BAB 07: ES LOLI

1549 Kata
“NEEEK!” pekik Gary di ujung telpon. Isla yang baru saja terbangun dari tidur karena bunyi ponselnya spontan terkekeh. “Ya ampun Nek, eyke kangen berat ih!” ujar Gary lagi. “Me too, lo kapan balik ke sini sih?” “Senin eyke udah pegang tiket pesawat paling pagi. Langsung ke kantor. Yeiy ke kantor kan cyn?” “Iya.” “Happy birthday cintaku, sayangku, my best friend ulala, my Jisoo!” “Kenapa pakek ulala sih?” kekeh Isla. “Biar ketjeh! Semua doa terbaik untuk yeiy, Nek!” “Thank you sayangku.” “Nanti pas eyke menjejakkan kaki kembali di Jakarta, yeiy harus ceritain semua ke eyke, oke?” “Hmm!” “Termasuk kenapa eyke dapet telpon dini hari dari IGD.” “Gary...” lirih Isla. “Nek, everything will be all right, OK?” “Hmm! Thanks, Ger.” “No need. Ya udah ya, eyke mau tidur dulu, kalau tidur kemalaman kulit eyke yang glowing to the max ini nanti bisa keriput!” “Oke,” jawab Isla seraya terkekeh. Isla tak langsung tidur kembali setelah panggilannya dengan Gary berakhir, meskipun jam di atas nakas masih menunjukkan pukul 00:10 dini hari. Ia justru menegakkan posisi duduknya, bersila, lalu menarik napas dalam-dalam. Isla melakukan teknik pernapasan beberapa kali, fokus ke setiap rangkaian inhale-hold-exhale. Lalu, kedua tangannya ia silangkan di pundak, seolah sedang memberi pelukan pada diri sendiri. Isla kemudian menutup kedua matanya, menjaga ritme pernapasannya berkali-kali. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-26. Hari spesial yang akan ia lewati sendiri setelah empat kali berturut-turut ia rayakan bersama Oki. Isla kini sendiri, tak akan ada lagi perayaan yang ia lalui bersama pria itu. Fokusnya yang sempat mengabur ia kembalikan lagi, berulang kali berusaha berdamai dengan segala kegelisahan. Menahan air mata dan sesak yang terkadang masih hadir. Begitu ia mendapatkan kembali ritme pernapasannya dan rasa nyaman mulai menyapa, Isla menepuk-nepuk pelan kedua pundaknya. Laksana sayap kupu-kupu yang mengepak perlahan. “Terima kasih Isla... Terima kasih karena sudah bertahan. Terima kasih karena memilih untuk kuat. Terima kasih karena tak lagi menangis. Terima kasih karena sudah memberikan yang terbaik meskipun untuk saat ini kamu harus menghadapi segalanya sendiri. Terima kasih untuk setiap senyuman yang tetap hadir. You did great! You’re awesome, Isla! You deserve better!” lirih Isla pada dirinya sendiri. Perlahan rasa gelisahnya lenyap, Isla mengurai pelukannya, membaringkan diri kembali. “Terima kasih untuk resep butterfly hug-nya, Dok,” gumam Isla di akhir kalimat sebelum kantuk kembali menguasainya. *** Paginya Isla bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Ia membuka tirai jendela, menelisik cuaca di luar sana. Cerah namun tak terik. Isla gegas membersihkan diri, lalu mengenakan running suits berwarna magenta hitam dan menuntaskan penampilannya dengan sepatu lari andalannya. Kemudian, ia mengunyah perlahan satu batang coklat almond seraya menyampirkan sport sling bag menyilang di dadanya. Merasa siap dengan penampilan dan tenaga, Isla meninggalkan kediamannya menuju area car free day terdekat. Sudah nyaris satu minggu ini hujan terus menyapa di pagi hari. Rutinitas jogging terpaksa tak ia lakukan. Sebagai ganti, hanya beberapa gerakan yoga sederhana begitu ia terbangun dari tidurnya. Jadi, begitu ia melihat cuaca pagi ini yang begitu cerah, ditambah hari ini adalah hari minggu, tentu saja Isla tak menyia-nyiakan waktu untuk berdiam diri di bawah selimut hangatnya. Isla sudah berlari tiga putaran menempuh rute yang ditentukannya sendiri. Smart watch di pergelangan kirinya sudah berbunyi, menandakan Isla sudah memenuhi target lima kilometernya. Ia merenggangkan tubuh sesaat, melakukan beberapa gerakan pendinginan sederhana. Begitu detak jantung dan ritme napasnya teratur kembali, Isla melangkah masuk ke sebuah minimarket. Sebotol air mineral dan sebuah protein bar Isla letakkan di atas meja kasir, bersiap membayarnya. “Ini aja, Kak?” “Um... Eh, tunggu sebentar, Mas,” ujar Isla begitu ingat ia harus mengambil antasida karena persediaannya sudah menipis. Begitu ia akan kembali ke meja kasir, langkah Isla terhenti. Sepasang kekasih yang ia kenali tengah bercengkrama mesra di sana. Sang perempuan bergelayut manja di lengan prianya, sementara sang pria terus saja tersenyum. “Isla...” lirih Oki begitu ia menyadari ada sepasang mata yang lekat menatapnya. Isla menarik napas panjang, berpura-pura acuh dan kembali melangkah. ‘Bloon banget sih, ngapain juga gue ngeliatin mereka!’ rutuk Isla pada dirinya sendiri. “Sama ini ya, Mas,” ujar Isla kembali pada sang kasir. “Kamu sakit, La?” tanya Oki. Entah karena khawatir, entah sekedar berbasa-basi agar tak lagi dianggap sampah oleh sang mantan. Isla tak menjawab, namun ia mendengar tawa sinis dari perempuan bernama Amy yang masih menyisipkan tangannya di salah satu siku Oki. ‘Ya Allah, ini cewek ga nyadar apa ya dia siapa?’ “Terima kasih, Kak,” ujar sang kasir memecah lamunan Isla. Isla mengangguk seraya tersenyum sebelum berbalik dan berhadapan muka ke muka dengan Oki. “La…” Isla diam saja, ia berjalan tegap melewati Oki dan Amy tanpa bicara sepatah katapun. “Biasa aja kali! Orang yang udah nikah aja bisa cerai, apalagi pacaran doang!” Langkah Isla mendadak berhenti. Bukan karena perkataan Amy, tetapi ada sesuatu tak asing yang tertangkap kedua matanya. Isla berbalik, pandangannya ia sapukan ke wajah Amy. ‘Dasar b******n kere! Bisa-bisanya jepitan bekas gue dikasihin ke cewek barunya!’ Isla mengalihkan pandangannya, menatap Oki dengan sinis. “La…” ucap Oki, tanpa suara. Hanya gerak bibirnya yang terbaca. Isla berbalik kembali, meninggalkan minimarket itu dengan geram. Entah mengapa dadanya begitu terasa panas saat melihat hair pin itu tersemat di surai Amy. Hari pin itu adalah hadiah pertama yang Oki berikan untuk Isla di hari jadi pertama mereka. Ia pikir, Oki rela merogoh sampah untuk mengambil benda kecil itu karena hair pin itu menyimpan kenangan tersendiri. Tak hanya sekedar merayakan ulang tahun pertama mereka, tetapi juga adanya romantic dinner pertama, midnight movie pertama, bahkan ciuman kilat pertama keduanya. Nyatanya Isla salah, hair pin itu justru diberikan pada Amy? Memang luar biasa mantan sampahnya itu! ‘Otaknya gesrek beneran apa gimana sih!’ Isla terus berjalan dengan menahan geram, tak tentu arah. Begitu ia menyadari langkahnya, ia sudah berada di depan Rumah Sakit Permata Indah. Isla mendengus, lelah. Entah hal apa yang justru membawanya ke tempat ini. Tak ingin banyak berimajinasi, Isla kembali berjalan. Ia duduk di taman samping rumah sakit yang memang disediakan untuk umum. Karena hari itu hari minggu, sangat wajar rumah sakit terlihat sepi. Ia lalu menegakkan posisi duduknya, memejamkan mata dan mengatur napas, lalu memeluk dirinya sendiri sebelum menepuk pelan kedua bahunya seraya mengucapkan hal-hal baik dalam sunyi berulang kali. ‘You did great, Isla! You deserve better!’ Entah berapa lama Isla melakukan butterfly hug di sana, hingga begitu perasaan nyaman stabil ia rasakan, ia membuka kedua matanya perlahan. Dan sebuah es loli dengan rasa strawberry cream sudah berada tepat di depan kedua mata Isla. Ia menoleh, kedua matanya membola menatap pria yang sedang asik menikmati es loli berwarna hijau coklat yang Isla tebak rasanya adalah alpukat dan coklat. “Nanti mencair,” ujar pria itu seraya mengayunkan es loli di depan Isla. “Dok,” “Ga mau?” ujar Zhen, acuh seperti biasa. “Mau,” jawab Isla. Ia mengambil es loli yang Zhen sodorkan. “Kok Dokter di sini?” “Hmm!” “Ada operasi darurat?” “Hmm!” Isla mengangguk. Lalu menatap es loli di genggamannya. “Dokter tau saya suka strawberry? Lebih spesifik strawberry with cream.” “Semua perempuan bukannya suka warna begitu?” sinis Zhen. “Oh.” Isla diam, membuka bungkus es loli itu, lalu mulai menikmatinya. “Ini puree ya?” “Hmm!” “Enak, Dok,” “Hmm!” “Dokter mainnya kurang jauh ya?” “Hah?” “Taunya hmm, hah, atau nyolot!” “Kamu yang nyolot!” “Dokter duluan!” Zhen mendengus, lalu menikmati es lolinya lagi. “Pantes dipanggil tukang es!” “Hmm!” Dan akhirnya Isla malah terkekeh. “Dok?” “Hmm!” “Saya cantik ga?” Zhen terdiam. Ia lalu menolehkan wajahnya, menantang tatapan Isla yang lekat padanya. Lalu melengos kembali. “Dok!” “Masih kurang pujian cowok-cowok lain ke kamu?” “Maksud Dokter?” “Kamu tau maksud saya!” Sekilas, Isla sempat melihat rahang Zhen mengeras. ‘Dia kesal? Lah ngapa dah? Ga mungkin kan dia naksir gue? Ampun Isla, sadar!’ ‘Eh coba tes, La. Kalau doi ternyata had a crush on you kan lo ga perlu repot-repot bikin rencana. Bisa secepatnya balas dendam!’ ‘Iya juga yah!’ “Kamu mau ga operasi syaraf?” tanya Zhen kemudian, membuyarkan lamunan Isla. “Operasi syaraf?” “Hmm!” “Kenapa saya harus operasi syaraf?” “Biar ga bengong melulu!” “Ih Dokter mah!” “Hmm!” “Dok?” “Hmm!” “Dokter punya pacar ga?” “Apa urusannya sama kamu?” Isla terdiam sejenak, memikirkan kata-kata apa yang memberi kode tetapi tak membuatnya terlihat terlalu murahan. “Mmm… Siapa tau, pas Dokter senggang, Dokter mau WA-an sama saya?” Zhen yang baru saja menyuap potongan es loli terakhirnya membeku sesaat. Ia lalu mendengus, dan menoleh ke samping kanannya menatap Isla. Dingin. “Ma-maksud saya…” “Saya ga kencan sama cewek yang masih nyebut nama mantannya saat dispepsia-nya kambuh!” ketus Zhen. Ia lalu berdiri, meninggalkan Isla yang mematung mendengar ucapannya. ‘Mas Ji Sung, kamu marah atau jealous?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN