airi.  "Cie cieee.." lamunanku buyar ketika Bella menyenggol pundakku dengan iseng.  Aku meliriknya dengan pandangan tajamku dan di langsung terkikik geli. Sumpah deh, anak ini ga takut sama aku. Padahal ya, orang-orang di sekolah kalo aku udah mandang pake tatapan jutekku, pasti langsung diam.  Aku menggeleng pelan. "Udah ah, bantuin beresin aja Bells.."  Bella yang tadi tertawa cekikikan langsung membuka koper dan mengeluarkan isinya.  "Eh, kalian tuh kaya keluarga kecil bahagia tau. Airi jadi anaknya." kata Bella yang diikuti oleh tawanya yang besar.  Aku melemparnya dengan bajuku "Heh! Jangan ngaco!" kataku.  Dan sama seperti Sev, dia hanya tertawa ketika aku memandangnya dengan tatapan garang. Hanya mereka berdua yang benar-benar tahan dengan kelakuanku yang sepeti ini. Aku bersyukur bersahabat baik dengan Bella. Dan aku bersyukur bisa bertemu dengan orang seaneh Sev.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN