Ibu Hiroto dan Jun meninggal enam tahun lalu karena Ibu mereka diserang Iblis di jalan pulang setelah berbelanja kebutuhan rumah. Sejak itu, Jun yang mengambil alih peran ibu di keluarga. Namun, setahun lalu, Jun mengalami kecelakaan di area lalu lintas. Dia mengorbankan tubuhnya dan menyelamatkan Hiroto dengan mendorongnya ke trotoar. Alhasil, Jun koma.
Biaya pengobatan Jun dan ditanggung sang Kakek, Ayah dari Ibunya yang membuka usaha toko senjata tradisional di area dekat SMA Shinjuku Yamabuki, tempat Hiroto dan Jun bersekolah.
“Kakek tadi menanyaimu. Katanya dia ingin kau ke tokonya nanti.”
Hiroto yang memakai celemek seketika terdiam. “Kenapa?”
“Entah, katanya dia mau menunjukkan sesuatu,” timpal si Ayah yang duduk di meja makan sambil membuka koran, mencari lowongan pekerjaan.
Laki-laki itu kembali menghela napas. “Pasti Kakek memaksaku buat belajar memakai pedang lagi. Aaaaarg, mengesalkan!”
Di zaman modern ini, masih saja ada orang yang begitu. Kakek, aku sama sekali tidak ingin jadi penempa pedang atau pengguna pedang sepertimu! Aku lebih memilih menjauhi kegiatan brutal dan mengerjakan kegiatan mudah yang damai. Dumalnya dalam hati.
Langit sudah di penghujung senja, kebanyakan toko sudah tutup. Berkat kegemparan yang menimpa dunia dua ratus tahun lalu, pemerintah di setiap negara sepakat tuk membatasi waktu aktivitas masyarakat di malam hari. Memang, saat ini, banyak yang protes tuk kelonggaran waktu dan menyepelekan peringatan pemerintah karena mereka merasa aman berkeliaran berkat jimat dan keberadaan prajurit pembasmi Iblis.
Apalagi lima puluh tahun ini pemerintah Jepang sudah memperluas pengamanan dengan memasang banyak kuil mini tuk mengurung Iblis di wilayah padat penduduk. Jadi, aktivitas malam di Jepang ramai di era modern ini. Padahal, kalau menengok lima puluh tahun ke belakang, penduduk tak ada yang berani mengintip malam lewat jendela.
Hiroto membawa dua jimat sekaligus, yang satu terbuat dari kain, diikat di pergelangan tangan. Mampu menangkal Iblis agar mereka tak bisa menyentuh manusia. Yang satu lagi berbentuk lonceng, di sangkutkan di celah ikat pinggang. Belnya cuma sebagai penanda, berbunyi ketika ada Iblis di sekitar.
Jimat untuk rumah berbentuk kertas bertuliskan mantra yang biasa disebut Ofuda. Untuk toko biasanya dilingkari tali tambang dan Shide—kertas putih zig zag—di atapnya atau digantung di bawahnya, seperti yang ada di toko senjata tradisional milik Kakenya, Takama.
Toko senjata itu bangunannya dihimpit di antara ruko bertingkat dan rumah susun. Temboknya masih dari kayu berbalut kertas berwarna merah, dengan lentera bundar bergantung di kedua sisi pintu masuk.
“Jii-chan?” tegur Hiroto yang menggeser pintu masuk toko.
Swuush!
Hiroto membeku ditempat, mendapati belati cantik yang baru saja melintas nyaris mengenai telinganya dan kini menancap di kayu kerangka pintu geser toko. Laki-laki itu menatap ke depan, mendapati Kakeknya memegang empat bilah belati tambahan. “Tangkap ini!” titah si Kakek.
“K-kakek?!”
Dua dilempar bersamaan, mengincar mata cucunya. Hiroto menjatuhkan diri, karena mendadak, pantatnya mendarat di lantai dengan kencang. Satu lagi meluncur, mendarat di sebelah paha laki-laki bersurai hitam lurus itu. “Kakek, hentikan! Kau mau membunuh cucumu sendiri?” protesnya.
“Ha! Kau mengaku sebagai cucuku tapi kau bahkan tidak bisa menangkap ini!”
“Iyalah, gak bisa! Aku ini siswa SMA biasa, Kakek tua!”
“APA?”
Jengkel, Hiroto yang bertumpu satu lutut di lantai melayangkan tinjuan. Belati terakhir meluncur nyaris menggores lengannya kalau tidak ada gelang jimat di sana. Si Kakek mendengus. “Payah.”
“Ya sudah, nasi kepalnya aku saja yang makan.” Baru menaruh bekal itu di lantai, sekejap bekal itu sudah di ambil si Kakek dan isinya sudah di lahap.
Toko itu tidak begitu luas, hanya empat kali empat meter. Atapnya juga tak begitu tinggi hingga rasanya pengap di dalam. Lampunya kuga tak begitu terang, sehingga terkesan mencekam dengan tembok toko yang juga berwarna merah.
Setiap senjata memiliki raknya sendiri. Untuk senjata kecil seperti belati di susun di dalam etalase kaca, ditaruh telentang di atas potongan kayu berukir bunga sakura. Sedangkan untuk pedang dan tombak di pajang di tembok dan diberi identitas seperti nama dan tanggal pembuatan.
“Kau ini laki-laki, Hiroto. Laki-laki dilarang menjadi lemah. Laki-laki dilarang bersedih. Jangan seperti Ayahmu yang payah itu.”
Ucapan jelek ini sudah terlalu sering didengar Hiroto sampai kupingnya kebal. “Ayahku bukam lemah, tapi ceroboh.”
“Sama saja!”
Si Kakek duduk dengan susah payah setelah memungut bilah cantik yang tadi digunakan. “Lihat ini, Hiroto. Keempat belati ini pernah dipakai oleh prajurit wanita Akibara saat masa Iblis mengambil alih Yokohama. Nama mereka Reigen.”
Hiroto yang masih duduk di lantai merapatkan bibir, mengeluarkan napas lelah dari hidung. Haaaaa, cerita itu lagi.
“Keempat belati ini digulung dalam Ofuda, saat dipakai, belati kecil ini bisa melenyapkan Iblis besar dengan menyerap emosi negatif mereka—“
Hiroto memotong ucapan serius Kakeknya. ‘’Yaaa, yaaa. Haduh, udah beribu-ribu kali Kakek cerita begitu.”
“Lalu, pedang yang di sana—“
“DENGER DONG, AH! Aku pulang, nih!”
“Hiroto, Kakek ingin kau mempertimbangkan lagi masa depanmu. Aku menaruh harapan besar pada kau dan Jun,” kata Kakeknya dengan suara lebih lembut.
Manik hitam legam laki-laki itu goyah mendengar nama Kakaknya disebut. “Aku tidak mau.”
“Kau sudah pernah mengikuti klub kendo di SMP, kau tinggal meneruskannya.”
“Itu terpaksa!” Hiroto mulai melantangkan suaranya. “Itu karena Kakek selalu memaksa, jadi aku berpikir tuk menuruti kemauanmu sekali saja. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin masuk klub kendo.”
“Terus mau jadi apa kau nanti? Bakatmu hanya di situ.”
Merasa di remehkan, Hiroto bangkit. “Kakek mana tau! Aku yang paling paham soal diriku sendiri! Aku punya bakat lain!”
Kakeknya tak mau kalah. “Bakat apa? Jadi pembantu rumah?”
“Aku pulang!” Hiroto membanting pintu toko.
Di jalan pulang, laki-laki yang tidak mengganti seragam sekolahnya itu mendumal. “Selalu saja memaksa orang! Aku heran kenapa Kakek dan Ibu sangat berbeda. Kalau Ibu masih ada Kakek tidak akan sok ngatur begitu.”
Langit gelap dan angin yang agak kencang mendukung pendapat siswa bersurai hitam dengan poni yang nyaris menutupi matanya itu. “Kalah dia benar-benar Kakekku harusnya dia mendukung apa pun keputusan—“
Criiing!
Hiroto sontak berhenti berjalan. Barusan bel omamori berbunyi begitu dia melewati gang bangunan. Dia membeku sejenak, lalu menggeleng cepat. “Sepertinya aku salah dengar.”
Sebuah tangan transparan langsung membekapnya dari belakang. Kekuatan besar itu seketika menarik Hiroto tuk masuk ke gang sempit yang gelap. Namun, Hiroto tentu tidak sepasrah itu tuk menurut. Lengannya memeluk tiang lampu di sebelah agar dia tak terbawa ke belakang.
“Oy, lepaskan tanganmu.” Suara itu terdengar begitu dekat sekaligus begitu jauh. Bukan suara berat khas monster di film kartun atau suara melengking perempuan yang teriak setelah dijambret. Suara yang tidak terdengar jelas gendernya tapi Hiroto tau suara itu bukan suara manusia.
Hiroto menatap pergelangan tangannya yang kosong. Aaaaaarg! Jimatnya ada di toko Kakek sialan itu!
Tangan itu melepaskan bekapannya. Hiroto mengambil napas dalam-dalam dan tersungkur masih memeluk tiang. “Aku harus buru-buru pergi dari sini ....”
Sontak tangan tadi kembali menggapai siswa itu, menarik kaki kirinya dengan cepat, siswa itu langsung terseret semakin dalam ke gang sempit yang gelap. Manik hitamnya menangkap bagian tergelap di gang, yaitu sebuah lubang. Sontak dia teringat sejarah pertama Iblis datang menyerang, mereka datang lewat lubang juga.
“Tolong aku!” teriaknya seraya bertumpu pada tanah pinggiran lubang begitu tubuh dan kakinya sudah jatuh ke dalam. Tarikan tangan tak kasar mata itu cukup diluar nalar. Hiroto juga baru sadar kalau tangan itu sangat panjang karena dia tidak merasakan keberadaan tubuh si pemilik tangan di dalam lubang.
Matanya menatap horor dasar lubang yang tak terlihat. Sedalam apa lubang ini? Kenapa tidak ada prajurit yang datang?
“Tolong! Di sini ada Iblis, dia menarikku ke dalam lubang—“
Tanah tempatnya berpegangan hancur. Hiroto jatuh ke dalam. Sisi dahinya membentur batu, robek dan mengeluarkan darah. Dia tersungkur di dasar lubang. Eh ... lubangnya tidak sedalam itu? Batinnya.
Dia menangkap ada yang aneh dari kaki kirinya. Terdapat retakan di kulitnya. Namun, sekejap kemudian kulitnya kembali normal.
Dengan pandangan memburam, dia melihat selembar ofuda di dekat kakinya lalu terdengar suara langkah dari atas.
“Kau baik-baik saja?” suara laki-laki bertanya dari atas. Hiroto yang mulai kehilangan kesadaran tak bisa menjawab. Laki-laki itu melompat turun ke dalam, dengan mudah menopang tubuh Hiroto di pundaknya dan melompat kembali ke atas.
Hiroto dapat melihat surai ungu ametyst gelap dan manik violet si prajurit sebelum semuanya gelap. Prajurit pembasmi termuda di AG—Akibara Guild, Hayashi Kazan.
Laki-laki itu mendapati dirinya di kamar yang gelap begitu bangun. Dia meringis saat kepalanya dilanda pusing hebat dan dengungan memenuhi gendang telinga. “Ayah!” serunya sambil beranjak turun. Namun, karena dia mendadak bergerak, kakinya yang lemas belum bisa menopang tubuh bagian atas, jadi dia terjatuh.
Sang Ayah langsung membuka pintu kamar. “Hiroto?” serunya kaget seketika membantu putra keduanya tuk duduk di tepi kasur.
“Kau merasakan sakit di mana?”
“Kepalaku. Ayah, siapa yang membawaku ke sini?”
Terdengar ketukan di pintu. Seorang laki-laki yang lebih tinggi darinya dengan manik violet terang berdiri di ambang pintu. Seragamnya cukup unik dengan lambang Bunga lonceng dan dua bilah pedang di bawahnya terlihat di punggung jaket.