1. Sosok Tanpa Nama

1013 Kata
Berdiri di atas podium megah dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri. Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri... tapi juga karena seseorang yang bahkan hingga saat ini, saya pun tak tahu namanya. Seseorang yang telah membiayai seluruh pendidikan saya, hingga akhirnya saya bisa berada di sini sebagai lulusan terbaik.” Ia menahan napas sejenak, menunduk lalu tersenyum kembali. “Kepada siapapun Anda... terima kasih karena telah mempercayai saya, seorang gadis yatim piatu dari panti asuhan kecil yang tak memiliki apa pun, selain mimpi yang tinggi dan keinginan yang besar untuk belajar. Dan hari ini, satu mimpi saya telah tercapai... berkat Anda.” Ia menunduk untuk memberi hormat, lalu turun dari podium. Sorak sorai dan suara tepuk tangan kembali membahana saat semua berdiri untuk memberikan standing ovation. ... termasuk satu sosok misterius yang duduk di antara para tamu undangan. Pria itu duduk tenang di deretan belakang, dengan mengenakan setelan jas gelap yang tampak mahal, kacamata hitam, serta masker yang menutupi wajahnya. Penampilannya tidak mencolok, namun auranya sungguh terasa berbeda. Tegap, tenang dan penuh wibawa. Saat Aveline tadi menyebut “seseorang yang tak tahu namanya”, bibir di balik masker itu pun seketika menyeringai. “Gadis kecil itu masih polos,” gumannya pelan. Ia pun ikut bertepuk tangan. Tak cukup keras, namun cukup untuk ikut dalam euforia kemenangan Aveline. Lalu tiba-tiba ia mendengar dua pria yang duduk di sebelahnya saling berbisik. “Wow, jadi itu yang namanya Aveline Rose, ya? Yang lulusan terbaik?” “Sangat cantik dan juga pintar, kan? Tapi sayang, dia bukan siapa-siapa, cuma anak miskin dari panti asuhan.” “Iya. Sangat disayangkan, ya? Kalau saja dia dari keluarga kaya, pasti sudah jadi rebutan.” Manik gelap pria bermasker itu seketika melempar lirikan ke arah mereka, dengan sorot yang dingin dan tajam seperti pisau. Namun tetap saja tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya berdiri dengan perlahan, lalu berjalan meninggalkan ruangan auditorium itu dengan tanpa suara. Pintu mobil hitam mewah jenis Bentley itu telah terbuka sebelum pria itu mendekat, oleh sang supir mengenakan seragam rapi dengan topi khas sopir pribadi. “Selamat siang, Tuan Wolfe,” ucap sang sopir seraya mengangguk penuh hormat. Pria itu membuka masker dan kacamatanya. Masih tanpa kata, ia tersenyum kepada supirnya, lalu duduk di kursi belakang. Wajah yang muncul itu bagaikan pahatan sempurna... rahang tegas, hidung tinggi, mata coklat yang tajam dan dalam, serta ekspresi dingin penuh perhitungan. Dominic Wolfe. Pria yang dikenal sebagai salah satu pengusaha yang disegani di Chicago, namun juga dermawan misterius yang tak banyak orang tahu keberadaannya. “Kita mau ke mana, Tuan?” tanya sang sopir. Dominic bersandar santai di kursi yang empuk, dan menatap ke luar jendela. Sebersit senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Pulang. Aku sedang menunggu tamu spesial yang akan segera datang.” *** Sementara itu Aveline yang baru saja turun dari panggung penuh dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Teman-temannya berebut untuk memeluk serta memberikan ucapan selamat, namun fokusnya tetiba teralih ketika ponselnya bergetar. 1 (satu) Pesan Masuk. Dari nomor tak dikenal. “Selamat atas kelulusanmu, Aveline Rose. Jika kamu masih ingin bertemu denganku, aku siap menerimamu malam ini. Aku kirimkan alamatnya, datanglah sendirian. -D” Aveline terbelalak. Maniknya yang sebiru laut tampak membesar, lalu buru-buru menutup layar ponselnya sambil menahan rasa ingin menjerit karena terlalu bahagia. “Oh my God... akhirnya!” bisiknya dengan mata berkaca-kaca. Setelah tiga tahun ia selalu mencari, menanyakan kepada pihak kampus, bertanya kepada yayasan beasiswa, menyurati berbagai lembaga dan hasilnya selalu saja nihil. Sosok penolongnya terlalu rapi menyembunyikan jejak. Tapi kini... dia sendiri yang mengundang Aveline secara langsung! Aveline merasa dadanya nyaris meledak karena sangat gembira. Ia sering membayangkan sosok malaikatnya sebagai pria paruh baya yang bijaksana dan penuh senyum, atau wanita dewasa dengan aura keibuan dengan helai-helai rambut yang mulai memutih. Seseorang yang tak suka menonjolkan diri, penyayang, dan memiliki hati selembut sutra, namun sangat kaya raya. “Aku akan bertemu malaikatku malam ini...” bisiknya dengan kedua tangan terkepal erat, seakan tak sabar untuk menantikan malam agar segera tiba. *** Malam itu Aveline berdiri di depan sebuah Mansion megah bergaya klasik-modern di wilayah North Shore, kawasan elit di pinggiran Chicago. Ia tidak membawa apa pun selain seikat bunga mawar kuning yang harum, serta hati yang penuh dengan harapan. Semoga saja... pahlawannya menyukai bunga yang ia bawa. Pagar besi tinggi dan kokoh itu pun otomatis terbuka, setelah wajahnya dikenali oleh kamera keamanan. Seorang pria setengah baya membukakan pintu utama dan membawanya masuk tanpa banyak bicara, hanya memberi kode sopan. Langkah Aveline sedikit ragu, dan jantungnya semakin berdetak cepat. Gaun sederhana berwarna putih tulang yang dikenakannya tampak begitu kontras dengan interior mewah Mansion itu: marmer hitam mengilat, chandelier kristal, tangga spiral berlapis emas. Akhirnya ia pun dibawa ke sebuah ruang tamu yang remang-remang namun hangat. Lalu... muncullah sosok pria itu dari balik bayangan. Mengenakan jas dan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka dan celana panjang abu gelap. Tanpa sepatah kata pun, ia menatap lurus ke arah Aveline. Aveline pun serta-merta menahan napas penuh keterkejutan. Itu... bukan pria paruh baya. Bukan juga pria tua bijak seperti bayangannya. Tapi... Seorang pria matang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya tinggi sekali. Dan sangat tampan. Juga... Dingin. Seolah dipenuhi oleh aura kekuasaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya yang penuh otot maskulin. “Aveline Rose,” ucap Dominic pelan, namun tatapannya seolah berkata bahwa Aveline adalah miliknya. “Akhirnya kita bertemu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN