2. Wake Up, Jyan!

1089 Kata
Apakah ini arti dari debaran jantungku yang semakin kencang dari tadi? Bukan karena aku akan menemukan kebahagiaan di perusaahan baruku tapi karena akan bertemu dengan dia. Ini bukan lagi keberuntungan buatku karena bisa diterima di sini, tapi ini sebuah kesialan! "Ganteng banget ya," bisik Manda. Aku membuang napas, antara ingin mengiyakan ucapannya dan tidak rela karena ada yang memuji buaya itu. "Biasa aja," sahutku. "Ganteng tapi kalau sudah punya istri sih percuma," kataku lagi mirip sebuah gumaman. "Eh...." Manda menoleh ke arahku karena sepertinya dia lumayan kaget dengan ucapanku. "Kok tahu?" tanyanya. "Nebak aja," sahutku. Aku menundukkan wajah setelah sedetik melihat wajahnya yang entah kenapa tidak berubah sejak terakhir kali bertemu dengannya. Masih sama, membuat gadis-gadis tak berdosa terpana. Ah sial! Itu artinya dia menjalani hidupnya dengan bahagia, perpisahannya denganku tak berarti apa-apa dan tidak berpengaruh pada hidupnya. Berbanding terbalik denganku yang membutuhkan waktu lama untuk menghilangkannya pikiranku dan menjalani hidupku dengan normal. Astaga! Kenapa aku memikirkannya lagi. Baiklah Jyan, siapa pun yang saat ini berada di hadapanku, anggaplah hanya orang asing. Tenanglah, tarik napas dalam-dalam. Buang wajah buaya itu dari dalam pikiran! Tapi yang nggak habis aku pikir, sejak kapan dia berada di Jakarta dan pindah ke perusahaan ini? Sepertinya sudah lumayan lama karena terlihat dari kesombongan di wajahnya saat memperkenalkan diri, menandakan senioritasnya. "Selamat pagi semuanya. Saya Gentala, panggil saja Genta, Gen, atau apa saja yang nyaman buat kalian. Saya Training Specialist di Global Oil." Dia memulai perkenalannya. Ogah banget aku manggil namanya. Buaya lebih pantas untuk menyebutnya. "Selama enam bulan masa percobaan kalian ini, saya akan menjadi mentor kalian. Kalian boleh bertanya apa pun pada saya. Saya akan membantu kalian sebisa mungkin," lanjutnya lagi. Mending aku bertanya pada tembok aja daripada sama dia. Aku pasti sudah mengundurkan diri di hari pertama kerja jika saja nggak ada ancaman penalti. Duh Mama! "Setelah ini Kania akan mengumumkan divisi tempat kalian akan memulai hari pertama kerja. Dan setelahnya saya akan menjelaskan secara singkat masing-masing divisi itu," ujarnya menutup perkenalannya. Aku menahan napas sejenak dan baru tersadar untuk menarik napasku kembali saat dia telah beranjak dan tidak berada di ruangan ini lagi. Gila! Baru hari pertama kerja dan aku sudah merasa ingin mengundurkan diri. Apalagi kalau bukan karena dia. Berbulan-bulan aku mencoba melupakan dia dengan berbagai cara, meninggalkan pekerjaanku di Surabaya, mengganti nomor ponselku, menutup segala komunikasi yang memungkinkan akan berinteraksi dengannya kembali, dan semua hal yang jika saat ini kupikirkan sepertinya hanya membuang waktu dan tenagaku. Bahkan aku juga menonaktifkan semua media sosialku karena buaya sialan itu. Buktinya hari ini, hanya dengan beberapa menit melihat dan mendengar suaranya kembali, seluruh pertahananku seperti runtuh. Aku seperti kembali ke titik nol. Sakit hatiku seperti nggak dihargai sama sekali. "Jyan Kinanti di divisi Human Resource and General Affair." Sekilas aku mendengar namaku disebut oleh Kania. "Lo di HR GA," ucap Manda. Wajah bingungku sepertinya membuat Manda heran. "Eh...iya," sahutku gugup. Astaga, hanya karena memikirkan sosok buaya itu mengacaukan seluruh konsentrasiku. "Gue di Accounting," ujar Manda sebelum aku bertanya padanya. "Mulai besok kalian sudah mulai bekerja di divisi masing-masing dan tiap hari Jumat akan berkumpul kembali di sini untuk dilakukan mentoring," jelas Kania. Aku sudah menduga akan ditempatkan di HR, karena pengalaman kerjaku sebelumnya juga memang di situ. "Maaf menginterupsi sebentar. Karena ini hari pertama kalian di Global Oil, saya akan membawa kalian berkeliling agar lebih mengenal perusahaan baru kalian ini," ujar sebuah suara. Aku sengaja nggak mau mengangkat wajahku, karena tahu siapa yang sedang berbicara di depan sana. Suara beratnya yang kadang kala terdengar menggoda belum berubah juga. Kalau bisa, rasanya aku ingin menggorok lehernya. Suara yang dulu pernah aku rindukan. Oke, skip. Nggak penting dibicarakan lagi. "Sebelumnya saya akan mengabsen kalian satu per satu dan kalian tinggal jawab dengan nama panggilan kalian. Ini untuk mempermudah saya mengingat nama kalian," lanjutnya lagi. Aku membisu nggak berselera menimpali pembicaraan Manda dengan Gloria, salah seorang karyawan baru yang lainnya. Mereka berdua seperti sedang menggosipkan Bapak Buaya di depan saya yang menurut mereka sangat hot dan menggoda. Bisakah saat ini aku pura-pura tuli saja? "Jyan Kinanti," panggilnya kemudian setelah beberapa nama disebutkan oleh ya. "Jyan," sahutku nggak bersemangat. Seperti nggak terjadi apa-apa, dia kembali mengabsen nama karyawan yang lainnya. Apa sih yang lo harapin? Nggak ada, aku cuma pengen hidup tenang tanpa perlu memikirkan lelaki ini. "Silahkan ikuti saya. Kita akan memulainya dari lantai satu," ujarnya dengan wajah datar tanpa senyum. Aku mengangkat wajahku, sudah saatnya menganggap dia bukan siapa-siapa. Karena dari tadi Manda dan Gloria terus membicarakan Genta --oh akhirnya bisa juga aku menyebut namanya, aku berjalan menjauh dari mereka berdua dan menempel pada dua orang lelaki yang belum kuajak kenalan ini. Daripada telingaku panas mendengar mereka menyebutkan namanya berkali-kali. Ngegosipin sih, tapi volume suaranya mereka nggak bisa direm. "Hai," sapaku pada dua lelaki ini. "Lo yang di HR GA juga, kan?" tanya salah seorang dari mereka. "Lo juga ya?" Aku bertanya balik dan dijawab dengan anggukannya. "Jyan," kataku mengenalkan diri. "Sudah tahu, kan tadi sudah dengar lo nyebutin nama lo," timpalnya sambil tertawa. "Tetap aja lo mesti nyebutin nama lo berdua lagi, gue nggak konsen dengarnya tadi," timpalku sambil tertawa. "Ranu," katanya. "Gue Andra," ujar yang lainnya. "Kalau lo di divisi mana?" tanyaku pada Andra. "Sama dengan Manda, di accounting," sahutnya. Aku terdiam beberapa saat, sepertinya di sini cuma aku yang belum saling mengenal. Gara-gara terlalu banyak melamun memikirkan--ups, cukup Jyan. Jangan sebutkan lagi. "Lantai satu disebut juga front office. Di sini divisi Service and Development, tempat menerima keluhan dan juga gudang informasi mengenai Global Oil," jelas Genta saat membawa kami menuruni lift menuju lantai satu. Biasakan dengan menyebut namanya, Jyan. Gentala. Gentala berarti naga. Dia memang kuat dan gagah seperti naga, binatang imajinasi yang hanya ada di dongeng. Astaga Jyan! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mencoba mengusir semua hal yang berhubungan dengannya. "Apa ada pertanyaan?" "Jyan?" Aku menahan napas dan jantungku berpacu lebih cepat saat namaku disebut olehnya. "Ada apa? Apa ada masalah?" tanyanya kemudian. Aku mengernyit dan menoleh ke arah Ranu, masalah apaan? Lo tuh yang jadi masalahnya. "Nggak ada, Pak. Jyan cuma agak pusing," sahut Ranu seperti mencoba menyelamatkanku. Salahku juga yang bertingkah norak. "Makasih, Ran," bisikku. "Lagian lo kenapa sih geleng-gelengin kepala dari tadi? Lo benaran pusing?" tanyanya kemudian. Aku mengangkat bahu, nggak mau menjawab pertanyaannya. "Oke, fokus. Ini kesempatan emas buat kalian, kalau kalian merasa nggak mampu bekerja di sini, silahkan mengundurkan diri dari sekarang," ucapnya penuh ancaman. Aku mencibir, sombong banget jadi orang. Tenanglah, Jyan. Lihat, dia aja seperti nggak berpengaruh apa-apa saat menyebut namaku tadi. Semuanya sudah berlalu, jangan buat seolah aku yang sangat menderita. Wake up, Jyan!(*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN