Mendua-Bab 2

1573 Kata
*** Suara klakson mobil terdengar nyaring di telingaku. "Mau ke mana?" aku menoleh kala mendengar pertanyaan itu beserta mobil yang berhenti tepat di sampingku. Derunya sangat lembut, tetapi mampu sedikit mengalihkan perhatianku dari debur ombak di tepi pantai tempat kami menginap semalam. Axel Adijaya di dalamnya. Kupaksa senyum ini muncul perlahan. "Pulang," jawabku seadanya. Axel memandangku sekilas, seperti sedang berpikir. "Naik!" katanya. Namun, aku menggeleng. Patah hati tak membuatku menerima ajakannya dengan mudah. Aku masih sama seperti yang dulu, tidak semurah itu. "Nggak usah, aku sama Heya cari taksi aja," jawabku sekenanya. Meskipun aku tahu betul tak ada taksi di sekitar sini. Aku dan Heya harus berjalan setengah jam lagi untuk bisa menemukan kendaraan roda Empat itu. Alih-alih melaju pergi, tetapi Axel turun dari mobil mewahnya. Merebut koperku dengan paksa. Lalu menarik tanganku. "Naik!" ujarnya. "Tapi..." Beberapa detik kemudian aku sudah terduduk di dalam mobil Axel dengan Heya di atas pangkuanku. "Makasih," ucapku dengan tulus pada Axel yang baru saja mendudukan dirinya di belakang kemudi setelah menyimpan koperku di bagasi. Axel tersenyum tipis. "Kamu bahkan baru masuk ke mobilku, Feya," katanya. Mobil yang kami tumpangi bergerak perlahan, meninggalkan pantai penuh kenangan. Mataku tak lagi menatap Axel, beralih pada bangunan yang menjadi tempat tinggal kami semalam. Sesak sekali rasanya bila mengingat beberapa kejadian di sana. Kejadian yang membuatku akhirnya memutuskan untuk pergi. "Ada apa Feya?" rupanya aku tak sanggup menahan desakan air mata hingga Axel memergoki. Buru-buru kuusap bulir itu agar Heya juga tak melihatnya. "Kenapa kalian pulang duluan?" tanya lelaki itu dengan suara yang terkesan hati-hati. Ia menyodorkan tisu padaku. Rasa sakit yang kurasakan ternyata membuatku tak bisa menahan tangis sekali lagi. Kulirik Heya yang duduk tepat di pangkuan. Syukurlah, ia tertidur. Aku menggelengkan kepalaku saat kembali menatap Axel. "Nggak apa-apa, Xel," jawabanku berbanding terbalik dengan air mata yang lagi-lagi turun begitu saja. Axel Adijaya yang kukenal bertahun tahun lalu mendesah berat. Sesekali ia menatap ke depan, fokus pada jalanan. Sesekali ia melirik padaku yang masih terisak. Entah kenapa aku tak bisa menahan tangis di depan lelaki ini, padahal kami baru bertemu lagi setelah sekian lama. "Apa karena Satrio?" Lama aku terdiam. Menimbang harus menjawab iya atau tidak. Akhirnya aku menganggukan kepala saat Axel melirikku lagi, meminta jawaban atas pertanyaannya. Lalu setelah itu, kudapati Axel menatap nanar padaku. Ada ketulusan di sana. Seolah ia ingin mengungkapkan betapa kasihannya dia padaku. "Kenapa?" tanyanya. Kualihkan tatapku ke arah lain. Tatapan itu tampak menerawang, mengingat kembali kenangan ke belakang. "Hati yang telah terbagi tak kan pernah sama lagi," ucapku menjawab pertanyaannya. Biarlah, ia dan teman-teman yang kami temui pun sudah tahu apa yang terjadi. Satrio terang-terangan menunjukannya di depan mereka tanpa tahu malu. Memang, lelaki itu tidak mengatakannya secara gamblang, tapi aku yakin setiap yang melihat pasti akan menyadari perbuatannya. Kudengar Axel mengembuskan napasnya dengan berat. "Aku ngerti, tapi aku harap kalian bisa menyelesaikan ini dengan baik. Kenapa harus pergi, Fe? Perjuangan kalian sudah sangat panjang. Hanya tinggal selangkah lagi untuk mengucapkan janji suci itu," ucapnya kemudian. "Ada kalanya seseorang memilih pergi. Bahkan ketika perjuangan itu hanya tersisa selangkah lagi," sahutku lirih. Kali ini pun aku tidak menoleh padanya. Aku kembali menatap ke arah jendela yang sepanjang jalan terdapat pantai. Buliran bening itu mengalir lagi dari mataku. Membuatku melakukan hal yang sama berulang-ulang, mengusapnya. Entah kenapa ini harus terjadi padaku. Apa kesalahanku hingga aku harus merasakan pengkhianatan luar biasa ini. Hanya tinggal selangkah lagi aku akan menikah. Bahkan segala sesuatu sudah disiapkan sedemikian rupa. Namun, betapa malangnya, karena Satrio Refnogoro mendua di depan mataku. Perselingkuhannya baru saja aku sadari seminggu yang lalu. Kupikir, aku masih sanggup bertahan dan membuatnya kembali ke pelukan, tapi ternyata aku salah. Seorang Feya tak bisa menaklukan Satrio lagi. Lelaki itu sudah terlalu jauh melangkah pergi, meskipun ia sendiri tak ingin melepasku dari genggamannya hingga kini. Serakah adalah kata yang tepat untuk menggambarkan tentang lelaki itu. Sungguh, bukan pekerjaan yang membawaku ke sini, tapi memang sebuah perencanaan. Sengaja aku merencanakan liburan ini demi memperbaiki hubungan kami. Namun, betapa terkejutnya aku ketika Satrio membawa selingkuhannya. Nasib malang rupanya tak bisa dielakan lagi meski aku mencoba bertahan demi rencana pernikahan kami. Satrio menyakitiku berkali-kali. Ia kasar dan tidak berperasaan. Kupeluk erat Heya saat aku mengingat lagi perkataannya pagi tadi. "Kenapa di sana? Duduk di sini!" ingin sekali kujawab perkataannya itu dengan seperti ini, "Mana mungkin aku sudi duduk bersama selingkuhanmu!" tapi aku tidak setangguh itu. "Nggak usah, kami di sini saja." jawabku. Beruntung aku ke sini mengajak keponakanku. Jika tidak entah akan jadi monster seperti apa diriku di depan Satrio dan selingkuhannya itu. Tck. Aku mencoba untuk mengabaikan decakan sebalnya. Kulirik selingkuhannya yang ia kenalkan bernama Santi itu. Ia tampak salah tingkah. "Anjing! Kenapa sulit sekali menuruti perintahku? Cepat kemari!" aku menganga tak percaya. Sakit sekali rasanya mendengar calon suami mengumpat seperti itu. Perempuan mana yang sanggup dikatai anjing oleh calon suami yang ia percayai? Bahkan ketika itu di depan selingkuhannya. Sungguh bodoh diriku karena terlambat mennyadari bahwa yang Satrio inginkan adalah kepergianku. Seminggu ini aku sudah sangat bersabar, berharap bahtera rumah tangga yang pernah kami impikan bersama tidak hancur begitu saja. Namun, sabar ini ternyata ada batasnya. Kubalas ia dengan uraian air mata agar dia bisa melihat betapa aku terluka olehnya. Kugendong Heya, lalu kubiarkan ia duduk tak jauh dari Satrio. Berharap lelaki itu mengingat perjalanan cinta kami selama sepuluh tahun ini. Ada Heya di dalamnya. Aku ingat dengan jelas betapa Satrio menyayangi Heya sejak orang tua keponakanku itu pergi untuk selamanya dua tahun yang lalu. Sementara aku pergi meninggalkan mereka dengan beruraian air mata. Kembali ke kamarku untuk berpikir sejenak tentang apa yang aku lakukan di tempat ini. Aku menggeleng tak percaya saat menyadari betapa bodohnya aku. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, bahkan ketika tanpa sengaja bertemu dengan teman-teman kuliahku dulu. Kedekatan Satrio dan Santi seolah tak mengusikku, padahal hatiku terbakar api cemburu. Kini sudah saatnya aku pergi. Berjuang seorang diri tak akan menghasilkan sesuatu yang pasti. Kuraih koperku, lalu menariknya keluar. Kubiarkan beberapa orang yang berpas-pasan denganku menatap aneh karena melihat air mata yang mengalir di pipi. Sesampainya di ruang tamu penginapan, kutatap mata Satrio sejenak. Embusan napas berat akhirnya terdengar dariku. "Kita putus saja, Satrio." Tak ada keraguan saat aku mengatakan itu. Kulirik sebentar perempuan yang Satrio bawa bersamanya itu lalu kuraih tangan Heya dan mengabaikan tatapan tak percaya dari keduanya. "Ayo pergi, Sayang." Kubimbing Heya keluar dari penginapan. Sempat kudengar Santi meminta Satrio mengejarku, lalu apa balasannya? Tck. Dia mengatakan dengan lantang bahwa aku pasti kembali dengan sendirinya. Tidak Satrio! Jangan harap itu terjadi. Biarpun pernikahan hanya tinggal sebentar lagi, tapi aku tak akan pernah datang menemuimu lagi. Kita sudah berakhir sejak kamu memulai perselingkuhanmu itu! *** Aku memejamkan mata erat-erat saat bayangan itu memenuhi benakku. Rasa sakit yang Satrio berikan tak kan pernah hilang begitu saja. Selamanya aku akan mengingat apa yang telah Satrio lakukan padaku. "Kamu nggak apa-apa kan, Feya?" pertanyaan dari Axel membuatku membuka mata. Aku menatapnya heran. "Axel, kenapa mobil berhenti?" alih-alih menjawab pertanyaannya, aku justru mengajukan pertanyaan lain terkait apa yang terjadi saat ini. Entah sejak kapan mobil tanpa atap milik Axel berhenti dipinggiran jalan yang sepi. "Aku khawatir sama kamu," jawab Axel tampak jujur di telingaku. Mau tak mau aku menarik kedua sudut bibirku, membentuk senyum tulus untuk lelaki itu. "Terima kasih, Axel. Aku baik-baik saja," ucapku. "Syukurlah," Axel membalas senyumku, lalu kembali menjalankan mobilnya. Kutatap lelaki itu dengan lekat, kembali terbayang tentang kedekatan kami sepuluh tahun yang lalu. Axel sudah banyak berubah. Ia tidak gondrong lagi seperti dulu. Kulitnya pun terlihat bersih. Begitu juga dengan tubuhnya, tidak kerempeng seperti waktu itu. Ia berotot dan tampak dewasa. "Kenapa lihatin aku kayak gitu, Feya?" entah kenapa Axel banyak sekali bertanya hari ini. Aku menggeleng pelan. "Kamu sudah banyak berubah, Axel," jawabku jujur apa adanya. Sepuluh tahun yang lalu ia hanya mengendarai motor bututnya, kini ia menyetir mobil dengan atap terbuka. Entah miliknya sendiri atau pinjaman. Axel yang kukenal dulu tak pernah suka merepotkan orang lain. Dia lelaki mandiri dan pekerja keras. Axel tertawa. Rupanya perkataanku terdengar lucu di telinganya. Lelaki itu melirikku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan yang mulai ramai, sebab kami sudah pergi terlalu jauh dari area pantai. "Kamu tahu apa yang nggak pernah berubah, Feya?" Aku mengerutkan dahi lantaran tak mengerti maksudnya. Lelaki bertubuh tinggi itu menoleh padaku sekali lagi. Netranya sempat menatap lekat sebelum kembali ke depan. "Perasaan," akunya. Memilih diam setelah mendengarnya adalah apa yang aku lakukan. Namun, dalam diam itu aku mengerti maksudnya. Apa lagi saat bayangan sepuluh tahun yang lalu kembali terulang dalam benakku. Tentang Axel yang memintaku untuk menjauh dari Satrio dan menerima perasaannya, karena ternyata kedekatan kami tak hanya sebatas sahabat di mata seorang Axel. Sementara aku? Sudah lebih dulu jatuh cinta pada Satrio. Sehingga tak mungkin menuruti permintaannya. Kejadian itu yang menciptakan jarak di antara kami berdua. Aku mulai tak suka pada sikap Axel yang menurutku mulai berubah. Jarak itu semakin nyata ketika Satrio sendiri yang memintaku untuk menjauh dari Axel lantaran cemburu akan kedekatan kami. Lalu, aku dan Axel betul-betul berubah. Kami menciptakan jarak yang tak seharusnya. Namun, saat itu aku merasa keputusanku sudah benar karena ingin menjaga perasaan Satrio yang cemburu pada Axel. Aku tak ingin persahabatanku bersama Axel menghancurkan hubunganku dengan Satrio karena aku betul-betul mencintainya. Mengingat itu semakin dalam saja rasa kecewaku pada Satrio. Sepuluh tahun kami sama-sama berjuang mewujudkan impian. Namun, semua terasa percuma. Perjuangan itu tiada memiliki arti ketika aku tahu apa yang terjadi. Satrio medua. Dia melupakan kenangan yang selama ini kami ukir bersama. . . Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN