Satu

2400 Kata
“Pagi semua,” sapa Aurel riang begitu dirinya duduk di kursi makan. “Pagi,”jawaban anggota keluarganya yang lain. “Rapi banget lo. Bukannya udah libur? Mau kemana?” tanya Jevan saat melihat penampilan adiknya yang sudah rapi. “Mau ke kampus. Berkas wisuda gue ada yang kurang,” jawab Aurel. Ia mencomot sandwich di depannya. “Lah lo sendiri, tumben udah bangun jam segini. Biasanya lo masih molor.” “Gue lagi gerakan perubahan nih. Doain ye,” jawab Jevan jenaka. “Sampai kapan sih lo mau nganggur Kak? Gue udah mau wisuda, lo masih betah aja jadi pengangguran,” kata Aurel tak habis pikr melihat kelakuan kakaknya yang masih betah bermalas-malasan. Berbeda sekali dengan Daniel yang setelah tamat kuliah langsung bekerja di perusahaan keluarga. “Dengar tuh kata adik kamu, Jev. Kapan kamu siap kerja di kantor?” tanya Taufik. “Secepatnya Yah. Jevan harus nyiapin mental dulu,” elak Jevan. “Alasan aja kamu. Bilang aja masih malas masuk kantor. Bunda nggak mau tau, mingu depan kamu harus kerja di kantor. Kalau nggak, nama kamu Bunda coret dari daftar ahli waris,” ancam Anita. “Bun, jangan gitu. Masa Bunda tega sama anak sendiri.” Jevan merajuk sambil menggoyang-goyangkan tangan ibunya. Anita hanya diam , tak menggubris rajukan anak tengahnya. Sedangkan Daniel, si sulung hanya menggelengkan kepala melihat tingkah ajaib adiknya itu. “Mau bareng sama gue, Dek? Kebetulan gue ada janji sama klien yang kantornya dekat kampus lo,” tawar Daniel, anak sulung Taufik dan Anita. “Boleh deh Kak. Kebetulan gue lagi malas nyetir,” cengir Aurel. Ia meminum susunya lalu membersihkan sisa makanan disekitar mulutnya. “Siapin segera berkas wisuda kamu. Dua minggu lagi wisudakan?” tanya Taufik. “Iya Yah. Ini juga tinggal berkas akhir. Ayah tenang aja,” jawab Aurel. “Yuk Kak.” Daniel dan Aurel pamit kepada kedua orang tua mereka serta tidak tinggal menjahili Jevan. Mereka berdua memang kompak membaut si tengah kesal. “Jam berapa selesainya? Mau gue jemput?” tanya Daniel saat mereka sudah sampai di depan gerbang universitas Aurel. “Belum tau pasti sih, Kak. Nanti gue telpon lo aja deh,” jawab Aurel ragu. “Oke. Jangan lupa telpon gue. Gue bunuh lo nanti di rumah kalau nekat naik taksi,” ancam Daniel. Sejak penculikan yang terjadi pada saat Aurel SMA yang hampir merenggut hartanya yang paling berharga, Aurel tidak diperbolehkan lagi menggunakan kendaraan umum. “Iya iya. Sok ngacam segala. Makasih tumpangannya kak.” Aurel mengecup pipi Daniel lalu keluar dari mobil kakaknya itu. Daniel hanya bisa menggeleng melihat perilaku adik bungsunya. “Au!” seru seseorang dari belakang tubuh Aurel. Aurel memutar bola matanya kesal, mengetahui siapa orang itu. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan panggilan yang sungguh tidak disukai Aurel. “Gue udah bilang jangan panggil nama gue pake suku kata depan gitu,” kesal Aurel. Ia membalikkan tubuhnya agar berhadapan dengan orang itu lalu memukul lengannya kencang. “Aw, Rel! Lo nyiksa gue,” ringis orang itu. “Bodo amat. Gue nggak peduli,” dengus Aurel. Ia melipat tangannya di d**a dengan mata yang menatap tajam pada orang itu. “Maafin gue, Au-Au.” “Satya Adinugraha!” Aurel benar-benar kesal pada Satya dan hal itu malah membuat Satya tertawa. Ia paling suka melihat ekspresi cemberut Aurel karena kesal. Sangat lucu menurutnya. “Iya Aurelia Jillianka Putri,” jawab Satya santai. Aurel yang sudah terlanjur kesal pada Satya menghentakan kakinya kesal lalu menjauhi Satya. Satya masih saja tertawa lalu menyusul Aurel. Ia mengalungkan lengannya di sekeliling bahu Aurel. “Yah dia ngambek. Maaf deh. Gue cuma becanda,” rajuk Satya. “Bodo amat,” jawab Aurel tak peduli. Tapi Satya tahu bahwa Aurel tidak benar-benar marah padanya. Buktinya saja Aurel membiarkan ia merangkul gadis itu. “Sebagai permintaan maaf gue, gimana kalau gue temenin lo ngurus berkas hari ini terus gue traktir es krim?” tawar Satya. Mendengar iming-iming es krim membuat Aurel mendongak menatap wajah lelaki itu dengan mata berbinar. “Boleh-boleh,” angguknya semangat. Satya tertawa lalu mengacak rambut Aurel gemas. “Dasar anak kecil. Dengar kata es krim aja langsung luluh,” cibir Satya. “Biarin aja. Lo nggak tau aja betapa nikmatnya es krim itu,” cibir Aurel balik. Mereka berdua lalu tertawa tanpa menyadari seseorang sudah berjalan sejajar dengan mereka berdua. “Aduh pasangan ini romantis banget deh pagi-pagi.” Tasya berjalan santai di samping Satya dengan tangannya masuk ke dalam saku kardigan yang dipakainya. “Jealous? Sini gue rangkul juga.” Satya menggapai Tasya dengan sebelah tangannya yang bebas namun Tasya langsung menghindar. “Enak aja lo rangkul-rangkul gue. Kalau Ian liat, bisa panjang masalahnya,” tolak Tasya. Gadis itu memang mempunyai kekasih yang posesif padanya. Lelaki bernama Ian Niggi itu mempunyai tingkat cemburuan yang tinggi, meski hanya pada teman dekat Tasya. “Gue kan sahabat lo Tas, masa Ian cemburu sama sahabat lo yang ganteng ini?” tanya Satya dengan percaya dirinya. “Mulai deh narsisnya. Lo kayak nggak tau Ian aja, Sat.” Aurel memutar kedua bola matanya jengah. “Ya udah deh. Seenggaknya masih ada Aurel yang masih mau gue rangkul.” Satya berlagak pasrah yang memancing tawa Tasya dan berenggut Aurel. “Kalian berdua kenapa nggak pacaran aja sih?” tanya Tasya gemas yang melihat perilaku mereka berdua yang terlalu romantis jika dikatakan sebagai sahabat. “Gue sih mau-mau aja. Tapi nggak tau deh Aurelnya.” “Ngomong apaan sih kalian. Mulai ngaco. Yuk deh temenin gue ngurus berkas.” Aurel mempercepat langkahnya yang membuat rangkulan Satya terlepas dari bahunya. Satya yang tak rela malah berteriak-teriak lalu menyusul Aurel dan merangkul gadis itu kembali. Tasya hanya tersenyum melihat tingkah laku kedua sahabatnya itu. Tasya sebenarnya tahu apa yang mereka berdua rasakan. Mereka sudah sama-sama jatuh untuk satu sama lain. Hanya saja mereka masih belum mau menyatakan perasaan masing-masing dan nyaman dengan keadaan saat ini. Tasya kadang heran dengan mereka. Kenapa nyaman dengan status sahabat jika mereka saling tahu rasa itu sudah tumbuh di hati masing-masing? “Tas! Ayo sini. Ngapain bengong disana?” sorakan Satya menyadarkan Tasya. Gadis itu tersentak lalu berjalan cepat menyusul kedua sahabatnya itu. Satya, Aurel dan Tasya berada di universitas mereka hanya sekitar tiga jam. Berkas-berkas untuk wisuda akhirnya sudah selesai. Mereka hanya tinggal menunggu hari H-nya saja. “Mau langsung pulang?” tanya Tasya. “Nggak. Gue ada janji sama nih anak ntraktir dia es krim. Lo mau gabung?” tanya Satya. Tasya nampak beroikir sejenak lalu menggeleng. “Ngga deh. Gue ada janji sama Ian. Lagian gue nggak mau ganggu kencan kalian,” tolak Tasya dengan ledekannya yang sukses membuat Aurel menoyor kepalanya. “Bacot lo,” kesal Aurel. “Pergi yuk, Sat. Tinggalin aja nih anak disini.” “Pergi sana. Hus hus. Ian bentar lagi juga bakal datang.” Tasya menggerak-gerakkan tangannya berlagak mengusir. “Duluan ya, Tas. Bilang ke Ian jangan nonjok orang hari ini.” Setelah itu Satya menarik Aurel kabur dari hadapan Tasya sebelum gadis itu menyerangnya. “Satya!” seru Tasya yang terdengar samar. Satya dan Aurel tertawa bersama. Mereka memang hobi membuat kesal satu sama lain. “Lo jahat banget bilang gitu ke Tasya,” kata Aurel setekah tawanya mereda. “Gue ngomong fakta lho, Rel. Lo nggak ingat dia hampir nonjok gue cuma gara-gara gue makan berdua sama Tasya?” Satya merangkul Aurel. Satya suka melakukan itu karena badan Aurel yang lebih kecil darinya selalu membuatnya nyaman jika Aurel berada di rangkulannya. “Yang dia ngira lo selingkuhannya itu?” Satya mengangguk. “Susah emang kalau punya pacar kayak itu.” “Lo tenang aja Rel, gue nggak cemburuan kayak Ian kok. Gue percaya sama lo.” “Dih, emang gue mau pacaran sama lo?” gidik Aurel menolak. Padahal aslinya ia sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila. “Lo nolak gue?” Satya mendekatkan wajahnya ke wajah Aurel. Aurel melebarkan matanya menerima perlakuan seperti ini dari Satya. Ia bisa merasakan wajahnya memanas dengan jarak sedekat ini dengan Satya. Lagi pula ia malu serta takut Satya mendengar detak jantungnya. “Ih ngapain dekat-dekat. Jauh sana.” Dengan segenap kekuatan yang masih dimilikinya, Aurel menjauhkan wajah Satya secara paksa. Satya tertawa saat wajahnya didorong oleh Aurel. Ia tahu, gadis itu gugup berada dijarak sedekat itu dengannya. “Jadi nggak nih beli es krim?” “Jadi! Gue udah nggak sabar,” kata Aurel senang. Satya tersenyum lalu membawa Aurel ke mobilnya. Ia senang bila melihat Aurel yang begitu gembiara dan bersemangat seperti ini, apalagi bersamanya. Satya berjanji pada dirinya bahwa suatu saat, ia akan menjadikan Aurel sebagai miliknya yang utuh. Satya membawa Aurel ke salah satu mall yang biasa mereka kunjungi. Aurel langsung menariknya ke arah kedai es krim langganan mereka. Disana Aurel memesan es krim kesukaannya dan melahapnya dengan semangat. “Enak?” tanya Satya. “Banget. Gue--” perkataan Aurel tiba-tiba terhenti karena ponselnya berbunyi. Ia merogoh tasnya mencari ponselnya. Ia mendapati nama Daniel di layar ponselnya. “Hallo Kak?” “Lo dimana? Udah selesai urusannya?” “Udah. Gue lagi di mall dekat kampus. Lo masih ketemu klien?” “Nggak. Urusan gue udah selesai. Kebetulan gue lagi makan siang di restoran. Gue lagi di mall yang sama.” “Mau pulang?” “Iya. Lo mau bareng?” Aurel diam sebentar lalu mengamati Satya. Dia pulang dengan Satya atau Daniel? “Boleh deh. Gue di kedai es krim biasa.” “Oke. Nanti gue susul disana. Udah dulu ya, Dek. Makanan gue belum habis.” “Iya. Bye Kak.” “Bye Dek.” Sambungan terputus. Aurel menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. “Sat, gue nanti kayaknya pulang bareng kak Daniel. Nggak apa-apakan?” tanya Aurel. “Oh nggak apa-apa. Kebetulan gue harus jemput keponakan gue di TK setelah ini,” angguk Satya. Aurel tersenyum lalu memakan es krimnya kembali. Waktu mereka berdua habis dengan saling bercerita dan bercanda hingga es krim di hadapan masing-amasing habis. Mereka tidak mempedulikan pandangan sekumpulan gadis di sebelah mereka yang menatap Satya. Satya malah menggenggam tangan Aurel yang membuat sekumpulan gadis itu mengerang kesal.   Dek, gue udah di depan.   Pesan dari Daniel membuat kebersamaan mereka harus berakhir. Mereka sama-sama berdiri lalu keluar dari kedai es krim tersebut. “Kak.” Aurel memegang bahu daniel yang berbalut kemeja kerjanya. “Udah selesai?” tanya Daniel. Aurel mengangguk lalu ia menoleh pada Satya. “Sat, gue duluan ya. Hati-hati nyetir, jangan ngebut. Lo bukan pembalap,” nasehat Aurel seperti ibu yang menasehati anaknya. “Gimana caranya bisa ngebut dalam keadaan macet?” tanya Satya yang membuat Aurel tertawa. “Iya ya. Pokoknya hati-hati aja deh.” Aurel menepuk pipi Satya lalu menggandeng lengan kakaknya. “Kami duluan,” pamit Daniel pada Satya. Satya mengangguk sopan pada Daniel yang diharapkannya menjadi kakak iparnya kelak. “Kak, lo sendi--” pertanya Aurel berhenti saat menyadari ada orang lain di sebelah Daniel. Dia Garda. “Nggak. Gue bareng Garda. Kebetulan tadi ketemu di kantor klien,” jawab Daniel. “Sapa gih.” “Hai Kak,” sapa Aurel agak kaku yang dibalas hanya dengan sebuah senyum oleh Garda. Ia sebenarnya sedikit takut menghadapi Garda. Garda terlalu kaku dan dingin dan Aurel tidak pernah suka menghadapi lelaki semacam Garda. “Mau langsung pulang?” “Iya. Gue capek mau tidur siang,” keluh Aurel. Ia menyandarkan kepalanya ke lengan Daniel meski mereka masih berjalan. “Ya udah. Kita langsung pulang.” Daniel mengusap kepala adiknya lalu membiarkan Aurel bergelantung di tangannya. “Lo nggak ada acara siap ini kan, Gar?” tanya Daniel pada sahabatnya itu. “Nggak. Kenapa emang?” “Ke rumah gue yuk. Kita tanding main PS. Yang menang bakal di tarktir yang kalah. Gimana?” tawar Daniel. “Boleh juga. Gue setuju,” angguk Garda. Aurel yang mendengar peercakapan dua sahabat itu hanya berlagak tidak peduli. Sebenarnya Aurel sampai saat ini masih heran kenapa Garda bisa seramah itu pada Daniel namun terlalu kaku dan dingin kepadanya meski Daniel sudah menjelaskan penyebabnya. Garda tidak terlalu suka bergaul dengan orang asing. Jadi ia orang asing? “Bunda! Aurel yang cantik jelita pulang!” sorak Aurel heboh saat sampai di rumah. Tingkahnya yang persis anak kecil itu membuat Daniel geleng-geleng kepala. “Ada Garda kali Dek. Nggak malu apa?” tegur Daniel. “Nggak lah. Ini kan rumah gue, jadi suka-suka gue dong.” Aurel beranjak meninggalkan kakaknya dan Garda cuek. Ia melangkah riang ke arah dapur. Ia yakin ibunya pasti berada disana sekarang. “Kamu ngapain teriak-teriak gitu sih di rumah? Kamu pikir ini hutan?” omel Anita saat Aurel menyalami tangannya. “Bunda kayak nggak tau aku aja. Ugh, Aurel kangen Bunda.” Aurel mulai menjalankan aksi manjanya pada Anita. Ia memeluk Anita erat membuat wanita paruh baya itu memutar matanya jengah. “Udah mau wisuda, masih aja manja,” ledek Anita meski ia balik memeluk anak bungsunya itu. “Nggak apa-apa. Aku kan anak bungsu. Wajar manja sama Bunda. Kalau kak Daniel baru dipertanyakann,” jawab Aurel asal. “Eh ngapain nama gue dibawa-bawa nih?” Daniel tiba-tiba muncul dari balik tubuh Aurel bersama Garda. Ia menyalami tangan Anita yang jga diikuti oleh Garda. “Eh ada Garda. Apa kabar kamu? Udah lama lho Bunda nggak liat kamu main kesini lagi,” sapa Anita. Ia memang mengenal sahabat anak sulungnya itu selain karena Daniel dan Garda sudah bersahabat sejak kecil, ibu Garda juga merupakan sahabatnya sejak di bangku sekolah. Ia juga sudah mengaggap Garda sebagai anggota keluarganya. “Baik Bun. Bunda gimana? Akhir-akhir ini kerjaan di kantor numpuk, Bun. Jadi jarang bisa pergi main,” jawab Garda santai dan hangat. Aurel mencibir gaya bicara Garda pada ibunya yang sangat beda jauh jika berbicara dengannya. “Bunda baik. Kemarin Bunda ketemu sama Mama kamu, katanya kamu menangin tender besar ya? Wah, hebat dong kamu,” puji Anita. “Alhamdulillah Bun. Berkat kerja sama dengan rekan yang lain juga,” jawab Garda rendah diri. “Daniel juga ikut bantu. Ini kemenangan kami bersama.” “Kok kamu nggak pernah cerita ke Bunda, Dan?” Anita beralih menatap anak sulungnya. “Rencananya mau ngasih tau, tapi ternyata udah keduluan,” jawab Daniel cengengesan. Anita hanya menggeleng pada Daniel. “Kalian berdua hebat. Bunda bangga sama kalian.” Anita mengelus puncak dua kepala lelaki itu. “Huh, kacangin aja cewek cantik ini terus,” keluh Aurel. Mulutnya mencebik karena sedari tadi tidak ada satupun yang menghiraukannya. “Udah jangan manja. Sana buatin minuman untuk kakakmu. Bunda mau liat cookies Bunda dulu. Kalian udah makan?” “Udah Bun. Aku sama Garda ke kamar dulu ya, Bun. Mau tanding PS nih,” pamit Daniel. Ia mengecup pipi ibunya sekilas. “Dek, minumnya yang segar ya. Gue haus banget nih.” “Bacot lo ah,” kesal Aurel. Meski begitu ia tetap membuatkan minuman untuk Daniel dan Garda. “Yuk, Gar ke kamar gue. Biarkan dua wanita ini menguasai dapur.” Daniel menarik sahabatnya meninggalkan dapur yang menyisakan Anita dan Aurel. “Rel,” paggil Anita. “Ya Bun?” jawab Aurel seadanya. Ia sedang mengaduk minuman. “Garda ganteng ya?” celutuk Anita tiba-tiba yang membuat Aurel mengernyit heran. “Bunda ngomong apasih?” “Kayaknya bakal bangga gitu kalau dia bisa jadi menantu Bunda,” khayal Anita yang membuat Aurel membelalak. “Bunda! Jadi Bunda mau kak Garda sama kak Daniel nikah? Astaghfirullah Bun. Mereka itu sejenis,” seru Aurel syok. Ia sontak mendapat jitakan dari Anita. “Ya nggaklah. Mana rela Bunda anak Bunda jadi gay meski sama Garda. Kamu ada-ada aja,” omel Anita. “Terus maksud Bunda ngomong gitu apa?” “Masa kamu nggak ngerti? Nggak mungkin dong Bunda mau Garda nikah sama Daniel atau Jevan. Bunda lagi bayangin kalau dia nikah sama kamu.” Anita tersenyum sendiri mendengar ucapannya. “Nggak nggak! Aurel nggak setuju,” tolak Aurel keras. Mana mau ia menikah dengan kulkas berjalan itu. “Lagian Aurel baru mau wisuda. Ngapain nikah cepat-cepat.” “Kenapa nggak mau? Garda itu calon suami idaman lho, Rel. Udah ganteng, pintar, baik, ramah, sopan lagi. Perfect deh kalau dia jadi suami kamu,” puji Anita yang disambut cibiran dalam hati dari Aurel. Apanya yang baik, sopan. ramah? Lha dia dingin begitu kayak es. Nggak ada ramah-ramahnya sama sekali. “Bunda nggak tau kak Garda yang sebenarnya aja,” omel Aurel lirih. “Apa kata kamu? Bunda nggak denger.” “Nggak kok, Bun,” cengenges Aurel. Percuma ia berdebat melawan ibunya mengenai Garda karena bagaimanapun juga Anita pasti yang akan menang. Wanita itu menyayangi Garda seperti anak sendiri. “Aurel ke kamar kak Daniel dulu ya, Bun. Mau ngantar minumannya.” Aurel bergegas menjauh dari ibunya. Ia bergidik ngeri membayangkan impian ibunya yang seperti mimpi buruk baginya. Bersama Garda? Oh tidak. Lagipula saat ini hatinya sudah terpaut pada seseorang. Satya Adinugraha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN