PART 9 – ALVIN SAKIT.
Sudah tiga hari Aira menemani ibunya di rumah sakit. Keadaan Yuni makin membaik dan sudah diperbolehkan pulang, selanjutnya di sarankan tetap rawat jalan oleh dokter.
“Bu, Aira keluar dulu ya sebentar.”
Aira harus mencari angkot untuk membawa ibunya pulang. Semoga ada angkot yang mau dibayar murah, mumpung masih pagi.
Aira melangkah keluar klinik. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri.
Jalanan terbilang sepi, mungkin karena masih pagi.
Aira tersentak kala mendengar suara klakson.
Mobil ini lagi. Pikirnya.
Aira mundur, memberi jalan pada mobil itu memasuki pekarangan rumah sakit.
Tebakannya benar, lelaki itu lagi. Empat kali mereka bertemu kembali.
Lelaki itu keluar dari mobilnya dan tersenyum pada Aira.
“Bagaimana khabar ibunya? Sudah sehat?”
Perasaan Aira menghangat kala lelaki ini masih mengingatnya dan menanyakan khabar ibunya. Padahal mereka kenal hanya sekilas saja.
“Sudah Alhamdulillah Pak, ini sudah mau pulang sebentar lagi.”
“Ooo. Ada yang jemput atau ....”
“Oh gak pak, saya lagi menunggu angkot.”
Memangnya siapa yang mau jemput? Aira meringis dalam hati.
“Bagaimana kalau saya antar? Kebetulan saya hanya tinggal membereskan sedikit urusan di rumah sakit ini. Jadi bisa antar kamu pulang ke rumah.”
Aira terkejut mendapat tawaran tersebut, itu sebabnya ia sontak menggeleng.
“Gak perlu pak, terima kasih. Saya bisa sendiri bawa ibu saya pulang,” tolaknya dengan halus.
Aira tidak mengenal lelaki ini. Dan terlalu lancang jika ia begitu saja menerima kebaikan orang yang sama sekali tidak ia kenal.
“Boleh tahu nama kamu?”
Hah! Aira terkejut.
“Iya nama kamu siapa?” tanya lelaki itu mengulangi pertanyaannya, ketika melihat wajah bingung gadis didepannya.
“Kita sudah sering ketemu secara tidak sengaja, tapi nama kamu saja saya belum tahu.”
Aira menggaruk pipinya yang tak gatal.
“Nama saya Aira, Pak.”
Entah mengapa Aira tidak keberatan menyebutkan namanya, padahal selama ini ia menghindari interaksi pada orang asing.
“Aira, kamu bisa panggil saya ....”
Ucapan lelaki itu terhenti ketika terdengar dering nada ponsel.
“Tunggu sebentar, saya angkat telp dulu.”
Lalu Aira melihat lelaki didepannya menerima sambungan telp.
“Halo.”
..........
“Ya, saya sudah urus semua Pak, Tono hanya sehari di klinik, sisanya rawat jalan.”
..........
“Oke nanti jika ada perkembangan saya beritahukan kembali.”
........
Aira melihat bagaimana lelaki ini terus bicara tapi matanya justru menatap ke arahnya. Aira menunduk, tak nyaman rasanya ditatap seperti itu. Pipinya mendadak bersemu. Sudah lama ia melupakan bagaimana rasanya ditatap lawan jenis seintens itu.
Ah Aira, jangan ge-er. Begitu batinnya mengingatkan.
“Baik , selamat pagi pak.”
Lelaki itu menutup pembicaraan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja.
“Ayo tunggu apa lagi, kita segera ajak ibumu pulang.”
“Eh, tapi Pak.” Tampaknya protesan Aira tak di perdulikan.
Aira bahkan menurut ketika lelaki itu masuk ke klinik dan meminta tolong perawat disana membawa Yuni kedalam mobilnya.
**
Aira membantu ibunya berbaring didalam kamar.
“Sebentar ya bu, Aira keluar dulu.”
Lalu Aira melangkah keluar, mengingat belum berterima kasih kepada orang yang sudah baik mengantar ibunya dari klinik ke rumah.
Ternyata orang yang sudah berbaik hati tadi masih berdiri di depan rumahnya.
“Terima kasih ya pak atas bantuannya.”
Lelaki yang sejak tadi memperhatikan halaman Aira menoleh.
“Sama-sama Aira. Kalau begitu saya permisi. Salam buat ibu kamu ya.”
Setelah tersenyum sekali lagi, lelaki itu melangkah masuk ke dalam mobilnya dan menghilang di tikungan jalan.
Zaman sekarang masih ada orang baik begitu. Sudah baik, tampan lagi.
Astaga, bicara apa sih aku ini. Tapi orang itu memang tampan sih.
Aira tersenyum sendiri sambil masuk ke dalam rumah.
**
“Ibu minum dulu obatnya ya.”
Aira memberikan beberapa pil kepada Ibunya.
“Ibu baru tahu, jika klinik menyediakan antar jemput pasien,” ucap Yuni.
“Maksud ibu?”
“Itu yang tadi antar ibu, itu petugas klinik kan?”
Aira menggeleng.
“Bukan bu, bukan petugas klinik.”
“Orang rapih gitu kaya kerja kantoran, masa ibu bisa sangka petugas klinik sih?”
Dahi Yuni berlipat.
“Terus dia siapa? Kok mau antar Ibu?”
Aira mengangkat bahunya.
“Aira gak tahu siapa dia bu. Aira ketemu beberapa kali sama orang itu. Terus dia tawari untuk antar Ibu pulang.”
Yuni menghela napas sambil menggeleng.
“Aira, kamu gimana sih. Kenapa gak bilang sama Ibu kalau dia bukan petugas klinik.”
“Harusnya Ibu tadi mengucapkan terima kasih sama dia.”
Aira tersenyum.
“Aira sudah wakilkan tadi bu. Aira sudah mengucapkan terima kasih sama dia.”
“Namanya siapa Aira?”
Ditanya seperti itu Aira menepuk dahinya.
“Aira lupa nanya bu,” ringisnya.
Yuni kembali geleng kepala.
**
Berhubung Yuni masih belum begitu sehat, Aira meminta izin pada Pak Danang untuk tidak masuk kerja.
Sorenya Aira mendapat kunjungan dari Alam.
Alam datang sambil membawa beberapa macam buah.
“Ibu sudah sehat?” tanya Alam sambil mencium telapak tangan Yuni.
“Alhamdulillah, sudah mendingan nak Alam.”
Aira keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi segelas teh manis.
“Diminum kak.”
“Terima kasih Aira, seharusnya gak perlu repot. Aku gak lama kok.”
Lalu hening sejenak.
“Kak Alam, terima kasih ya atas bantuannya. Nanti Aira bayar dengan cicil ya tiap bulan.”
Alam menatap Aira dengan bingung.
“Apa yang mau kamu cicil?”
“Biaya ibu di klinik, bukankah kak Alam yang membayarkan?”
Alam menggeleng.
“Justru aku kemari mau bertanya, kamu sudah bayar belum biaya ibu? Karena aku baru bisa bawa uangnya sekarang. Karena Mila curiga terus dari kemarin.”
Mendengar penuturan Alan, Aira saling tatap dengan ibunya.
“Jika bukan kak Alam yang bayar, lalu siapa?” Kini Aira yang berbalik tanya.
Dengan penasaran tingkat tinggi, Aira pergi ke kamar. Ia mencari kwitansi kemarin.
Setelah ketemu, ia membawa kwitansi itu ke hadapan Alam.
“Gara? Siapa dia?” tanya Alam ketika membaca kwitansi yang Aira berikan.
Aira menggeleng.
“Aku juga gak tahu Kak. Kupikir tadinya Kak Alam yang sengaja memakai nama samaran.”
“Mungkin gak petugas kasirnya salah orang, Aira?”
Kini Yuni ikut bicara.
“Hmm besok coba Aira kembali ke rumah sakit ya bu.”
“Mau aku antar?” tawar Alam.
“Gak usah Kak. Aira bisa naik sepeda ke sana, terima kasih.”
Alam tidak berlama-lama di rumah Aira, ia segera pamit pulang. Karena khawatir istrinya curiga.
**
Aira baru saja menaruh sepedanya di tempat parkir yang biasa ia gunakan, ketika Maya menghampiri.
“Aira, anak emasmu sakit.”
“Siapa? Alvin?”
Maya mengangguk.
“Tadi ayahnya datang kemari. Ia memberi kabar jika Alvin sakit.”
“Kasihan sekali,” lirih Aira mengingat Alvin sudah tidak memiliki ibu kandung.
“Ada satu lagi Aira. Ayahnya memberi pesan, supaya aku menyampaikan pesan pada Bu Aira supaya berkenan menjenguk Alvin.”
Aira melotot.
“Serius kamu May?”
“Dua rius malah,” Maya mengangkat dua jarinya.
“Mungkin Ayah Alvin mau kenalan sama Bu Aira, hehehehe.”
Maya terkikik.
“Ish apaan sih May. Sebenarnya tanpa dipinta juga, aku pasti akan jenguk Alvin.”
“Gak apa Aira, jenguk anaknya sekalian kenalan ama bapaknya. Kan jadi sambil menyelam minum air,” goda Maya.
Bibir Aira mengerucut.
“Kembung donk aku.”