Bab 3

1028 Kata
Geram sekali aku dibuatnya. Kedua tanganku mengepal kuat sembari melangkahkan kaki untuk mendekatinya. Aku benar-benar kehilangan kendali atas diriku sendiri. "Lo bisa lebih sopan, nggak?" tanyaku berapi-api. "Daniel." Dia melihatku dengan kondisi agak terkejut. Aku cuma melihatnya saja. "Bisa nggak lo sopan sama orang yang lebih tua?" ulangku bertanya kepadanya. Dan entah disadari atau tidak, caraku memanggil dia sudah berganti. "Tapi, Niel. Dia yang salah. Dia yang nabrak aku sampai aku hampir jatuh," katanya melakukan pembelaan. "Sengaja, kah? Enggak, kan?" tanyaku. Dia diam sambil menundukkan kepalanya. Entah karena takut dengan amarahku atau apa. Namun yang lebih membuatku aneh adalah sikap bapakku yang tak ikut campur dalam urusan itu. Dia memilih untuk diam tanpa ada kontribusi untuk ikut berbicara. "Kamu kenapa sih, Niel? Kenapa kamu membelanya sampai segitunya?" tanyanya. "Karena dia bapak gue," jawabku tak santai. Hal itupun membuat Monic sangat terkejut. "Apa?" "Masih kurang jelas apa yang gue katakan?" tanyaku. "Daniel. Aku ... Aku minta maaf, Niel. Aku gak tahu kalau dia itu bapakmu," katanya. "Pak, aku minta maaf, Pak," lanjutnya sambil berusaha meminta maaf ke bapak. "Udah, gak perlu. Kalau gue gak datang, gak mungkin lo akan mendadak jadi baik. Mending sekarang lo pergi. Dan jangan harap gue bisa menghargai lo kalau lo sendiri gak bisa menghargai orang tua gue," ucapku dengan nada yang super dingin. "Daniel ..." Dia merengek ke aku. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Tapi aku tidak peduli. "Pergi! Sebelum gue kasar sama lo," ancamku. Dia bahkan sampai meneteskan air matanya. Dan memang pada akhirnya pun dia pergi. Dengan kondisi yang masih berapi-api, aku hampiri bapakku itu. "Bapak gak apa-apa?" tanyaku. "Bapak nggak apa-apa kok, Niel," jawabnya. "Bapak diapain sama cewek itu?" tanyaku. Padahal aku pun sudah tahu sendiri semua kejadiannya. Bapak malah tersenyum memandangku. Senyumnya membuatku bingung. Hingga setelahnya dia pun berucap. "Sudah, jangan diperpanjang lagi masalahnya! Maafkan saja temanmu itu. Jangan sampai kamu membencinya karena kejadian ini," ucap bapakku. Aku diam. Namun, sejak hari itu hubunganku dengan dia semakin renggang. Dia selalu berusaha meminta maaf atas kejadian yang telah terjadi, dan aku tentu saja memaafkannya, tapi tetap peristiwa itu masih selalu teringat di ingatanku dan mungkin tak dapat dihapus. Siapa yang tidak kesal jika bapaknya diperlakukan seperti itu. Aku merasa, setiap orang yang kaya raya akan selalu bertindak semena-mena kepada kaum yang berada di bawahnya. Si pembunuh sialan itu, si manusia pengecut yang telah menjebloskan Soni ke penjara, dan juga Monic. Sumpah, jika mengingat sikap baik Monic kepadaku, aku selalu berharap bahwa kejadian hari itu tidak pernah terjadi. Itu sungguh sudah menyakiti perasaanku meski kata maaf telah ia lontarkan kepadaku dan aku menerimanya. "Pak, Bapak nggak usah kerja lagi, ya. Biar aku aja yang kerja," ucapku kala itu. Tepatnya beberapa hari setelah konflik dengan Monic. "Jangan Niel, kamu masih kecil. Mencari nafkah untuk keluarga adalah tugas bapak, dan tugas kamu sama Salsa adalah sekolah," ucap bapakku sambil diiringi dengan batuk berdahak yang membuatku tak tega jika mendengarnya. "Tapi, Pak. Bapak kan lagi sakit," ucapku. "Tidak apa-apa. Ini cuma sakit biasa. Kamu gak usah khawatir," sahut bapakku. Satu hal yang ada di dalam diri bapakku. Ia adalah seorang lelaki kuat yang tak mau menampakkan rasa sakit yang dideritanya ke anak-anaknya. Meskipun sebenarnya, walau ia mencoba menutupinya, itu juga masih terlihat jelas dari mataku. Bapak sedang sakit, dan kurasa itu bukan sakit biasa. Ada rasa sakit yang amat mendalam yang dirasakan oleh bapak setiap kali napasnya berhembus. "Ibu sudah nggak ada, Pak. Jadi tinggal kepada Bapak saja aku bisa berbakti. Jadi biarlah aku menunjukkan baktiku pada Bapak dengan menggantikan Bapak sebagai tulang punggung keluarga ini," ucapku sedikit memaksa. "Masih ada banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk menjadi anak yang berbakti, Daniel. Bukan dengan cara ini saja," balas bapakku. Tentu masih diiringi dengan suara batuknya. "Tapi untuk saat ini, kurasa cuma itu," ucapku. "Tidak bisa, Niel. Kamu harus-" "Pak, izinkan aku untuk berbakti," sahutku. "Gini aja, Pak. Jika dalam waktu dua hari aku belum dapat pekerjaan, Bapak masih boleh tetap bekerja. Tapi jika dalam waktu dua hari ini aku sudah bisa mendapatkan pekerjaan, itu berarti Bapak sudah gak boleh kerja lagi yang berat-berat," lanjutku. Waktu itu bapakku seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin sedang mempertimbangkan apakah ia akan menerima persyaratan yang aku berikan atau tidak. Hingga pada akhirnya ia pun setuju. "Baiklah jika itu mau kamu," ucap bapakku. "Oke, jika dalam waktu 2 hari aku bisa dapat kerja, itu berarti Bapak udah gak boleh kerja yang berat-berat lagi, ya," ucapku. "Iya," jawab bapakku. Sang Kota Metropolitan yang katanya kejam, sang metropolitan yang katanya keras dan susah untuk mencari pekerjaan di sana, ternyata dalam kurun waktu sehari lebih setelah perjanjian itu berlangsung aku bisa diterima kerja di sebuah warung kopi. Sungguh senang sekali aku waktu itu. "Pak, aku sudah dapat pekerjaan, jadi sesuai janji, Bapak tidak boleh kerja yang berat-berat lagi," ucapku waktu aku pulang dari warung kopi yang akan menjadi tempat bekerja ku. "Oh ya? Di mana?" tanya bapakku. "Di warung kopi, Pak. Gajinya gak terlalu banyak, sih. Tapi aku rasa itu cukup untuk menghidupi keluarga kita sehari-hari," jawabku. Saat itu malah kulihat wajah bapakku yang terlihat murung, seolah-olah dia sedang tidak menyukai sesuatu. Aku tahu apa yang tidak disukai bapak saat itu. Ia tidak suka jika aku harus merasakan lelah akibat bekerja. "Bapak nggak usah khawatir. Meski aku sekolah sambil kerja, aku tidak akan melupakan kewajibanku untuk belajar kok, Pak. Lagipula aku juga tidak ingin membuat ibu kecewa jika harapan yang ia taruh ke aku itu tidak bisa aku wujudkan," ucapku menenangkan bapak yang nampak bimbang. "Kak Soni dipenjara, ibu sudah tiada. Nanti apa lagi? Aku tidak mau lagi kehilangan orang-orang yang aku sayangi, Pak. Jadi kumohon Bapak terima ini, ya," lanjutku. "Hmmm. Iya, Niel," ucap bapakku. Nampak sekali kekhawatiran dari wajahnya. Aku terkadang kesal jika melihat anak-anak seusiaku bergaya sok hebat dengan meremehkan nilai sebuah uang. Padahal kutahu uang yang mereka pakai itu juga pemberian dari orang tuanya. Andai mereka tahu betapa susahnya mencari uang walau itu cuma seribu rupiah. Andai mereka tahu bahwa bagi orang lain, uang yang mereka remehkan itu, uang yang ia anggap mempunyai nilai yang kecil itu sangat bernilai besar bagi orang lain. Andai mereka tahu itu semua. Kurasa orang-orang kaya adalah makhluk yang paling menyebalkan di muka bumi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN