Pertolongan Ikbal

1151 Kata
Pagi ini, tubuhku sudah merasa jauh lebih baik. Perihnya masih terasa, tapi sudah jauh membaik dari pada hari kemarin. Aku bisa duduk dan berjalan tanpa bantuan perawat, kemudian aku juga sudah bisa ke kamar mandi sendiri meskipun dengan sangat hati-hati. "Bu, sudah sehat?" tanya Tamara. Perawat ini memang terlihat sangat perduli padaku, bahkan pada ibu. Entah apa yang membuatnya selalu ada disini, padahal aku tidak memberikan bayaran lebih untuknya. "Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik Tam. Semoga dokter bisa bolehin pulang hari ini ya," ucapku. Tamara mengangguk, gadis yang aku perkirakan berumur sekitar dua puluhan tahun itu tersenyum. "Tunggu sampai benar-benar sehat Bu," usul Tamara. "Biayanya bakalan tambah banyak, sedangkan tabunganku juga gak seberapa Tam," jawabku. Aku berjalan perlahan menuju ranjang, kemudian berusaha menyisir rambut yang beberapa hari ini tidak terawat. "Sini Bu, saya bantu," ucap Tamara. "Gak usah Tam, kamu bantu aku ke ruangan ibu aja ya nanti," pintaku. Tamara mengangguk, ia benar-benar menuruti semua perintahku. Apakah ini bagian dari pelayanan di rumah sakit ini? Aku benar-benar kagum jika memang rumah sakit ini menyediakan pelayanan seperti ini karena memang sangat membantu para pasien. Setelah menyisir dan merapihkan pakaian rumah sakit, Tamara membawaku ke sebuah ruangan dimana ibu di rawat. "Lulu?" Seseorang memanggil namaku, aku langsung menoleh saat mendengarnya. Seketika aku melihat seorang pria yang aku kenal sebagai sepupu Mas Angga. "Mas Ikbal?" Aku mengernyitkan alis saat ia berjalan mendekat ke arahku, entah harus bagaimana aku menjelaskan tentang apa yang terjadi padaku nantinya. "Kamu udah lahiran? Angga mana?"* tanya Mas Ikbal. Aku menggeleng lemah, "Bayi aku meninggal Mas, aku jatuh dari tangga," jelasku. "Innalilahi, ya Allah, tapi kamu ga apa-apa kan?" tanyanya khawatir. Dulu, Mas Ikbal memang pernah menyatakan perasaannya padaku. Namun, karena saat itu aku masih sekolah, aku memutuskan untuk tidak menanggapi ungkapannya. Usia kami terpaut cukup jauh, karena saat itu Mas Ikbal sudah kuliah. Setelah penolakan itu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Hingga takdir membuat kami bertemu kembali sebagai saudara. Acara pernikahanku menjadi awal kami bertamu kembali setelah sekian lama. Ia terkejut saat mengetahui aku adalah mempelai wanita di pernikahan tersebut. Namun, aku tak banyak lagi mencaritahu tentangnya karena memang aku berusaha menjaga jarak dengannya. "Aku gak apa-apa kok Mas, cuma ibu aku di rawat disini juga karena pas jatuh beliau berusaha nyelametin aku," jelasku. "Ya Allah, yaudah biar aku bantu." Akhirnya Mas Ikbal menggantikan Tamara untuk membantuku bertemu dengan ibu. "Astaghfirullah, Angga nya mana Lu? Ibu kamu sampe begini," ujar Mas Ikbal. Aku menggeleng lemah, entah darimana aku harus menjelaskan masalah ini. Aku benar-benar tak ingin melibatkan siapapun dalam urusan rumah tanggaku. "Semua ini karena Angga, kejadian ini karena Angga!" sentak ibu. Mas Ikbal nampak terkejut saat ibu mengatakan hal tersebut, sementara aku berusaha mendekat ke arah ibu agar beliau tidak bicara banyak tentang kejadian ini. "Ikbal harus tahu Lu!" bentak ibu. "Ga apa-apa, ceritakan saja," ucap Mas Ikbal. Perlahan aku menceritakan semua kejadian itu pada Mas Ikbal. Aku tepis semua perasaan takut jika nantinya ia akan menghakimi aku. Namun, diluar dugaanku Mas Ikbal justru berjanji akan membantuku untuk mendapatkan keadilan. "Kamu punya bukti?" tanya Mas Ikbal. Sejenak aku mengingat, video itu sempat aku simpan dalam tangkapan layar. Segera aku membuka ponsel yang ada dalam genggaman, mencari file tersebut dan menunjukannya pada Mas Ikbal. "Hah! Diva!" Mas Ikbal nampak terkejut, apa ia mengenal wanita yang ada dalam gambar tersebut? Siapa sebenarnya wanita yang berani menghancurkan rumah tanggaku? "Siapa Diva Mas?" tanyaku penasaran. Mas Ikbal menatapku sejenak, ia seakan ragu untuk menjelaskan semuanya. Namun, aku tak menyerah dan berusaha untuk membuat ia mengatakan siapa wanita dalam video tersebut. "Dia wanita yang belum lama aku kenal melalui aplikasi f******k, sebelumnya aku tidak pernah tahu tentang dia. Namun, kami akrab dan akhirnya menjalin hubungan. Minggu ini, rencananya kami akan bertunangan," ungkap Mas Ikbal. Aku benar-benar terkejut mendengar penjelasan darinya, semua terasa berputar. Dunia begitu sempit hingga semua nampak berkutat di situ saja. "Aku gak yakin kalau ini sebuah kebetulan saja," gumam Mas Ikbal. "Maksudnya?" tanyaku memastikan apa yang baru saja aku dengar. Apa semua ini memang ada hubungannya dengan Mas Angga? Atau ... ahh entahlah. "Semua pasti ulang Angga!" sentak Mas Ikbal. Aku semakin tak mengerti dengan arah pembicaraan Mas Ikbal. Bagaimana ia bisa menuduh jika semua adalah ulah dari suamiku? Namun, aku tetap diam. Jika memang Mas Ikbal ingin mengatakan semua, pasti ia akan katakan tanpa harus terus aku cerca. "Mungkin kamu bingung Lu, tapi sudahlah. Intinya, Angga adalah orang yang paling antusias dalam pertunanganku dengan Diva. Aku yakin, semua ini rencana Angga. Benar-benar kurang ajar bocah itu!" Mas Ikbal nampak sangat emosi, ya, bagaimanapun semua hati akan kesal jika di permainkan seperti itu. "Yasudah, saya pamit dulu. Kamu kapan bisa pulang Lu?" tanya Mas Ikbal. "Mungkin hari ini Mas, atau paling lambat besok," jawabku. Mas Ikbal mengeluarkan dompet dan memberikan sebuah kartu kredit. "Pegang lah ini, untuk jaga-jaga. Aku tahu persis gimana watak Angga dan keluarganya," jelas Mas Ikbal. Aku berusaha menolak, tapi Mas Ikbal meyakinkan aku jika memang tidak di pakai aku bisa mengembalikannya nanti. Mas Ikbal pun pergi dari ruangan ini dan dari pandanganku, aku bahkan lupa menanyakan keperluannya datang ke rumah sakit. Siapa yang sakit? Beberapa menit kemudian, aku berinisiatif untuk meminta administrasi rumah sakit pada Tamara. Dengan sigap, Tamara pergi ke bagian administrasi rumah sakit. Kini, hanya ada aku dan ibu dalam ruangan. Beliau nampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku mendekat ke arah beliau, memeluk dengan lembut dan hati-hati. "Terima kasih atas semuanya Bu," ucapku sembari menahan isak tangis. "Ibu akan selalu melindungi kamu, Nak," ucap beliau seraya membalas pelukanku. "Bagaimana keadaan ibu? Kapan kira-kira bisa pulang Bu?" tanyaku. "Seperti yang kamu lihat, ibu sudah jauh lebih baik. Namun, ada baiknya kita tunggu sampai besok ya. Supaya tenaga kita semakin pulih," usul ibu. Aku mengangguk dan menyetujui permintaan beliau, tak lama berselang akhirnya aku kembali ke kamarku setelah Tamara memberikan total pembayaran rumah sakit. Jumlah yang cukup besar, tapi untunglah aku memiliki tabungan di kartu ATM ku. Meski seharusnya, tabungan ini sebelumnya untuk biaya persalinan dan persiapan pasca melahirkan. Aah, sudahlah. Aku yakin, ada rencana indah yang sudah Allah siapkan di masa depan untukku nantinya. Aku serahkan kartu ATM pada Tamara untuk melakukan pembayaran. "Maaf Bu, kartunya di blokir," ucap Tamara. Di blokir? Bagaimana bisa? Padahal, itu semua atas namaku. Jika memang semua ini ulah Mas Angga, aku benar-benar tak akan pernah bisa memaafkannya. Ya Allah, apa Mas Angga menggunakan buku tabunganku di rumah sebagai alat untuk bisa memblokir akses ATM ku? tega sekali ia melakukan semua ini padaku. Apa ini yang di katakan Mas Ikbal tentang tahu segalanya tentang keluarga suamiku? Namun, aku ragu untuk memakai kartu yang di berikan oleh Mas Ikbal. Aku tak ingin berhutang padanya, tapi aku benar-benar tak ada pilihan lain. Jangan sampai ibu tahu tentang masalah ini, sudah cukup rasanya beliau terkena imbas dari masalah rumah tanggaku. Namun, bagaimana aku akan membayar hutang pada Mas Ikbal. Sedangkan, jumlah biaya rumah sakit tidak sedikit. Ya Allah bagaimana ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN