Pertemuan malam ini membuat semua keluarga Neina berkumpul. Adel dan ibunya memilih mengenakan gamis terbaru yang sangat cantik dan modern karena Adel sendiri yang mendesign sementara Neina karena belum berhijab hanya memakai gaun pemberian Adel yang juga tak kalah cantik dan juga Ica sebagai anak perempuan terakhir. Rega dan ayahnya memakai baju kemeja batik yang sama yang dijahit oleh karyawan Adel dengan bahan terbaik.
Tak lama pintu depan mereka berbunyi, membuat kedua orang tua mereka langsung berdiri untuk menyambut keluarga laki-laki yang hendak diperkenalkan kepada Adel.
Saat mereka sudah dipersilakan masuk dan duduk di kursi yang tersedia di ruang tamu rumah mereka yang sangat luas itu, tubuh Neina mendadak berdiri kaku di tempat dengan bola mata yang seakan hendak keluar.
Ada 3 pria dan 3 wanita lalu anak-anak kecil yang memang dibawa serta merta pengasuhnya.
Mereka ramai sekali.
Tapi bukan itu yang membuat Neina terkejut, melainkan sosok Pak Farraz yang mengenakan kemeja hitam dan celana bahan senada. Rambut coklat gelap dengan wajah dingin yang tidak pernah berubah.
Seketika ia merasa sikutan di lengannya, membuat Neina menoleh menatap sang kakak.
“Cakep, Na!” seru kakaknya terpukau pada pria yang jelas sedang Neina tatap sebelumnya.
Neina menetralkan tenggorokannya. “Iya, Kak.”
Keduanya mengabaikan obrolan orang tua dan memilih mengobrol sendiri. Tak lama, suara Ica yang duduk di sebelah Neina segera memanggil.
“Tak Azis!” serunya cadel membuat Neina menoleh pada adik kecilnya itu.
“Kamu kenal?”
Ica mengangguk. “Tatak elas Ica.” Ia menjawab cadel.
Aziz yang dipanggil langsung menolehkan kepalanya dan tersenyum lembut pada Ica yang menjadi adik kelasnya. Mereka sering bertemu di kantin walau beda kelas tapi keduanya cukup sering makan bersama. “Ica!” balasnya tidak kalah senang.
Melihat itu orang tua pun kini semakin bersemangat untuk menjodohkan putera dan puteri mereka.
“Jadi, Nak Adel, gimana? Setuju jika dijodohkan dengan Vano?”
“Vano?” tanya Neina seketika bingung. Bukankah seharusnya kakaknya dijodohkan dengan Pak Farraz? Kan Pak Farraz yang duda anak satu?
Melihat kebingungan Neina membuat tawa para keluarga Pak Farraz pecah. “Kamu pasti Neina?” tanya Ibu paruh baya tersebut. “Kamu kuliah bagian kedokteran ya? Berarti sering ketemu sama Farraz?”
Mata Neina seketika melirik dosennya itu dengan sekilas karena benar-benar tidak kuat di tatap dingin seperti itu. “Ehm, i-iya, Tante.”
Ola yang merupakan ibu dari Pak Farraz seketika tersenyum lembut. “Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan minta bantu sama Farraz.”
Lagi-lagi Neina menelan salivanya lalu mengangguk sopan tanpa menjawab. Mana mungkin dia berani bertanya pada dosen killer itu? Baru melihat wajahnya saja dia sudah ketar-ketir ketakutan.
Obrolan kembali lagi pada Adel dan juga sosok Vano. “Vano adalah keponakan saya seperti anak saya sendiri karena dari kecil Vano memang sudah bersama saya.” Ola menerangkan asal usul Vano yang mungkin seumuran dengan Abangnya dan juga Pak Farraz. “Dia memang pernah menikah sekali dan memiliki anak perempuan yang lucu tapi –”
Vano meringis pelan yang duduk disebelah Farraz. “Biar saya saja menjelaskan, Tan.”
Ola mengangguk. Kemudian,Vano mengambil alih pembicaraan. “Saya memang memiliki kekurangan. Bukan seorang perjaka yang mungkin Mbak Adel harapkan,” gumam Vano seketika melirik sosok yang ingin dijodohkan dengannya. “Saya memang pernah menikah namun istri saya meninggalkan saya demi laki-laki lain dan saya memilih untuk mengasuh Olive.” Vano menatap puterinya yang berumur 3 tahun dalam gendongan babysitter.
“Vano dan Farraz sama-sama duda. Farraz sendiri seperti yang Neina tahu, istrinya meninggal dunia tapi belum memikirkan untuk menikah lagi.” Ola menatap Neina dan keluarganya dengan senyum ironi.
“Mom,” tegur Farraz dengan suara lembut untuk tidak membahas tentang dirinya.
Ola mengangguk. “Saya harap pertemuan malam ini tidak membuat kalian kerepotan.”
Tiara selaku ibu dari empat anak itu segera menggeleng sambil tersenyum. “Enggak sama sekali, Mbak. Saya senang kalau Mbak dan keluarga datang ke rumah kami.” Wanita paruh baya itu menatap Adel yang kini menunduk sambil menahan malu. “Saya serahin keputusannya sama Adel ya? Bagaimana pun yang jalanin rumah tangga ke depannya Adel dan Vano.”
Vano segera mengangguk. “Jikalau diizinkan, saya ingin mengenal Adel dan mengajak Adel ta’aruf sebelum benar-benar ke jenjang yang lebih serius karena saya ingin menikah sekali seumur hidup dan tidak lagi mengalami kegagalan yang sama.”
*
Neina saat ini memilih untuk menemani Ica dan juga Aziz bermain di taman samping rumah mereka. Ia duduk di ayunan sementara Ica dan Aziz duduk di rerumputan lembut yang di beli langsung di luar negeri untuk dijadikan taman.
Keluarga mereka di dalam mungkin sedang mengobrol tapi Neina tidak ingin ikut campur sebelum kakaknya memutuskan. Tapi, setelah melihat Pak Vano yang tampaknya serius dengan kakaknya, rasanya tidak ada ruginya sama sekali.
Pak Vano terlihat tampan, baik, dan juga pintar. Tentu saja hal itu membuat Neina merasa cocok dengan kakaknya yang suka dengan pria berwawasan luas.
“Kak Neina, wanna play with us?” tanya Aziz seketika membuat Neina langsung menatap kedua bocil itu yang menatapnya menunggu jawaban.
“Nope! Lain kali ya?” jawab Neina dengan lembut. Lalu, memilih bertanya pada Aziz. “Aziz, kamu sama Papa sering ketemu?” tanya Neina yang sepertinya sudah tahu jawabannya.
Aziz menggeleng. “No. Daddy sering di luar rumah.”
“Terus kamu sama siapa di rumah?” tanya Neina bingung. “Sama grandma?”
“Sometimes. Tapi, aku lebih sering sama Kak Irma.”
“Irma?” tanya Neina kemudian lalu memilih duduk bersama dua anak itu di rerumputan lembut tersebut. “Oh, yang tadi ya?” lanjutnya lagi saat melihat dua babysitter yang memakai seragam. Neina tahu babysitter yang satunya menjaga Olive dan yang lainnya menjaga Aziz.
“Right!” jawab Aziz kemudian mengangguk.
Mungkin saat ini para babysitter dan keluarga mereka sedang makan malam sehingga tidak ada yang mengawasi kedua anak ini. Neina memilih untuk menemani keduanya bermain malam ini karena menurutnya, disini lebih tenang daripada bergabung dengan para orang tua di dalam.
Seketika mata Neina menatap wallpaper di ponsel Aziz yang menggantung di lehernya. Ia memutuskan bertanya. “Is that your Mom?”
Aziz lalu menatap ponselnya yang ternyata hidup. Lelaki kecil itu lalu mengangguk. “Yupz, beautiful, isn’t she”
“Your Mom is so beautiful, Sweetheart,” jawab Neina membuat senyum Aziz melebar senang. Tak lama ia melihat ayahnya tampak berdiri di dekat mereka.
“Daddy!” seru Aziz membuat Neina dan Ica seketika menoleh menatap pria yang berdiri dengan tatapan dingin serta kedua tangan masuk ke dalam saku celana panjangnya.
Baik Neina dan Ica berdiri, Aziz sendiri memilih untuk berlari ke arah Papanya. Neina merangkul Ica berdiri di depannya.
“Neina said that my mom is so beautiful, Daddy.” Ia memperlihatkan foto ibunya di ponselnya.
“Pak,” sapanya sopan menghormati sang dosen karena tidak enak ketika Aziz mengatakan hal tersebut.
Farraz hanya mengangguk kecil lalu menatap puteranya yang kini tersenyum lebar padanya. “Daddy, Kak Neina temenin Aziz sama Ica main.”
“Benarkah?” tanya Farraz lembut lalu berjongkok mensejajarkan diri dengan puteranya. Merapikan rambut puteranya yang terlihat tidak rapi.
Neina yang melihat itu seketika tertegun. Tidak pernah ia melihat Pak Farraz tersenyum lalu berkata dengan lembut seperti ini selama ia mengenal dosennya ini. Tapi, malam ini...
Ternyata perlakuan Pak Farraz dengan anaknya sangat berbeda sekali.
“Neina,” panggilan bernada tegas itu seketika menyadarkan Neina lalu menatap mata hazel nan tajam tersebut.
“I-iya, Pak?”
“Ayo masuk. Kamu belum makan ‘kan?” tanyanya lalu menatap Ica yang kini sedang menatap mereka. “Ica juga belum makan. Sebaiknya kalian makan dulu.” Farraz lalu menatap puteranya. “Ayo, kamu juga harus makan.”
Neina kemudian mengikuti langkah Pak Farraz dari belakang untuk masuk ke dalam rumahnya.